Alana berjalan bergandengan bersama Wisnu menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Keduanya baru saja meninggalkan ruang kerja Dokter Dicky. Ini adalah kunjungan pertama mereka semenjak meninggalkan tempat ini beberapa bulan lalu.
“Nu, kenapa kamu diam terus sejak tadi? Kamu lagi mikirin apa?”
Suara Alana membuat Wisnu tersentak dari lamunannya. “Ah, nggak Al. Nggak ada apa-apa, kok.”
“Kamu masih kepikiran dengan yang perkataan Dokter Dicky?”
Wisnu kembali terdiam. Beberapa waktu lalu, mereka berdua menemui Dokter Dicky untuk memeriksakan mata Alana. Peristiwa buruk yang terjadi di kantor Cendaya Record, membuat Wisnu mengajak Alana mengunjungi dokter itu, berharap akan keajaiban yang mampu membebaskan Alana dari kebutaan. Namun, penjelasan dari Dokter Dicky malah membuat masalah baru yang tak mudah bagi Wisnu dan Alana.
“Nu, kalaupun aku nggak bisa melihat lagi, sebenarnya aku sudah ikhlas. Aku nggak keberatan menjalani hidupku seperti ini.” Alana memasang senyumnya. Karena ada kamu, Nu. Selama ada kamu di sisiku, aku akan baik-baik saja.
Wisnu menghentikan langkahnya. Ia membelai lembut wajah Alana. Ada desir yang kuat bersarang di sana. Desir yang membuat Wisnu tercandu untuk selalu menatap paras itu. Wisnu telah ribuan kali memandang wajah itu, namun dahaganya akan paras ayu Alana tak pernah terpuaskan.
“Tapi, aku nggak rela, Al.” Wisnu berkata lembut. “Aku nggak rela kamu seperti ini selamanya. Aku akan memastikan bahwa kamu bisa melihat lagi, Al. Bagaimanapun caranya.”
Alana menyandarkan kepalanya di pundak Wisnu sembari mempererat pegangan tangannya pada pemuda itu. Sebuah angin harapan baru saja diembuskan Wisnu padanya. Alana sadar bahwa harapan itu mungkin terlalu tinggi untuk digapai. Namun, ia begitu bahagia mendengarnya dari Wisnu. Seolah sesuatu yang ajaib tengah bersiap menyapanya.
“Al, aku ke kamar mandi sebentar, ya. Kamu tunggu di sini.”
Alana mengangguk dan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Wisnu. Suasana rumah sakit tengah ramai. Ia jadi tidak merasa ada yang perlu dikhawatirkan.
Dengan cepat, Wisnu melangkah cepat ke arah yang tadi di lewatinya. Ia berhenti tepat di depan sebuah pintu. Namun, pintu itu bukanlah pintu kamar mandi karena di depannya terdapat sebuah papan nama bertuliskan: dr. Dicky Prasetyo. Wisnu mengetuk pintu itu beberapa kali sebelum membukanya.
Dari kursi duduknya, Dokter Dicky memandang Wisnu penuh tanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulutnya, Wisnu telah terlebih dahulu bersuara. “Dokter, saya ada permintaan.”
Dokter Dicky meletakkan pulpen yang sedari tadi di pegangnya. Ia memberikan segala fokusnya pada pemuda yang tengah berdiri di hadapannya. Perasaannya mengatakan bahwa ini adalah hal yang amat penting.
***
Dengan tergopoh, Wisnu berlari menghampiri Alana yang berdiri di ruang tunggu rumah sakit.
“Maaf, lama. Toiletnya ngantri soalnya,” ujar Wisnu begitu ia sampai di hadapan Alana. Napasnya masih memburu. Ia langsung menggandeng tangan Alana.
Alana menggeleng seraya tersenyum. “Nggak apa-apa.”
“Kita berangkat sekarang, yuk. Kalau kita telat, nanti Mbak Asri bisa marah-marah.”
“Yuk.”
Dengan menggunakan angkutan umum, Wisnu dan Alana sampai di tempat tujuan. Sebuah gedung 2 lantai berwarna hijau toska menyambut mereka. Pada dinding depan gedung itu terukir dua kata dengan huruf besar berbunyi: Dream Record. Tanpa membuang waktu, Wisnu dan Alana memasuki bangunan itu.
“Selamat datang calon bintang baru musik Indonesia, Wisnu dan Alana.” sapa Asri menyambut Wisnu dan Alana di studio rekamannya. “Gimana perjalanan ke sini? Kalian nggak nyasar, kan?”
“Aman, Mbak,” jawab Wisnu tersenyum.