Nara kembali ke rumah Andra saat Mbak Rumi hendak keluar rumah. Seperti biasa, Mbak Rumi selalu ramah padanya.
“Untung tepat waktu, Neng Nara sampai rumah. Mbak mau pergi ke toko bunga sebentar. Ini kuncinya. Oya, jangan pergi ya, sebelum Mas Andra pulang! Mbak pergi dulu.”
“Tapi Mbak..?
Mbak Rumi berlalu. Nara mendesah. Seharusnya dirinya pergi ke Wagir sekarang. Mau tidak mau ia harus menunggu Andra sampai pulang dari sekolah.
Sembari menunggu Andra pulang, Nara membuka buku yang diberikan Adit, anak jurusan komputer terpandai. Salah satu kehebatannya adalah bisa melacak IP dan mengendalikan data website yang tidak diamankan dengan baik. Namun hanya orang-orang tertentu yang mengetahui penguasaan Adit. Adit juga salah satu teman Andra yang tergabung dalam tim inti basket. Agar dia tidak jenuh, di letakkannya headseat di kedua telinganya. Diraihnya kertas gambar dan mencoba menggambar ulang Batu Bengkung di buku itu. Tidak susah baginya, karena Nara ahli dalam coret mencoret dan 90% memiliki kemiripan dengan aslinya.
Di lantai bawah, Andra membuka pintu dan mendapati tidak ada siapa-siapa di rumahnya. Ia bergegas naik ke kamarnya, namun ingin mengecek apakah Nara sudah pulang atau tidak. Sayang sekali kamarnya terkunci. Mungkin belum pulang. Ia lalu masuk ke kamarnya dan berniat untuk mandi. Diputarnya berkali kali kran air itu, tapi tak ada air yang menetes.
“Apakah ini macet? Ah, kenapa aku harus berurusan dengan kran air lagi.”
Andra turun membawa handuknya dan menuju kamar ibunya. Ia memutar kran, dan air itu menyala. Mungkin kran di kamarnya benar-benar rusak. Andra meneruskan mandi di sana.
Nara melihat jam tangannya, sudah pukul setengah 5 sore. Ia mengira Andra belum pulang. Pekerjaannya sudah selesai. Seharusnya sore ini ia menemui Adit dan berangkat ke Wagir.
“Ah, aku haus.”
Nara berjalan pelan menuruni tangga. Tidak ada suara apapun, rumah begitu sepi. Ia mengambil botol air putih dari dalam lemari es lalu duduk dan menuangkannya pada gelas di depannya. Diteguknya air itu sembari memikirkan keluarganya di Wagir. Ia sangat merindukan neneknya. Jika Vivi tidak di asrama, akan ada alasan untuk menengoknya.
‘Apa aku harus ke asramanya ya?’ diteguknya lagi air itu hingga habis, lalu berdiri dan mengembalikan botol ke asalnya.
‘Ah, aku lapar, di kantin hanya makan kue yang dibawa Keyla. Aku akan makan di luar sehabis magrib dan menghubungi Adit setelahnya. Aku tidak mungkin makan di sini. Lah, aku tidak tahu berapa nomornya. Duh, salah satu kebodohan yang terulang. Bukannya Adit temannya Andra? Apa aku harus bertanya padanya?’
Nara beranjak dari dapur hendak kembali ke kamarnya. Seseorang yang keluar dari kamar Bu Kasih mengejutkannya. Ialah Andra, yang tidak memakai pakaian dan hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Nara berteriak diikuti Andra yang ikut berteriak. Tangannya gemetar menutupi wajahnya.
“Apa yang kamu lakukan! Mengapa kamu berjoget tanpa busana?!”
Andra yang semula terkejut menjadi sadar kalau dirinya tadi bernyanyi sambil menggoyangkan badannya. Ia sebenarnya malu, namun malah bersikap seolah tak bersalah.
“Oh, air di atas tidak menyala, jadi aku mandi di sini. Ini kan rumahku, jadi bebas mau melakukan apapun. Kamu sih, yang teriak-teriak tiba-tiba. Mengagetkan saja!”
“A-apa?! Apa kamu tidak malu memperlihatkan itu di depan seorang gadis?!” Nara masih menutupi wajahnya namun kini jari-jarinya menjadi renggang.
“Mengapa aku harus malu denganmu? Kitakan dari kecil sudah bersama. Tidur bersama, makan bersama, apa kamu lupa kita selalu mandi bersama?”