Untuk Kamu

Sucayono
Chapter #14

Kembali Melihat

Sirine mobil ambulans mengaum tanpa henti dengan kerasnya di halaman Rumah Sakit Klender. Beberapa perawat langsung menyambut dua tandu yang dinaiki Wisnu dan Alana ketika pintu mobil itu terbuka. Kedua pasien itu langsung dibawa ke ruang UGD demi mendapat perawatan. Asri hanya mampu pasrah melihat semua itu. Ia masih tak percaya dengan kejadian yang tengah menimpanya. Asri tak menyangka bahwa niatnya mengembalikan kunci pintu rumah Wisnu yang tertinggal di kantornya malah membawanya ke tempat yang sungguh tak ingin ia kunjungi. Tangisnya pecah manakala pintu ruang UGD itu tertutup.      

Tak berapa lama, seseorang dokter berbadan tegap menghampiri Asri dengan langkah tergesa.

“Permisi, Ibu. Apa anda yang bernama Ibu Asri, pimpinan Dream Record?”

“I… iya. Itu... saya, Dokter.” Asri menjawab dengan terbata. Pipinya masih basah dengan linangan air mata.

“Saya Dokter Dicky Prasetyo. Ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan Ibu terkait penanganan Wisnu dan Alana.”

“Saya bersedia melakukan apa saja untuk mereka, Dokter. Yang penting, tolong selamatkan mereka.”

“Mari ikut saya sebentar.”

Asri mengikuti langkah Dokter Dicky menuju ruang kantornya. 

***

“Apakah kita harus melakukan itu, Dokter? Tidak adakah jalan yang lain?” Asri bertanya setelah menyimak penuturan Dokter Dicky terkait rencananya untuk Wisnu dan Alana.

“Itu hal terbaik yang bisa kita lakukan.” Terasa berat bagi Dokter Dicky mengatakan kalimat itu. Rona wajahnya memuram. Ada semacam kepahitan di sana. Namun, ia harus mengambil semua kepahitan itu dan melakukan tugasnya sebaik mungkin sebagai seorang dokter dan teman bagi Wisnu dan Alana.  

Asri mengitarkan pandangan ke sekitar. Ia seolah sedang meminta semesta untuk membisikkan jalan keluar padanya. Namun, beberapa kali menengok ke sana-sini, tak ia temukan satu solusi pun mampir ke otaknya. “Apa yang harus kita katakan pada Alana nanti? Dokter sudah mengantisipasinya?”

“Kita bisa pikirkan itu nanti. Yang mendesak sekarang adalah kita harus---”

“Dokter tidak mengenal Alana dan Wisnu.” Asri tiba-tiba menyela dengan suara meninggi. “Dokter tidak tahu bagaimana hubungan mereka. Bagaimana arti Wisnu bagi Alana. Dokter pikir Alana akan setuju dengan tindakan yang akan Dokter lakukan?”

“Mungkin hubungan saya dengan Wisnu dan Alana tidak sedekat Ibu Asri. Tapi saya cukup mengenal mereka karena mereka adalah pasien saya. Dan saya harus memprioritaskan yang tebaik bagi pasien saya.” Dokter Dicky menghela napas sesaat. “Di tambah lagi, Wisnu sendiri pernah meminta permohonan kepada saya untuk melakukan hal ini. Keputusan ini memang sulit. Tapi, ini adalah yang terbaik.”

Asri terdiam. Keterangan Dokter Dicky melunakkan emosinya. Ia tahu harus bersikap rasional dalam keadaan seperti ini. Kondisi ini memang terasa sangat tidak nyaman baginya. Namun, seperti halnya Dokter Dicky, ia harus menelan mentah-mentah semua ketidaknyamanan itu. “Baiklah, Dokter. Apa yang saya harus lakukan?”   

Dokter Dicky menyodorkan beberapa lembar kertas dan sebuah pulpen ke hadapan Asri. “Anda wali mereka. Tolong tanda tangan di sini.”

Dengan enggan, Asri meraih pulpen di depannya dan membubuhkan tanda tangannya pada kertas-kertas itu. Ia lantas memandang Dokter Dicky itu lekat-lekat. “Tolong lakukan yang terbaik, Dokter. Saya percaya pada anda.” Asri berucap dengan penuh harap. 

Dokter Dicky mengambil kembali kertas-kertas yang telah ditandatangani Asri dan merapikannya. “Saya dan tim dokter akan berusaha sebaik mungkin, Ibu Asri. Mohon doakan kami. Kami akan mulai prosesnya sekarang juga.” Dokter Dicky beranjak berdiri. “Apakah anda akan menunggu di sini?”

Asri menggeleng. “Saya akan ke sini lagi nanti. Tapi sebelumnya, ada hal yang sangat penting yang harus saya lakukan.”

***

Sinar matahari sore kota Jakarta menembus kaca jendela ruang kerja Handoko yang tertata rapi. Pemiliknya tengah terkekeh di atas sofa melihat acara lawak dari layar televisi di ruangannya. Sejak mengambil alih Cendaya Record beberapa bulan lalu, kegiatan Handoko di kantor memang lebih sering menonton televisi lantaran tak ada projek rekaman yang digarapnya. Ia lebih memilih bersenang-senang dibandingkan berpusing-pusing untuk bekerja. Toh, uang warisan yang ia terima masih cukup banyak untuk ia habiskan dengan berfoya-foya. 

Pintu ruang kerjanya terbuka. Darko muncul dari balik pintu itu bersama seorang perempuan cantik berpakaian layaknya wanita penghibur. Wajah Handoko langsung bersemu ceria menyambut tamu istimewanya itu. 

“Aduh... Irma. Cantikku, manisku, kasihku, pujaanku. Selamat datang, Sayang. Sudah lama abang ingin bertemu denganmu. Abang sudah sangat kangen. Mari silakan duduk.”

Handoko meraih tangan perempuan itu dan mendudukkannya di sampingnya. “Kamu mau minum apa, Sayang? Kopi, teh, susu, sirup, atau yang lainnya?”

“Teh saja, Bos,” jawab perempuan itu seraya tersenyum.

Handoko menoleh pada Darko yang sedari tadi berdiri di depan pintu. “Darko, bawakan teh yang super spesial untuk tamu kita yang sangat spesial ini,” perintah Handoko yang disusul dengan kekehan dari mulutnya.  

Dengan sigap, sang ajudan langsung menjawab, “Siap, laksanakan Bos.”

Darko hendak melangkah keluar ruangan ketika lima orang laki-laki berseragam polisi masuk ke ruangan itu.

“Selamat siang. Saudara berdua yang bernama Darko dan Handoko?” Salah satu polisi yang merupakan pimpinan kelompok itu bertanya.   

Handoko berdiri dari duduknya mendengar namanya disebut. Mukanya seketika berubah pias. “Ada apa, Pak… Polisi?” tanyanya dengan suara terbata.

“Saudara berdua ditangkap atas tuduhan penganiayaan dan tindak kekerasan.”

Lihat selengkapnya