Di atas ranjang tidurnya, Alana membaringkan diri. Peristiwa beberapa waktu lalu masih mengawang di pikirannya. Matanya nampak sembab berkat tangisan yang ia tumpahkan berjam-jam lamanya. Wisnu dengan setia menunggui kekasihnya itu. Ia duduk di lantai sembari menggenggam erat tangan Alana.
“Maafkan aku, Nu!” ujar Alana. “Harusnya aku nggak meminta kamu ke luar dari ruangan tadi. Dari awal, semuanya ini salahku. Kalau saja aku nggak memilih untuk pergi ke sana, mungkin---”
“Huss…” Wisnu meminta Alana berhenti. “Kamu nggak salah apa-apa, Al. Kita nggak tahu kejadiannya bakal seperti ini. Yang paling penting, kamu sekarang baik-baik saja.” Wisnu membelai rambut Alana. “Semuanya yang terjadi di sana, di luar kuasa kita, Al. Jadi, jangan menyalahkan diri kamu. Mengerti?”
Alana mengangguk pelan.
Wisnu berusaha sekeras mungkin mengalihkan perhatian Alana dengan berbagai candaan yang ia punya. Beruntung ia pernah iseng membaca buku-buku humor di perpustakaan rumah sakit.
“Al, kamu, kan, pandai matematika, ya. Coba aku kasih pertanyaan berhitung. Kamu jawab, ya. Begini, ada angsa 8, dikali 2, jadinya berapa?”
Alana tahu Wisnu sedang berusaha menghiburnya. Ia mencoba menampakkan rasa antusiasnya dengan usaha Wisnu. “Ehm… itu, sih, gampang, 8 dikali 2 jadinya 16.”
“Salah.”
“Kok salah? 8 dikali 2 kan 16, Nu.”
“Jawaban yang benar itu 6.”
“Kok bisa 6? Kamu belajar matematika di mana, Nu?”
“Kan, gini, ada angsa 8, di kali 2 lagi main. Jadinya, 6 dong.”
“Ih, kamu… Itu sih bukan soal matematika. Itu soal jebakan.”
“Yaudah, lagi. Burung apa yang paling besar?”
“Nah, kali ini jawabannya aku tahu. Burung yang paling besar itu burung unta.”
“Salah.”
“Kok salah? Terus jawabannya apa?”
“Jawabannya Merak.”
“Kok Merak?”
“Kan Merak emang besar.”
“Itu nama daerah Wisnu. Bukan burung. Kamu curang, ah.”
Wisnun tertawa lepas.
“Skornya sekarang 2 – 0. Satu lagi, nih, terakhir. Harus bisa jawab, ya. Bidadari apa yang nggak punya sayap?”
“Bidadari yang nggak punya sayap itu bidadari yang nikah sama Jaka Tarub. Karena menurut cerita, dia pakai selendang buat terbang ke kahyangan.”
“Salah.”
“Kok, salah lagi, sih?” protes Alana dengan nada kesal. “Terus jawabannya apa yang benar?”
Wisnu diam. Tangan kirinya masih menggenggam erat sebelah tangan Alana. Sementara tangan kanannya merayap membelai halus wajah penasaran Alana yang menanti jawaban dari tebakannya. “Al, bidadari yang nggak bersayap itu... kamu. Jawabannya kamu, Al.” Wisnu berucap dengan nada selembut mungkin.
Pipi Alana langsung bersemu merah. “Ih… Apaan, sih? Kamu, kok, gombal lagi?”