Rumah berlantai 2 itu tampak ramah dengan bunga-bunga yang bermekaran di halaman. Sangat indah dan tertata rapi, sepadan dengan pemilik rumah yang mengelola toko bunga. Dengan masih digandeng ibunya Andra, Nara masuk ke dalam rumah.
“Maaf, Bu. Saya tidak ingin merepotkan di sini.”
“Ah, Ibu sangat senang sekali bertemu kamu, Nak. Apa tidak merindukan Ibu?” Bu Kasih memeluk dan mencium kening Nara, membuatnya salah tingkah. Dilihatnya Andra yang berwajah ceria.
“Untuk sementara kamu akan tinggal bersama kami. Ibu akan menghubungi Paman Rahmat, dan pasti mengizinkan. Kamu sudah Ibu anggap seperti anak Ibu. Nah, sekarang ayo ikut ke kamar! Tenang saja, kamar kami ada banyak,” tambahnya.
Nara nurut apa yang dikatakan Bu Kasih. Ia menaiki tangga lantai 2. Ada 2 kamar di sana, satunya tak berpenghuni. Biasanya digunakan saat ada keponakan Andra atau saudara yang lain menginap. Sementara Andra masuk ke kamarnya, Bu Kasih menjelaskan beberapa hal yang ada di rumah ini.
“Ibu akan membuatkan makanan dulu. Kalau ada apa-apa bisa tanya Andra, atau tanya Ibu. Oya, bisa juga tanya Mbak Rumi, asisten rumah tangga kami.”
Nara tersenyum, tetapi ia kebingungan dengan pakaian gantinya. Bu Kasih menyadarinya dan langsung pergi untuk mengambil sesuatu. Beberapa saat setelahnya, Bu Kasih dibantu Mbak Rumi membawa beberapa pakaian bekasnya yang tidak muat digunakan. Tampak masih bagus dan berbau wangi.
“Apa kamu tidak keberatan memakainya?”
Nara merasa tertolong sekali. Ia mengangguk senang.
“Segeralah mandi dan ganti pakaianmu! Seragamnya biar dicuci Mbak Rumi.”
“T-tidak, tidak perlu, Ibu. Saya sudah terbiasa mencuci semua sendiri.”
“Hemm, benarkah? Bukannya di asrama selalu menggunakan jasa loundry ya?”
Nara terjebak. Ia hanya tersenyum canggung.
“Ah, baiklah. Ibu tinggal dulu. Nanti selepas sholat, turun ya,” Bu Kasih pergi diikuti Mbak Rumi yang menutup pintu. Nara meletakkan tas dan koper yang hanya berisi barang-barang paling penting menurutnya.
‘Untung tablet PC sama laptopku tidak kenapa-napa.’
Bu Kasih dan Mbak Rumi menyiapkan makanan di meja makan. Andra datang lebih dulu dan membantu menata piring di meja. Ia masih belum berani berbicara dengan Nara jika teringat akan kebodohannya.
“Ibu tahu, apa yang kamu pikirkan. Setidaknya kebodohanmu mempertemukan Ibu dengan anak kesayangan Ibu.”
Andra menghela nafas tanpa menanggapi ibunya.
“Sampai kapan kamu akan menutupi jika Nara telah kembali?”
“Hah? Aku tidak bersalah, Bu. Bahkan Nara yang sekarang menjadi aneh.”