Leon telah mengemasi laptop dan beberapa lembar kertas ke dalam tasnya. Ia meraih buku catatan miliknya. Di dalamnya ada foto dirinya bersama Nara sewaktu di Magetan. Dibelainya foto itu sebentar, kemudian ia bersiap-siap hendak menemui Nara di perpustakaan. Ia melihat sekeliling, sepi. Beberapa teman di kelasnya sudah meninggalkan kelas. Namun baru beberapa langkah ia dipanggil oleh siswa lain dan menyuruhnya untuk menemui seseorang di akademik room.
Seorang laki-laki paruh baya berjas hitam duduk menunggu Leon dengan bibir tesungging. Tanpa mengetuk pintu, Leon langsung masuk begitu saja. Sorot mata yang tajam seolah hendak mencabik-cabik raganya.
“Selamat datang, Leon keponakan tersayang. Bagaimana kabarmu Nak? Akhir-akhir ini sepertinya kamu sedikit lelah.”
Leon tidak menjawab. Ia malah tersenyum sinis menunggu pamannya melanjutkan ucapannya.
“Paman sangat menyayangimu dan berharap kamu nurut seperti kakakmu. Tapi ternyata Paman salah. Kamu sudah terlalu banyak bertingkah!”
“Aku tidak akan pernah membiarkan Ciputra digerogoti pemimpin bakhil sepertimu, sekalipun itu kerabatku!”
“Ah, ya. Aku tidak akan basa basi lagi mulai sekarang,” kata Mr. Handoko, Paman Leon yang berdiri menghampiri Leon. “Di mana kamu menyembunyikannya?”
Leon tidak mengerti perkataan pamannya. Namun ia berpura-pura seolah mengetahui semuanya.
“Mundurlah dari jabatanmu di sekolah ini! Aku memiliki banyak bukti tentang kasus korupsimu yang juga melibatkan para staf bagian akademik dan pengelolaan.”
“Leon, Leon. Apa yang akan kamu lakukan? Kamu hanya anak manja yang tidak akan bisa dipercaya oleh siapapun. Kamu tidak akan berani!”
“Aku akan melakukannya! Aku akan mengumumkan di seluruh kepala pengelola staf dan semuanya, bahwa kamu telah memperjualbelikan bangku atas nama siswa prestasi. Tunggu saja!” Leon berjalan keluar dengan membanting pintu di depan pamannya. Dirinya benar-benar marah. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Hah.. Bahkan aku lupa ada janji dengan Nara.”
Leon berlari ke arah perpustakaan. Hanya ada beberapa siswa saja yang berada di sana. Ia lemas. Waktu sudah berlalu lebih dari 15 menit. Mungkin Nara sudah meninggalkannya. Saat ia akan beranjak keluar, sebuah notifikasi pesan bergetar di ponselnya.
‘Apakah kamu hanya akan berdiri di sana?’
Leon menatap ke sekeliling, tapi tidak menemukan Nara. Belum sempat ia membalas, pesan dari Nara kembali muncul.
‘Tempat biasa kamu menepi.’
Leon tersenyum karena tahu Nara sedang berada di mana. Ia segera berjalan cepat menuju tempat yang dimaksud. Di sana, Nara sedang duduk di hadapan laptopnya.
“Maaf. Tadi sedikit ada sandungan. Untungnya kamu masih mau menungguku.” Leon duduk di samping Nara. “Dari mana kamu tahu aku selalu duduk di sini?”
“Hmm. Setengah tahun melihatmu di sini, kamu seperti orang yang menyedihkan. Bagaimana bisa siswa sepertimu menghabiskan waktu sendiri di sini?”
“Hah? Apa kamu juga di sini? Ah.. Kamu ternyata tidak berubah. Dari dulu diam-diam mengamatiku tanpa kamu sadari jika aku mengetahuinya. Ternyata kita berdua sama.”
‘Apa? Oh tidak. Aku salah bicara. Kenapa aku harus menjelaskan hal seperti ini? Dasar bodoh, Nara!’ Nara sedikit tersentak. Ia begitu asal bicara hingga tidak menyadari bahwa itu membongkar hal yang harus disembunyikannya.
“Tapi aku senang, kamu memanggilku ke sini. Artinya kamu tidak marah kepadaku,” Leon tersenyum. “Juga, aku minta maaf atas kejadian waktu itu. Hehe. Baru pertama kali gendong cewek turun gunung, ternyata berat juga.”
Wajah Nara tiba-tiba memerah. Ia berpura-pura tidak mendengarnya.
“Baiklah, aku sudah datang. Apa yang membuatmu begitu ingin bertemu denganku? Sepertinya ada sesuatu yang sangat ingin kamu katakan..”
Nara menatap Leon sesaat. Matanya mulai membendung air. Menyadari hal itu, Leon sedikit kebingungan. Ia ingin bertanya, tapi Nara telah menunjukkan data dan gambar di laptopnya. Leon menggeser laptop Nara lalu mulai melihat isi di dalamnya. Sebuah informasi yang menyesakkan dadanya. Tangannya mengepal kuat-kuat. Ia menoleh ke arah Nara yang mulai menitikkan air matanya. Dilihatnya kembali data-data yang menyangkut perusahaan Ciputra, Join Land, dan beberapa nama anggota DPRD yang menerima aliran dana. Tertulis juga pengunduran resmi Join Land yang menuntut ganti rugi atas kelalaian Ciputra yang mendirikan bangunan di atas tanah sengketa. Nama Tomi Andara dan direktur Join Land yang lama ada di sana, keduanya kini sudah meninggal dan ada penggantian yang mengelola. Semua kerja sama sebelumnya dan tuntutan lebur begitu saja karena bukti tidak ditemukan. Gambar-gambar juga menunjukkan bukti perjanjian dan kesepakatan yang akan dipenuhi pihak Ciputra.
Di slide paling akhir, ada beberapa audio dan video. Yang membuat Leon tercengang adalah adanya ancaman penggulingan perusahaan Join Land jika tetap tidak mau membubarkan kesepakatan. Saat itu yang terlihat jelas adalah Tomi, Ayah Nara. Jika dilihat tanggal sebelum kejadian kecelakaan Ayah Nara, rekaman CCTV dan audio itu adalah sama, 3 hari sebelumnya.
“Nara, apa kamu baik-baik saja?” Leon melihat air mata Nara yang mengalir deras. Meski tak ada isak yang terdengar, tapi Leon tahu bahwa Nara sangatlah terpukul. Ia tampak berusaha menguatkan diri.
“Apa yang harus aku lakukan?” dada Nara terasa sesak kembali. Jika dicermati, direktur dan ayahnya adalah kunci dari sebuah kebenaran. Dan kini mereka berdua sebagai pengganti yang membawa kunci menjadi bingung, apa yang harus dilakukan.
Leon menyeka air mata Nara. Kedua telapak tangannya berhenti di pipinya. Ia mencoba menguatkan Nara, meski dirinya sendiri tampak rapuh. Matanya ikut berkaca-kaca.
“Dengarkan baik-baik. Kamu harus melakukannya. Kamu harus melaporkan temuan ini ke pihak berwajib,” air mata Leon menetes. “Aku ingin kamu yang melakukannya.”
“Maaf, aku tidak bisa. Aku tidak mungkin bisa!”
Leon melepaskan tangannya lalu bersandar di kursinya. Mereka diam dan berpikir. Leon melihat kembali data-data pengeluaran lagi.
“Siapa yang mengetahuinya?”
“Tidak ada. Aku berpikir akan membuangnya, tapi aku ingat kamu.”
“Paman Rahmat tahu?”