Lahan seluas seperempat hektar itu berisikan kumpulan batu-batu nisan yang tersusun tidak teratur. Seluruh landasan tanahnya untuk berpijak sudah hampir tak terlihat lagi karena bersembunyi di balik rumput-rumput liar yang tingginya sampai semata kaki. Beberapa pepohonan rimbun tampak masih berdiri kokoh di berbagai sisi area tersebut. Mungkin para penduduk setempat merasa enggan menebangnya dikarenakan alasan-alasan yang sifatnya supranatural. Atau mungkin juga karena ada larangan tak tertulis dari para tetua desa untuk tidak melakukan hal itu. Lahan tak berpenghuni yang berlokasi satu kilometer dari kaki Gunung Tugel itu adalah area pemakaman lokal bagi warga desa Sragen, Solo.
Tuty dan anak semata wayangnya sedang berada di sana siang itu. Setiap seminggu sekali, secara rutin, mereka selalu menyempatkan diri datang ke tempat itu. Alasannya hanya satu, untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhir almarhum suaminya yang juga merupakan ayah kandung bagi anaknya. Pada dasarnya Karno, mantan suami Tuty, bukanlah warga asli Desa Sragen. Namun semenjak menikah dengan Tuty sebelas tahun lalu dan memutuskan menetap di sana, maka secara tidak langsung Karno telah dinobatkan sebagai warga resmi desa itu. Dan sesuai dengan adat yang berlaku di sana, jasad Karno setelah meninggal harus dikebumikan di satu-satunya area pemakaman yang ada di daerah itu.
Karno meninggal di tahun ketiga pernikahannya. Pria itu adalah seorang korban tabrak lari yang terjadi di suatu tengah malam. Saat kejadian Iksan masih berumur dua tahun, dan tentunya belum bisa bereaksi banyak karena memang belum cukup umur untuk mengerti hal semacam itu. Baik secara langsung maupun tidak langsung, keadaan tersebut memudahkan Tuty untuk melewati masa-masa berkabungnya seorang diri. Ia tidak dituntut untuk memberikan penjelasan apapun pada Iksan. Namun seiring berjalannya waktu, ketika Iksan masuk taman kanak-kanak, mau tidak mau secara bertahap Tuty mulai menjelaskan kejadian yang menimpa ayah anak itu.
Pada awalnya Iksan merasa sedih bercampur iri saat melihat teman-temannya dijemput oleh ayahnya masing-masing sepulang sekolah. Tapi untungnya masa-masa sulit Iksan itu tidak berlangsung lama. Tidak sampai sebulan emosi anak itu sudah kembali stabil. Mungkin karena adanya campur tangan dari kakek-neneknya yang tak henti-hentinya memberi penghiburan. Atau mungkin juga karena emosi antara ayah-anak belum sempat menggumpal dalam diri Iksan. Yang jelas, apapun alasannya, Tuty merasa lega karena anak itu telah merelakan kepergian ayahnya dengan baik.
Setelah masa-masa berkabung terlewati datanglah masa-masa kritis. Di masa ini dampak dari kepergian sang pencari nafkah utama keluarga mulai terasa nyata. Kucuran dana dari pihak asuransi almarhum telah berhenti mengalir. Tabungan di bank, baik simpanan untuk biaya pendidikan Iksan maupun hasil dari penjualan perabotan rumah juga mulai menipis. Saat itu Tuty memang sudah memiliki pekerjaan sebagai guru bahasa inggris. Tapi pekerjaan itu sifatnya hanya paruh waktu saja, dan pastinya masih belum cukup untuk memenuhi biaya pendidikan Iksan yang semakin tinggi saja setiap tahunnya.
Alhasil, ketika Iksan menginjak kelas dua sekolah dasar, Tuty terpaksa menjual rumahnya dan tinggal seatap dengan kedua orang tuanya. Kenyataan itu benar-benar memberikan beban baginya, dalam kapasitas yang tak seorang pun dapat memahami. Ia teramat sangat tertekan. Bagaimana tidak? Dia sudah mempunyai seorang anak tapi masih harus hidup serumah dengan orang tuanya. Itu bukanlah gambaran proporsional mengenai suatu kehidupan berkeluarga yang layak. Apalagi dalam hal ini Tuty merasa belum memberikan yang terbaik bagi Iksan. Ia tahu menjual rumah adalah suatu keputusan yang harus dilakukan, dan mungkin juga merupakan keputusan yang paling bijaksana agar bisa terus melanjutkan hidup. Namun tetap saja keputusan tersebut sama sekali tidak bisa membuatnya merasa bangga.
“Bu, kenapa sih setiap minggu kita harus datang ke sini?” tanya Iksan yang sedang memandangi kesibukan sosok wanita dihadapannya.
Tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya, Tuty menjawab, “Memangnya kenapa? Apa Iksan merasa bosan datang ke sini?”
Bocah itu tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir sejenak seakan mencoba memahami bagaimana perasaannya sebenarnya. Tak bisa dipungkiri oleh Iksan bahwa rasa bosan itu pasti ada. Bagaimana tidak? Selama lima tahun terakhir hidupnya, setidaknya satu jam waktu bermainnya dalam seminggu harus dikorbankan hanya untuk berada di sana. Baginya hal itu merupakan suatu pengorbanan yang tidak sebanding, menyadari dirinya tidak merasakan suatu emosi khusus pada sosok pria yang jasadnya sudah tidur tenang dalam makam itu. Iksan bergeleng-geleng saat menjawab, “Iksan hanya bingung saja, mengapa kita harus melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan orang lain?”
Tuty menoleh sejenak ke arah sosok pria tua yang juga berada di sana. Pria itu tampak sedang sibuk mengurusi salah satu makam, karena pada dasarnya memang dialah yang ditunjuk oleh kepala desa untuk melakukan pekerjaan itu. “Maksud Iksan Pak Tarso?” balasnya bertanya, memastikan bahwa yang dimaksud Iksan adalah orang itu. “Dia kan memang bekerja di sini. Dia dibayar untuk mengurusi pemakaman ini.” Tuty kembali menyapu dedaunan kering yang berserakkan di atas makam almarhum suaminya dengan sapu lidi sambil melanjutkan, “Alasan kita di sini tidak sama dengan dia. Kita ke sini untuk mengunjungi Ayah. Iksan tidak ingin kan kalau Ayah merasa kesepian ditinggal di sini? Sendirian dan tidak diurusi?”
Walau tampak ragu untuk bereaksi, Iksan bergeleng-geleng sambil bangkit dari bongkahan batu yang didudukinya dan mulai mengangkati ranting-ranting kering dari makam dihadapannya ke kumpulan sampah yang ada di sebelahnya. “Tapi bukannya Ayah seharusnya tidak merasa kesepian lagi? Bukannya Ayah sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi?”
Tuty meraup kumpulan daun-daun kering yang ada di dekatnya dengan kedua tangan lalu mengumpulkannya menjadi satu ke gundukkan daun-daun kering lainnya yang ada di sebelah Iksan. Setelah itu ia duduk di atas salah satu bongkahan batu besar, dan sambil meminta Iksan untuk berdiri menghadap ke arahnya, ia berkata, “San, ketika seseorang meninggal, tubuh orang itu memang sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Tubuh orang itu memang sudah tidak bisa berfungsi lagi. Tapi perasaan orang itu masih tetap ada. Dan tanpa kita sadari, sebenarnya kita bisa merasakan bagaimana perasaan orang itu.”
Iksan mengerutkan dahi. “Jadi maksud Ibu....Ibu tahu bagaimana perasaan Ayah sekarang? Memang apa yang Ayah rasakan?”
Sambil tersenyum menatap langit, Tuty menjawab dengan tegas, “Ayah sudah benar-benar bahagia di atas sana. Duduk di samping Tuhan, memperhatikan kita.”
Kerutan di dahi Iksan semakin bertambah banyak. “Bagaimana Ibu bisa tahu? Memangnya gimana Ayah memberitahukan Ibu?”
Tuty kembali menatap mata anak itu. “Ayah memang tidak memberitahukannya secara langsung. Tapi perasaan Ibu-lah yang mengatakan seperti itu.”
“Bagaimana Ibu bisa tahu perasaan Ayah kalau Ayah tidak memberitahukannya?”
Tuty tersenyum lagi. “San, ada waktunya ketika kita tidak perlu menunggu seseorang yang kita cintai mengungkapkan bagaimana perasaannya. Kita bisa mengetahui hal itu kalau sudah melakukan dan memberikan segalanya yang bisa membuat orang yang kita cintai itu merasa bahagia.”
Iksan bergeleng-geleng. “Iksan tidak mengerti Bu.”
Sambil terus tersenyum, Tuty berdiri. “Suatu hari nanti Iksan pasti mengerti apa yang Ibu bicarakan ini.” Ia menatap nisan almarhum suaminya, lalu menyentuh lembut ujung nisan itu. “Semua ini berkaitan dengan satu hal yang masih belum bisa Iksan pahami.” Cinta, lanjutnya dalam hati.
Iksan ikut melangkah pergi ketika Tuty menggandeng tangannya. “Jadi apa yang harus Iksan lakukan supaya bisa tahu bagaimana perasaan Ayah?”
“Iksan harus sering-sering berdoa buat Ayah dan sering-sering mengunjungi makamnya,” jawab Tuty sambil menggiring Iksan menuju pintu keluar area pemakaman. “Dengan begitu Ayah pasti akan merasa lebih bahagia lagi. Dan mungkin, tanpa Iksan sadari, Ayah juga akan memberitahukan pada Iksan bagaimana perasaannya.”
Anak itu mengangguk-angguk. “Tapi Ibu harus selalu temani Iksan kalau datang ke makam Ayah, soalnya Iksan takut sendirian.”
“Bukan hal yang sulit,” balas Tuty sambil melambaikan tangan ke arah Pak Tarso ketika hendak menutup kembali pintu pagar kayu pembatas area pemakaman.
“Bu, cinta itu seperti apa sih?” tanya Iksan dengan lugunya.
Tentunya Tuty terkejut mendengar apa yang diucapkan anak itu. Belum waktunya Iksan tahu apa artinya cinta. “Cinta itu tidak bisa dilihat,” jawabnya. “Hanya bisa dirasakan saja.”