Istirahat makan siang, Leon baru bisa menemui Nara. Ia mendatangi kelasnya dan duduk di sampingnya. Beberapa siswa tercengang melihat Leon dan menjadi heboh. Namun karena yang lain sedang keluar kelas, kehebohan tidak berlangsung lama. Leon hanya melepas senyumannya.
“Aku tidak tahu kamu satu jurusan denganku. Bagaimana kabarmu?” Leon menatapnya, namun Nara tidak lekas menjawab. “Aku minta maaf jika ada salah dulu. Ah, aku benar-benar bodoh, tidak mengenalimu saat pertama bertemu,” lanjutnya.
“Apa yang kamu inginkan?” ucap Nara dingin.
“Hm, kamu benar-benar telah berubah. Nara yang aku kenal tidak pernah berkata seperti ini.”
Nara menatap Leon serius. Beberapa orang memotret mereka. Nara bahkan tidak memedulikannya.
“Kamu tidak perlu menyamakan diriku dengan masa lalu, aku sudah tidak berada di sana lagi sekarang.”
“Bukankah masa lalu bagian dari sejarah? Kita bahkan tidak boleh melupakan sejarah.”
“Tidak berada dalam masa lalu bukan berarti melupakan sejarah. Masa lalu hanya sebentuk simbol kenangan yang harus ditinggalkan..”
Mereka berdua diam sesaat hingga suara speaker pemberitahuan berbunyi. Leon merasa seseorang di sampingnya memiliki hati yang dingin. Begitu dinginnya hingga membentuk lubang dengan gumpalan-gumpalan es yang membeku. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang diajaknya bicara? Seperti orang asing.
“Kita akan bicara lagi nanti.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Aku akan memaksa. Andra akan ada di sana juga. Apa kamu benar-benar tidak merindukan kami? Inka setiap hari menangis jika mengingatmu. Ia menunggu surat darimu. Kami mencari di semua media sosial juga tidak menemukan di mana dirimu. Kamu benar-benar menghilang. Ya sudah. Aku akan menemuimu lagi nanti.”
Nara diam. Tanpa sengaja semua pembicaraannya di dengar temannya, Keyla. Ia duduk menggantikan Leon.
“Hebat. Kamu ternyata mengenal bintang sekolah kita. Bahkan kamu juga berteman dengan Inka selebgram populer saat ini. Ah... tidak menyangka.” Keyla memuji namun Nara tersenyum getir. Ia tetap fokus dengan tugas kelompok yang belum selesai.
“Maaf. Bukan aku ikut campur tentang pribadi atau masa lalumu. Sebaiknya kamu segera menyelesaikannya,” Keyla tersenyum. “Suatu masalah jika tidak segera diselesaikan akan selalu menjadi bayang-bayangmu, dan akan menciptakan masalah-masalah yang lain.”
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” Nara menunduk.
“Kamu punya waktu untuk memikirkan.” Keyla tersenyum. “I will here for you,” ia beralih menumpuk beberapa kertas yang beserakan. “Oya. Tadi kamu dicari Miss Nisa. Sepulang sekolah ia akan menunggumu di depan Information Service.”
Nara tercengang. Benar yang dikatakan Keyla. Miss Nisa sedang duduk menunggu dirinya sembari memainkan ponsel. Miss Nisa adalah istri dari pamannya yang bekerja di bagian School Administration. Nara berniat menghindarinya. Ia bergerak pelan menuju tangga, namun dilihatnya Leon yang mengobrol. Kemungkinan juga menunggunya. Nara berpikir untuk mengambil jalan memutar yang terhubung dengan gedung perpustakaan, melewati gedung olahraga.
Dari kejauhan, Leon dan Miss Nisa yang melihat Nara berlari kecil segera mengejarnya. Namun, saat berada di sekitar gedung olahraga, Nara luput dari pandangan. Sayangnya mereka tak berhenti memanggil namanya hingga membuat Nara panik. Ia masuk ke dalam salah satu ruangan dan tiba-tiba seorang yang dikenal mengejutkannya. Teriakannya menggema di seluruh ruangan.
“Hush!!” Andra menarik ke dalam pelukannya lalu membawanya ke sudut lemari. Untuk sesaat, mereka berdua berdiri berhadapan. Jantung Nara berdegup kencang. Suasana semakin terpojok. Jika mereka berdua sembunyi bersama pasti akan ketahuan. Andra melihat kardus besar yang berisi tumpukan bola basket. Sesuatu terlintas di pikirannya.
Leon masuk ruangan diikuti Miss Nisa. Nampak Andra sedang memunguti bola basket dan menatanya di pojokan. Mereka bertanya apa melihat Nara. Andra hanya menggelengkan kepalanya. Ia lantas bertanya apa Nara ada masalah administrasi, hingga Miss Nisa mencarinya. Miss Nisa tersenyum mengatakan jika Nara adalah keponakannya dan sudah beberapa bulan tinggal di asrama sekolah. Keluarganya sangat khawatir, Nara lama tidak pulang karena menghindari mereka.
“Keponakan?” Andra tercengang. Rahasia apalagi yang belum diketahuinya. Bahkan Leon hanya menggelengkan kepalanya, tidak mengetahui sama sekali. Miss Nisa tersenyum lalu beranjak pergi. Leon yang melihat Andra kerepotan dengan bola basketnya hendak membantunya, namun Andra malah melarangnya.
“Eh? Tidak usah, biar aku saja! Itu ada tikus, tadi sengaja aku kurung di sana. Kamu cari Nara saja di jalan asramanya!” Andra melebarkan tangannya, menghalangi pandangan Leon. “K-kamu kan takut tikus..”
“Hah? Ih!” Leon berjalan pergi. “Nanti aku hubungi.”