Leon masih tidak percaya bahwa kekacauan manajemen di dalam sekolahnya dilakukan oleh pamannya dan bukan kakaknya. Semua bukti tentang sekolahnya sudah terkumpul, tinggal mengungkapkannya. Meskipun dalam hati tidak terima karena kakaknya tidak ikut terlibat, Leon harus bersikap bijak. Saat ini, ia juga masih harus menyelidiki pengembangan perumahan dan masih berharap kakaknya ikut bagian dalam kasus itu. Sehingga akan sangat mudah menangkap kakaknya.
“Kasus pertama selesai,” Adit mengumpulkan seluruh kertas yang berisi barang bukti di satu map.
‘Drrrr... Drrrrr... Drrrrr’
Ponsel Leon bergetar dari dalam sakunya. Biasanya itu bernada dering, tetapi kali ini tidak. Dibukanya notifikasi tersebut. Tiba-tiba dirinya harus beranjak. “Teman-teman, aku harus pergi sekarang.”
“Apa terjadi sesuatu?”
“Kakakku Sena ada di daerah sekitar sini. Aku akan kembali nanti.” Leon buru-buru membawa map dari rumah sakit itu dan pergi dengan sopirnya. Setelah Leon pergi, semua membicarakan Leon. Mereka merasa kasihan dengan hidupnya. Banyak uang tidak selalu merasakan kebahagiaan.
Miss Nisa datang dan memberi tahu bahwa makanannya telah siap. Semua bersorak kegirangan. Mereka menikmati makanan dengan lahap dan memuji masakan tantenya Nara. Keyla yang begabung sedikit terlambat menjadi bahan tertawaan teman-temannya.
“Ada banyak kamar di sini. Cukup untuk kalian istirahat. Di sebelah sana kamar mandi dan mushola mini juga ada. Miss tinggal dulu melihat Nara.” Miss Nisa pergi melihat ke dalam kamar keponakannya, ada Nenek di sana. Nara tampak tidur dengan nyenyak.
“Ibu nanti tidur cepat saja. Di sini Nara sudah banyak yang menjaga.”
“Baiklah, kamu juga sebaiknya istirahat,” keduanya bergegas keluar kamar dan menutup pintu perlahan.
Maghrib telah berlalu, Andra yang masih menggunakan seragam bingung ingin berganti pakaian. Tampak Adit dan Sandi telah berganti dengan kaos yang dibawanya. Andra mendengus dan masuk kamar Nara. Di sana Keyla sedang duduk menghadap meja belajar. Begitu melihat Andra masuk, Keyla yang tidak enak hati keluar membawa laptop dan map sketsa Nara.
Andra duduk di dekat Nara yang tengah tidur pulas. Dengan hati-hati, dibukanya plester gel itu dan digantinya dengan yang baru. Mungkin suhu yang panas membuat plester gel sebelumnya menjadi kering.
“Apa kamu mimpi indah?” Andra mengusap pipi Nara. Ia yang duduk di samping ranjang merebahkan kepalanya di sisi Nara. “Aku merindukanmu,” tambahnya lirih.
Nara mendengarnya. Ia membuka mata lalu membelai rambut Andra. Andra sedikit tersentak dan langsung menoleh tepat di depan Nara. Wajah mereka begitu dekat.
“Maaf, telah membangunkanmu,” ucapnya lirih. Nara tersenyum menggeleng. Andra yang masih merebahkan kepalanya mencari tangan Nara dan menggenggamnya. Mereka diam saling menatap, bersamaan dengan Jemari tangan yang saling mengait. Jantung Andra berdebar-debar.
“Aku pamit pulang. Besok aku akan kembali,” ucapnya bangkit hendak melepas tangan Nara, tapi dicegahnya. Nara menatap Andra, yang mengisyaratkan untuk tetap tinggal. Kepalanya masih berkunang-kunang dan tidak begitu menyadari yang dilakukannya. Efek suntikan dokter dengan dosis tinggi membuat dirinya harus tidur, tapi memaksa untuk terjaga.
“Baiklah, aku akan tetap di sini. Aku akan menemanimu sampai tidur,” Andra kembali duduk.
“Tapi aku ingin ke kamar mandi. Bagaimana? Tolong panggilkan Keyla!”
“Baiklah, akan aku panggilkan.”
Andra keluar kamar dan mencari Keyla, tapi tidak menemukannya. Bahkan di pondok bambu halaman depan juga tidak ada. Ke mana dia? Adit dan Sandi juga menghilang. Tidak mungkin dirinya memanggil keluarga yang sedang beristirahat.