Andra dan ayahnya duduk berseberangan. Ada ketegangan di antara keduanya.
“Apa benar?”
Pak Jendra memejamkan mata sesaat. Setelah yakin, ia menceritakan bagaimana kebenaran yang membuat Andra tersayat. Padahal ayahnya sangat mencintai pekerjaan itu.
“Ayah tidak salah. Seharusnya mereka yang ditangkap.”
“Jika Ayah terus di sana, Ayah pasti akan ikut terjerumus bersama orang-orang itu. Nak, sebaik-baik teman adalah mereka yang mengarahkanmu pada kebaikan. Jika kamu berada di lingkungan yang salah meskipun kamu baik, lama-lama kamu pasti akan ketularan. Bukankah lebih baik meninggalkan tapi merasa tenang dari pada tetap tinggal tapi selalu terkekang?”
Andra beranjak dan langsung memeluk ayahnya. Ia seperti anak kecil yang manja. Berkali-kali ia menyeka air mata yang jatuh. Ada kedamaian merasuk dalam hatinya. Ia kembali duduk tapi kali ini di sebelah ayahnya.
“Andra sudah berhasil mendapatkannya, Yah.”
“Hmm? Anak Ayah yang imut itu?” Pak Jendra tertawa melihat wajah malu-malu anaknya. Andra menutup matanya dengan satu tangan dan mengusap rambutnya sendiri. Ia ikut tertawa.
“Hari ini aku harus kembali ke rumah Nara, Yah. Ada hal penting yang harus segera diselesaikan.”
“Apa karena anaknya Ciputra? Mengapa kamu harus ikut terlibat dengan masalah itu?”
“Seorang laki-laki yang kuat mengajarkanku untuk membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan tanpa memandang bagaimana status dia.”
“Tomi. Baiklah! Kerjakan baik-baik, don’t ever give up!”
Andra memeluk ayahnya sekali lagi dan mengecup tangannya. Ia juga meminta ayahnya untuk menyampaikan sesuatu pada ibunya. Setelah itu baru dirinya bergegas ke sekolah lalu menuju rumah Nara.
*****
Semua masih menerka-nerka tentang perkataan Paman Rahmat. Mereka mulai berhenti saat Miss Nisa menyuruh untuk sarapan bersama. Sandi yang semula tidur tiba-tiba bangun saat mendengar kata tentang makanan. Ia menjadi bahan candaan teman-temannya.
“Tante berangkat dulu, pulang sore. Tante juga sudah meminta izin pada bagian kesiswaan agar memberi kelonggaran untuk kamu dan teman-temanmu,” katanya sembari mengecup Nara lalu pergi. Sementara teman-teman berada di ruang makan untuk sarapan, Andra datang membawa puding untuk Nara. Terlihat wajah Nara begitu senang. Waktu menunjukkan pukul 8 pagi.
“Gak jadi sekolah?”
“Hmm.. Absen saja kok,” Andra membuka kotak puding dan memberikannya pada Nara. “Apa kamu suka?”
“Hmm, bukankah ini kesukaanmu..?”
“Hehehe. Ayo dimakan!” ajaknya mulai menyuapi sahabat kecilnya itu. Begitu senangnya perasaan Andra. Seperti lamunannya waktu itu.
Leon datang saat mereka asyik bercanda. Alih-alih terkejut, ia malah menunjukkan ekspresi yang datar, meski hatinya tidak sesuai. Ia langsung duduk di depan laptop kembali dan meneruskan pekerjaannya. Ada yang harus didahulukan daripada perasaannya. Kali ini ia tidak boleh melakukan kesalahan. Perkiraan tentang kakaknya ternyata tidak ada hubungannya sama sekali. Tapi masih ada kesempatan untuk melihat CD dari rekaman CCTV pemberian Sena tadi malam. Di sana, akan terlihat jelas siapa pelakunya.
“Ini adalah rekaman CCTV rumah kita. Aku juga tidak pecaya, tapi memang ini adalah bukti yang nyata. Kak Niko memang jahat. Dia juga memaksa untuk tanda tangan kontrak dengan perusahaan yang tidak aku ketahui kejelasannya.” Sena menyodorkan beberapa kepingan CD.
“Aku tidak pernah dipaksa, tapi Paman Handoko yang menyerahkan kontrak. Dan kali ini aku tidak percaya karena Paman terlibat kasus suap di sekolah.”
“Apa? Mustahil. Dia sangat baik. Tapi memang bukan Kak Niko yang menyerahkan kontrak, tapi Paman Handoko yang memberikannya padaku. Katanya harus ditandatangani. Kalau tidak, pabrik teh akan pailit. “
“Jadi kita harus hati-hati dengan mereka, Kak.”
“Maaf Leon, aku tidak bisa membantumu dengan masalah Citra Land. Aku tidak tahu tentang pengembangan proyek atau semacamnya. Dan aku akan terbang ke Belanda besok lusa.”
“Apa terjadi sesuatu?”
“Tidak. Papa sudah lebih baik sekarang. Sudah bisa diajak komunikasi. Ini akan menjadi petunjuk buat kita ajukan ke ranah hukum.”