Hari telah berganti menjadi pagi lagi. Andra bersiap-siap untuk ke sekolah. Dipakainya almamater dengan jurusan kebanggaannya itu. Setelah sarapan dan berpamitan dengan orang tuanya, ia segera berlari menuju sekolahnya. Namun baru sampai depan pintu rumah, langkahnya terhenti oleh sebab terhalang air yang jatuh dari langit.
‘Hujan? Ah. Kenapa harus di saat-saat seperti ini?’ Andra kembali lagi dan mengambil payung.
“Bareng Ibu saja Nak!” teriak Bu Kasih dari ruang makan.
“Tidak apa-apa, Bu. Sekalian mau olahraga!” Andra pergi.
“Yah. Apa anakmu tidak salah? Bukankah hujan?”
“Hahaha. Biarkan saja dia!” Pak Jendra tertawa. Ia tahu anaknya sedang mengalami pengenalan cinta masa remaja.
Andra berjalan cepat di tengah gerimis yang menerpa payungnya. Jalanan masih lengang karena hari masih sangat pagi untuk siswa yang ingin berangkat. Tiba di gerbang sekolah, langkahnya berhenti karena melihat siswa perempuan yang sangat disukainya. Senyumnya mengembang manis seperti gulali. Mereka saling menatap saat dibawah payung masing-masing.
Di waktu yang sama, Leon sedang sarapan di kamarnya menghadap komputer. Kepalanya sedikit pusing melihat data-data dalam tabel yang sangat panjang.
“Ah, terkadang menjadi pintar itu musibah,” katanya sembari mengunyah makanan. Jari-jari tangannya tak lepas dari tombol-bombol keyboard. Beberapa saat kemudian, ia menghentikan yang ia kerjakan. Tubuhnya berdiri dan melangkah menuju nakas sebelah tempat tidurnya, dan mengambil kepingan CD pemberian kakaknya Sena tempo hari. Tak berhenti di situ, tangannya mencoba meraih flashdisk miliknya tapi tak menemukannya. Dikeluarkannya seluruh isi laci nakas, membuat lantai berantakan.
“Di sini kamu rupanya,” Leon tersenyum. “Eh, ini CD apa?” lanjutnya mengambil CD yang tak pernah dikenalnya. “Bukankah ini..” Leon mengingat-ingat CD itu dengan kaitan lebih dari 5 tahun yang lalu. Saat itu masih suasana duka dengan kematian kakeknya.
“Maaf. Biar aku bantu.” Leon membereskan. Orang itu agak terkejut.
“Bukankah kamu ikut prosesi pemakaman?”
“Oh, tidak. Leon agak pusing,” Leon memberikan semuanya termasuk kepingan CD. “Lalu kenapa Paman masuk ruang kerja Kakek?”
Leon mengingat kejadian itu, tapi masih belum memahaminya. “Bukankah ini CD yang aku tinggalkan di rumahku Jogja? Kenapa ada di sini? Apa tidak sengaja aku membawanya? Ini milik Paman Handoko.”
‘Tok-tok-tok’
Suara ketukan terdengar, yang ternyata Pak Kim. “Sudah waktunya berangkat ke sekolah, Tuan!”
“Oh, iya. Tunggu Pak Kim.” Leon menunjukkan kepingan CD. “Apa Pak Kim tahu siapa yang membawa CD ini?”
Pak Kim melihat CD itu, ia tersenyum. “Maaf atas kelancangan saya. Karena waktu pindahan Tuan Leon tidak membawanya, saya membereskannya dan meletakkannya di sana. Bapak takut kalau itu penting, jadi semuanya Bapak bawa.”