Di pedesaan daerah kaki Gunung Kawi, Pak Kim menghentikan mobilnya. Ia berpikir kalau tidak mungkin bermalam di sana karena tidak adanya hotel atau penginapan.
“Desa wisata budaya tidak ada penginapan?”
“Villa ada Tuan. Apa kita akan menyewanya?” Pak Kim mencari beberapa Villa yang ada di sekitar desa itu, tapi tak mendapatkan karena semua telah terisi penuh. Untuk sementara, mereka menghentikan mobil di pinggir jalan agak jauh dari pemukiman.
Seorang wanita tua yang kebetulan lewat menyapa Leon. Ia membawa keranjang bambu berisi rempah-rempah. Memang daerah pedesaan sana terkenal dengan keramah-tamahannya. Pak Kim menjelaskan tentang permasalahannya. Wanita tua yang ingin disapa ‘Nenek’ itu mengerti, kemudian meminta keduanya untuk mengikutinya pulang. Ia mengatakan rumahnya sangat luas dan hanya asisten rumah tangganya saja yang menemani, karena keluarganya jarang pulang.
“Benarkah? Kami akan sangat terbantu. Nanti akan kami ganti biaya menumpang kami, Nek,” Pak Kim membungkuk dan mengucapkan terima kasih pada Nenek itu. Mereka bertiga akhirnya mengendarai mobil menuju rumahnya. Agak sedikit tercengang ketika memasuki halaman rumah yang sedikit jauh dari tetangga, sangat besar dengan gaya Belanda-Jawa yang unik. Leon seperti kembali ke rumah kakeknya.
Leon dan Pak Kim masuk ke dalam rumah mengikuti Nenek. Nenek menyuruh Leon dan Pak Kim untuk memilih kamar yang akan ditempatinya. Dari arah dapur, ada dua asisten rumah tangga yang berpamitan pulang.
“Silakan istirahat dulu, nanti sehabis maghrib Nenek tunggu di tempat makan. Nenek senang memiliki tamu. Nenek yakin kalian orang baik,” Nenek tersenyum. Pak Kim dan Leon mengucapkan terima kasih lagi dan masuk ke dalam kamar masing-masing.
Kamar yang berukuran besar untuk orang yang tinggal di pedesaan. Mungkin sedikit berlebihan untuk orang biasa. Ranjang, lemari, bahkan meja yang tertata rapi. Suasana merah muda menjelaskan bahwa itu adalah kamar seorang perempuan. Leon meletakkan tas gunungnya di samping tempat tidur, lalu merebahkan diri di sana. Ia melihat beberapa pajangan dinding dan foto-foto yang menarik perhatiannya. Raut wajahnya semakin tercengang saat melihatnya dari dekat.
“Ini..? Na-Nara?”
Leon menurunkan bingkai foto keluarga itu. Memang tidak salah lagi, itu adalah foto keluarga Nara. Foto-foto yang lain juga menunjukkan bahwa ia benarlah Nara kecil. Tidak puas dengan yang dilihatnya, Leon membuka beberapa laci meja yang tidak terkunci.