Waktu sudah hampir memasuki dhuhur. Nara sedang berbicara dengan Nenek dan Tante Nisa. Sepertinya mereka bersiap untuk pergi.
“Kebetulan kalian sudah datang. Miss sama Nenek mau ke apotik.”
“Bukannya Miss tadi ke sekolah?”
“Miss izin. Oya. Kalian Senin harus masuk, waktu bermain-main sudah selesai.”
Semua mengeluh kecuali Leon yang lesu. Andra duduk di dekat Nara dan memberitahu lirih tentang Leon. Nara ikut sedih. Matanya tak lepas mengawasi Leon hingga Leon menatapnya.
“Jika memang penemuan itu legal, kenapa media melarang menampilkannya? Dan masalah penyuapan warga, apa kamu tidak curiga? Seperti ada sesuatu yang tersembunyi.”
“Nara. Leon sudah berusaha sangat banyak. Meski seharusnya bukan dia yang menanggung semua ini. Dia hanya ingin menegakkan keadilan dan membersihkan nama baik perusahaan yang akan dikelolanya nanti.”
“Aku juga tahu, kamulah orang yang selalu memperhatikannya. Iya, kan!”
“Apa kamu cemburu?” goda Andra.
“Hm.. Haruskah aku cemburu dengan seorang laki-laki?”
Andra mencubit pipi Nara. Ia lalu menunjukkan ponsel dan mengirim beberapa gambar ke tablet PC Nara. Nara mengamati gambar-gambar temuan itu. Semua tampak jelas bahwa itu adalah bangunan bersejarah.
Keyla dan Sandi berpamitan pulang lebih dulu, disusul Adit yang memberesi laptop lalu pergi. Tinggal mereka bertiga. Tiba-tiba suara ponsel seseorang berbunyi. Buru-buru Leon mengangkatnya.
“Pak Kim akan datang sepuluh menit lagi. Maaf, hanya demi aku kalian jadi seperti ini,” katanya tertunduk.
“Kamu sahabatku, dan sudah menjadi bagian keluargaku. Apakah aku harus mengatakannya ribuan kali?” Andra tersenyum dan kembali menyemangati Leon. “Semua pasti ada jalan keluarnya. Kita akan selesaikan dulu kasus penyuapan dalam sekolah. Apa kamu tahu yang akan kamu lakukan?”
Wajah Leon menjadi lebih bersemangat. Ia tersenyum pada temannya itu, lalu berbalik memandang Nara yang tersenyum mengangguk. Leon seperti mendapat secercah harapan baru. Ia menenteng tas di punggung, lalu berpamitan pergi.
“Ah, aku sangat mengaguminya..” Andra masih tersenyum melihat Leon yang telah pergi. Nara tidak menyahutnya. Dirinya tahu bahwa persahabatan Andra dan Leon sedari kecil telah membentuk ikatan batin yang kuat, sama seperti dirinya dengan Andra.
“Baiklah, tinggal kita berdua. Apa yang harus kita lakukan?” lanjutnya. Nara mendesah, merasa konyol.
“Kenapa diam? Hmm. Entah apa memang aku jahat saat ini. Tapi aku terlalu bahagia saat melihatmu lemah.”
“Hah?”
“Maaf, tapi memang aku jujur. Aku merasa aku berguna untukmu saat kamu seperti ini.” Andra tersenyum. Nara memandang ketulusan di wajah Andra. Ia lantas tertawa.