Hutan belantara siang itu sungguh bersahabat, tak tampak menakutkan seperti yang kadang melintas dalam imajenasi anak kecil. Tak terlihat binatang-binatang buas berikut geraman lapar mereka. Hanya ada suara kicauan burung-burung pipit yang seakan sedang saling berbalas pantun dari satu dahan pohon ke dahan lainnya. Jalanan setapak yang membelah hutan sangatlah mulus, bebas dari semak belukar ataupun ranting-ranting liar. Sinar matahari bersinar begitu maksimal. Tapi cahaya terangnya tidak sampai terasa menusuk ke kulit tubuh karena telah tersaring oleh rimbunan pohon yang menghiasi area itu. Hutan itu seakan suatu tempat yang paling nyaman di seluruh jagad raya. Setidaknya itulah yang dirasakan Iksan saat melintasi bersama ibunya.
Iksan adalah seorang bocah berusia sepuluh tahun yang memiliki postur tubuh normal untuk kategori anak seusianya. Kedua alis matanya cukup tebal dan hampir menyambung, menghiasi kedua belah matanya yang agak sayu. Bentuk wajahnya bulat dengan mahkota hitam pekat berponi, tampak serupa dengan sosok wanita paruh baya yang berjalan mendampinginya. Saat itu ia melepaskan gandengan ibunya dan berjalan mendahului, mendekati sebuah danau kecil yang ada di sisi kiri jalan setapak.
Ia duduk di tepian danau sambil menenggelamkan kedua kakinya sampai batas lutut ke permukaan air. Kedua kakinya rasanya memang butuh didinginkan sejenak saat itu. Namun, entah apa sebabnya, tampaknya ibunya tak berniat melakukan hal serupa. Wanita itu terus saja berjalan melintasi danau, tanpa menggubris sedikitpun apa yang sedang dilakukannya. Alhasil, Iksan pun segera bangkit dan mengejar ibunya. Batinnya menerka-nerka bahwa saat itu ibunya sedang diburu oleh sang waktu.
Akhirnya mereka sampai di suatu tepian jurang. Di sana terdapat sebuah jembatan gantung dari kayu untuk menyeberang ke sisi hutan yang lain. Iksan diminta oleh ibunya agar tidak beranjak dari sana selagi dia menyeberangi jembatan itu lebih dulu. Dan Iksan pun menurut saja. Ia hanya memandangi ibunya dari tampak belakang yang meluncur begitu cepat di atas potongan kayu-kayu yang tampak rapuh itu, seakan sudah mengenali betul medan yang dilalui.
Ibunya membalikkan badan ketika sampai di ujung jembatan. Dan Iksan bisa melihat wajah wanita itu dengan sangat jelas dari jarak pandang yang cukup jauh. Di matanya, wajah ibunya tampak pucat pasi. Lapisan bibir merahnya terlihat mulai membiru, dan rona merah di kedua pipinya sudah terkelupas menjadi warna putih yang menyedihkan. Iksan juga merasakan perubahan di sekelilingnya. Suasana alam mulai menggelap. Sepertinya rimbunan pohon-pohon di atasnya semakin melebat dan menutupi cahaya matahari. Ia dongakkan kepala. Ternyata sang mentari tampak sedang bersembunyi di balik gulungan-gulungan awan hitam.
Ibunya melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Tapi lambaian tangan itu terlihat berbeda. Bukan semacam isyarat tangan yang menyuruh seseorang untuk datang mendekat, melainkan seperti suatu kode yang mengisyaratkan sebuah perpisahan. Namun apapun artinya, Iksan menyuruh dirinya sendiri untuk segera ikut menyeberangi jembatan. Tapi kedua tapak sepatunya seperti telah terpatri di tepian jurang, membuatnya tak bisa bergerak. Ia berteriak-teriak. Meronta-ronta. Namun rasanya suaranya itu hanya memantul kembali ke dalam gendang telinganya. Tak lama, sekujur tubuhnya mulai berguncang-guncang. Semakin lama guncangan itu semakin hebat.
Perlahan-lahan kedua matanya terbuka. Ada beberapa tetes air yang langsung jatuh menyentuh lapisan kulit lengan kanannya. Matanya masih berkaca-kaca saat mencoba mengenali keadaan sekelilingnya. Dan tiba-tiba saja wajah ibunya menutupi pandangan di atasnya. Wajah wanita itu tampak berbeda sekali dibandingkan dengan apa yang dilihatnya beberapa menit sebelumnya. Di wajah itu tidak sedikitpun terlihat pucat. Matanya tampak sayu-sayu dan hampir tertutupi oleh untaian rambutnya. Iksan segera menyadari dimana dirinya berada saat itu. Dan segeralah dia memastikan bahwa peristiwa yang baru saja terjadi tak lebih dari sekedar mimpi semata.