Ruang keluarga terasa sunyi, namun sedikit mengganggu. Andra dan Nara duduk berdampingan sedang Bu Kasih duduk di hadapan mereka. Tidak ada satu katapun yang terlontar dari bibir mereka. Bu Kasih terus menatap anaknya, lalu beralih pada Nara.
Andra sedikit cemas, seharusnya ia tidak melakukannya. Tapi memang ia belum melakukannya. Apakah hal seperti ini akan masuk pengadilan dikarenakan sebagai sebuah pelanggaran? Ah, tidak. Mungkin kami saling menyukai dan itu wajar. Apakah bisa seperti itu?
Di sebelahnya, Nara tak kalah cemas. Hal bodoh hampir saja dilakukannya. Ia berjanji tidak akan mengikat hubungan dengan siapapun, malah akhirnya seperti ini. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana dirinya di hadapan Bu Kasih.
Waktu terus berjalan, tapi mereka masih diam. Tiba-tiba hal yang tak terduga terjadi. Bu Kasih tertawa terbahak-bahak.
“Ada apa dengan kalian berdua? Kenapa malah berlomba diam sepeti patung?” Bu Kasih beranjak. “Ayo kalian siap-siap! Kita akan ke Surabaya menjemput Ayah. Besok izin saja, kita akan seharian berada di Surabaya. Ibu akan menunggu kalian di mobil,” sambungnya lagi.
Bu Kasih masih tertawa meninggalkan Andra dan Nara yang diam dengan perasaan tak mengerti. Alih-alih memarahi habis-habisan, ini malah mengajak jalan-jalan.
Pada akhirnya, Nara tidak bisa menjalankan rencananya dan harus menemani keluarga Andra.
“Maaf, Dit. Besok aku tidak bisa menemuimu.”
“Oh, tidak apa-apa Nara. Aku tadi sudah mengirim datanya lewat e-mailmu. Aku tadi sudah menghubungimu bolak-balik tapi tidak ada jawaban.”
“Hah?” Nara mengecek tablet PC-nya, dan benar ada panggilan masuk. Ia ingin bertanya dari mana tahu kontaknya, tapi diurungkannya karena sudah mengetahui sendiri jawabannya.
“Nara? Kamu masih di sana?”
“Oh iya Adit. Terima kasih, ya. Tapi kamu sebaiknya hubungi ke nomor ini saja kalau kamu butuh segera dijawab.”
“He, he, he. Hati-hati dengan akunmu, perlu verifikasi lanjutan. Kalau kita bertemu akan aku bantu.”
Nara mematikan ponsel lipatnya saat melihat Bu Kasih dan Andra menunggu. Jika Adit bisa melacaknya, mengapa harus susah-susah minta bantuan pada Andra? Seharusnya dirinya membuka tablet PC-nya lebih dulu sebelum bertindak sehingga tidak akan ada kejadian seperti itu.
‘Ah, kenapa akhir-akhir ini hidupku kacau?!’
“Hei, sampai kapan kami harus menunggumu melamun?” suara Andra mengejutkannya. Tanpa menanggapi, Nara bergegas masuk ke dalam mobil yang membawa mereka menuju bandara.
Setelah menunggu hampir 1 jam di gate kedatangan, seorang laki-laki bertubuh tinggi tersenyum menyapa Andra. Andra dan ibunya berhambur memeluk orang itu. Laki-laki yang tidak asing bagi Nara. Memastikan benar atau bukan, Nara ikut mendekat.
“Hmm, bau Ayah tetap sama seperti bau pesawat!” Andra masih memeluk manja. Mereka melepas rindu sesaat sebelum menyadari Nara tersenyum di dekat mereka.
“Ya Allah, Ibu sampai lupa. Nara, sini Nak!” Bu Kasih menggandeng tangan Nara. “Yah, coba tebak siapa dia?”
“Hemm? Siapa gadis imut ini? Lho, sepertinya tidak asing.” Pak Jendra memperhatikan Nara.
“Masa tidak ingat? Anak pertamanya almarhum Mas Tomi. Kinara.”
“Selamat malam..??” Nara tampak canggung. Pikirannya masih mengira-ngira siapa itu. Ia mengecup punggung tangan Pak Jendra.
“Ya Allah, Nara. Dulu masih TK sering aku gendong sampai lupa. Waktu ke rumah Tomi malah tidak ketemu, jadi tidak ingat.”
Nara hanya tersenyum polos. Pak Jendra masih mengamatinya.
“Sepertinya Bapak pernah melihatmu, tapi di mana, ya? Lha itu?!” Pak Jendra menunjuk jepit rambut yang dipakai Nara. “Bukankah jepit rambut ini Bapak yang berikan?”