Bibit tanaman di taman Kota Malang sudah tumbuh menjadi pohon-pohon yang rindang. Seiring dengan bulan berlalu, menggantinya dengan tahun-tahun yang melelahkan. Sepertinya waktu berlalu begitu cepat. Diikuti dengan pertumbuhan perekonomian dan pembangunan kota yang luar biasa. Jaringan teknologi menjadi sumber utama dalam meningkatkan taraf kehidupan. Bagaimana tidak? Terlihat jelas dari anak-anak kecil yang sudah begitu mahir menggunakan ponsel pintar. Juga di sudut-sudut kota atau taman-taman yang sudah memasang jaringan wifi gratis untuk memudahkan akses di media sosial. Semua sudah berubah, selaras dengan tuntutan perkembangan zaman.
Lapangan bola basket dipenuhi dengan sorak sorai penonton para siswa sekolah tinggi bergengsi itu. Hari ini adalah pertandingan final antar kelas. Semua siswa antusias untuk menonton.
Seorang remaja laki-laki bertubuh atletis sedang melakukan persiapan bertanding. Dipakainya deker di lengan kiri juga salah satu lututnya. Kaos yang bertuliskan angka 10 juga dipakainya. Tinggi 170 cm dengan wajah yang rupawan tak ayal membuat para siswa khususnya perempuan begitu mengidolakannya.
“Diandra! Ayo!” seseorang berseru kepadanya.
Dengan berlari kecil, Andra memasuki lapangan diikuti timnya dengan penuh percaya diri. Begitu riuhnya tribun penonton seraya mengelu-elukan nama yang istimewa bagi mereka. Tim Andra melakukan pemanasan sesaat sebelum memulai pertandingan. Mereka melempar dan memainkan bola. Sorak dan tepuk tangan terdengar saat Andra yang memasukkan bola ke dalam ring. Setelahnya, kedua tim saling berhadapan. Pertandinganpun dimulai. Mereka bertanding dengan penuh konsentrasi.
Selang beberapa waktu, pertandingan berakhir dengan skor 72-64 yang dimenangkan tim Andra. Pesona Andra memukau bak model papan atas. Terlebih sikap dingin dan tidak begitu banyak bicara mencerminkan karakter langka untuk anak remaja zaman sekarang. Ia tidak ingin berurusan dengan teman perempuan, oleh sebab itu dirinya selalu menjauh saat mereka mencarinya. Meskipun begitu, ia tidak menolak jika ada yang ingin bicara dengannya khususnya hal-hal penting.
Di sepanjang lorong kelas, seorang remaja laki-laki lain yang berkulit putih berjalan dengan penuh percaya diri. Ia banyak disapa oleh siswa yang berpapasan dengannya. Posturnya yang tinggi, wajah yang tampan, membuatnya juga dikagumi seluruh siswa. Bukan hanya itu, posisi strata sosial tinggi dan kepribadian yang menyenangkanlah yang melengkapi semua itu. Oya. Ia masih memiliki rambut pirang. Jauh dari Andra, ia berada di kelas favorit yang bertempat berlainan gedung.
Leon masuk ke dalam kelas Andra dengan senyum yang manis. Saat itu, Andra kebingungan dengan beberapa anak kelas lain yang ingin meminta foto. Leon segera menarik lengan Andra, mengajaknya pergi. Semua berteriak histeris karena kedatangannya yang mendadak. Ya. Selama ini Leon jarang meninggalkan gedung kelasnya selain ke gedung perpustakaan atau ruang praktik.
Perlu diingat kembali, Leon adalah anak dari kepala pemegang saham tertinggi Ciputra International School. Ia adalah satu-satunya keluarga Ciputra yang tidak ingin sekolah di luar negeri. Entah apa yang dipikirkannya, ia malah masuk di sekolah milik keluarganya sendiri. Tidak seperti Leon yang dulu. Leon sekarang memiliki banyak teman yang menyukainya. Namun, hanya ada seorang teman yang setiap waktu dapat diajaknya bicara dengan baik. Sahabat masa kecilnya.
“Hei, mengapa kamu tiba-tiba membawaku ke sini?” Andra menyadari bahwa Leon telah mengajaknya masuk perpustakaan. Leon mengambil sebuah buku besar di rak belakang meja penjaga perpustakaan.
“Aku kemarin melihat berita di News Malang, bahwa sebuah situs peninggalan Kerajaan Singosari telah ditemukan di lereng Gunung Kawi.”
“Apa? Benarkah?” Andra nampak tertarik.
“Tapi sayangnya postingan itu tiba-tiba sudah hilang kurang dari setengah jam di berandanya.”
“Kenapa hilang? Bukannya harus di ekspose ya?”