Seorang perempuan dengan peluh dan air mata menunduk dalam-dalam di ruangan putih nan dingin itu. Tangannya tak berhenti bergerak di genggamannya sendiri, dan pikirannya sibuk mereka ulang kejadian-kejadian yang baru saja ia ceritakan pada orang di hadapannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan berakhir di ruangan ini, dengan tubuh penuh sayatan dan pikiran yang berkecamuk ingin mati saja.
Di hadapannya, seorang wanita usia pertengahan 40-an dengan jas khas dokter miliknya menatap remaja di depannya dengan penuh empati. Sesekali ia menyuruhnya untuk menarik napas dan membuangnya secara teratur, juga mengulang-ulang kata 'Tidak apa-apa' yang kini sudah berhasil membuat perempuan di depannya berhenti terisak-isak.
"Apa yang kamu pikirin pas saya tanya soal kejadian itu?"
Hening.
"Nal, saya kasih resep baru ya, di minum yang rutin."
Sesi konsultasi nya dengan Dokter Ane sudah selesai beberapa jam yang lalu, namun, Nalasya Anbilla Dama, seorang remaja yang baru memasuki perkuliahannya itu masih terduduk di bangku rumah sakit tanpa bergeming. Napasnya jauh lebih teratur dibanding saat ia di ruangan konsultasi tadi. Matanya menatap dinding di hadapannya dengan kosong. Ia bahkan ke rumah sakit sendirian walau punya 4 kakak yang bisa menemaninya.
Nala sudah lupa kapan terakhir kali ia berbicara pada kakak-kakaknya itu. Ia hanya berbicara pada Ayah, Ibu, juga Moza, kucing peliharaannya. Moza lah yang menemaninya 2 tahun terakhir ini. Entah saat di kamar mengerjakan tugas, saat menangis di kamar mandi, saat makan sendirian, atau saat mengobati luka-lukanya.
"Neng, udah 3 jam sama si bapa di liatin gak pulang-pulang," ucapan seorang pria paruh baya dengan seragam petugas kebersihannya menghampiri Nala, "Neng, gapapa? Mau saya anter pulang, gak?" lanjutnya.
Nala mengerjap, terkejut dengan kehadiran petugas kebersihan di hadapannya. Ia lantas tersenyum, "Ini mau pulang kok, Pak. Maaf, ya." ujarnya seraya meremas kresek obat di tangannya dan beranjak.
"Yaudah atuh, Neng, hati-hati, ya!"
Nala mengangguk, "Makasih, Pak." sebelum akhirnya berjalan meninggalkan bangku rumah sakit.
Walau hanya sekadar disuruh pulang karena terlalu lama melamun, Nala bersyukur masih ada orang yang perhatian dengannya walau mereka tidak saling kenal bahkan baru bertemu tadi. Manusia baik masih ada, namun, memang kebanyakan dari mereka bukanlah orang yang kita kenal.
Matahari sudah terbenam sejak sejam yang lalu, hari sudah gelap, kendaraan orang-orang yang bekerja sudah memenuhi jalan di kota ini karena jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Nala memutuskan untuk jalan sebentar, menyusuri trotoar kota tempat tinggalnya. Kota yang ia benci sampai saat ini. Nala benci bagaimana kota ini menyimpan banyak kenangan-kenangan manis yang tak bisa diulang lagi. Ia benci fakta bahwa ia akan selamanya dihantui oleh kenangan-kenangan itu tanpa bisa berdamai dengan semuanya.