Waktu sudah menunjukkan pukul 22.10, tapi teman-temannya belum juga kembali. Meskipun begitu, Andra sangat bersyukur dengan ketiadaan mereka dirinya bisa menikmati waktu bersama Nara. Hal terbaik yang baru saja didapatnya. Hati Nara yang telah mencair.
Suara langkah kaki terdengar mendekat yang tak lain adalah teman-temannya. Mereka membawa sketsa, beberapa bungkus makanan ringan, serta minuman kaleng.
“Dari mana?”
“Oh, tadi Adit mendapat informasi kalau di dekat sini ada Campursari,” Keyla menyodorkan makanan yang dibawanya. Andra meraihnya, dan langsung memakannya. Di saat itu, Paman Rahmat masuk seraya duduk bersama mereka.
“Paman ingin bertanya, apakah benar kalian menyelidiki penemuan situs yang telah lebur?”
“Benar, Paman. Kami menyelidiki karena kami peduli. Juga lahan itu milik Ciputra, milik teman kami,” Andra menjawab dengan serius.
“Leon?” Paman Rahmat terkejut. “Dia dalam bahaya.”
“Maksud Paman bagamana?” Adit beralih duduk di bawah depan Paman Rahmat.
“Handoko Samudra. Dia pemegang proyek tertinggi Ciputra dalam pembangunan di wilayah Jawa Timur. Tidak ada yang berani melawannya.”
“Apa yang Paman maksud tentang peleburan situs di desa sebelah itu ulahnya? Apa warga desa tidak ada yang menahan mereka?”
“Proyek ini sebenarnya sudah diajukan lebih dari 5 tahun yang lalu oleh Mitra Land dan bekerjasama dengan Join Land, perusahaan milik direktur Paman. Dulu areanya masih dipegang Mas Tomi, Ayah Nara. Dialah yang mengerti seluk beluk dan membawa bukti dari kelicikan pengelola Ciputra. Sayangnya memory card itu hilang saat kecelakaan terjadi.”
“Apa?” semua remaja itu tercengang mendengar pernyataan Paman Rahmat.
“Dan Andra, apa kamu juga mengerti mengapa Mas Jendra berhenti menjadi pilot?”
“Hemm? Ayah pensiun.”
“Saham penerbangan di daerah Yogyakarta lebih dari separuh presentase, itu milik Ciputra Grup namun diambil alih Samudra Cipta, milik Handoko, Paman Leon.”
“A-apa yang Paman katakan? Apa Ayah diberhentikan?”
“Kurang lebih seperti itu. Maka dari itu, kalian yang masih anak-anak belum genap 20 tahun, tidak akan dipercaya jika tanpa pendampingan orang dewasa.”
Kaki Andra lemas mendengar semuanya. Ia tidak menyangka dan belum sepenuhnya percaya. Dikuat-kuatkan kakinya untuk berdiri dan dibukanya ponsel untuk menghubungi taksi online.
“Mau ke mana?” Paman Rahmat mencegah. “Sudah terlalu malam!”
“Saya pamit pulang dulu. Besok harus sekolah sebentar, absen untuk ekstra. Dan, ada yang harus saya pastikan.”
Andra menenteng tas masuk kamar Nara sebentar. Dihampirinya gadis imut itu, lalu ia mengelus pipinya. “Aku akan kembali besok. Doakan aku. Kamu juga harus pulih.”
Andra keluar kamar dan langsung menaiki taksi online yang membawanya pulang. Ia berpapasan dengan Leon, namun tidak dilihatnya. Pikirannya terlalu rumit akibat pernyataan Paman Rahmat. Leon masuk sendiri karena Pak Kim harus mengantar Sena.
“Ke mana?” tanyanya mengisyaratkan Andra.
“Pulang..” Adit menjawab dengan kikuk.
Paman Rahmat diam, semua diam. Ia pamit akan istirahat malam lalu meminta Leon agar tetap di sini saat sore, karena ada hal penting yang harus dibicarakan. Leon menerka-nerka, pasti Ciputra. Paman Rahmat mengusap kepala Leon sebentar, lalu pergi. Leon hanya memandang dengan bingung.
“Sebaiknya kita istirahat. Aku mau melihat Nara,” Leon masuk ke dalam kamar. Sedang Keyla masuk ke kamar tempat Pak Kim istirahat sebelumnya. Dan kedua temannya yang tidak ingin tidur di kamar memosisikan masing-masing di sofa.
Dalam kamar, Leon melihat Nara lalu mengusap pipinya. Ia tidur agak jauh di sofa mini dekat jendela. Dari sana, ia bisa melihat Nara yang sedang bermimpi indah. Leon tersenyum sesaat, lalu mendesah.
Malam telah melewati puncaknya. Hujan mulai mengguyur lereng hingga ke seluruh desa. Suara air menimpa atap dan pepohonan di sekitarnya menandakan bahwa hujan memang begitu derasnya. Berlangsung hingga subuh, membuat semua bangun setelahnya.
Perlahan Nara membuka matanya, melihat sekeliling dan berhenti pada seorang laki-laki memakai jaket hoodie tidur. Tidak terlalu jelas wajahnya karena tertutup tangan. Ia mencoba beranjak dari ranjang meski sedikit tertatih. Tubuhnya merasa lebih segar dari sebelumnya. Dengan menggunakan penyangga infus sebagai penopangnya, didekatinya laki-laki itu. Alangkah terkejutnya saat mendapati bahwa yang dilihat bukan seperti yang dipikirkan.
Leon menggerakkan badan dan mengusap kepalanya. Ia terkejut saat membuka mata Nara sudah berada di dekatnya, menatapnya. Keduanya canggung.
“Su-dah membaik?”