Untuk Sebuah Kesempatan (Satu Detik Lagi)

S.S. RINDU
Chapter #22

Bagian Dua Puluh Dua

Hujan masih belum reda sedari pagi. Nara duduk di ruang keluarga dalam rumah yang pernah ia tempati beberapa waktu lalu. Sungguh, keluarga Andra selalu bisa mengobati rasa rindu dengan orang tuanya.

“Apa kamu tidak ingin menginap lagi?” Andra tersenyum menggoda.

“Hmm? Kamu ingin aku melihatmu joget-joget lagi?” balas Nara yang tak mau kalah. Wajah Andra tersipu. Ia terkekeh.

“Mau lihat kamarku?”

Nara menatap Andra. Ia sedikit curiga, lalu menolaknya.

“Hah? Pikiranmu saja yang aneh! Aku bukan laki-laki seperti itu. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu.”

Nara berpikir sesaat, lalu mau menuruti Andra. Ia mengikuti punggung Andra memasuki kamarnya. Nara duduk di tepi jendela menunggu Andra menunjukkan sesuatu sesuai yang dijanjikannya.

“Tahu ini?” tangan Andra memberikan bingkai yang berisi ukiran gambar sepasang merpati dan 5 lembar uang seratus ribuan. Nara memandang dengan tidak mengerti.

“Ini bayaran waktu aku pertama kali kerja. Saat itu, ada seorang anak kecil memakai topeng kucing yang tiba-tiba menyuruhku untuk membantunya bekerja.”

Nara mencoba mengingat-ingat sesuatu. Kejadian beberapa tahun lalu saat masih sekolah dasar. Ia mengambil sesuatu dari dalam tas dan memberikannya pada Andra.

“Apa ini?”

“Sudah, cepatlah dipakai! Atau sini, aku pakaikan.” Nara memasangkan topeng kucing dan bando telinga pada Andra. Nampak Andra yang lucu dan menggemaskan. Ia lantas mengambil brosur dan memberikannya.

“Bawa!”

“Eh, apa-apaan ini. Kenapa aku juga harus ikut seperti ini?”

Beberapa hari setelahnya, ia memberikan amplop pada Andra sambil tersenyum. Andra membuka dan terkejut melihat isinya. Lima lembar uang seratusan.

“Nara, kamu..”

“Itu bagianmu kemarin. Terima kasih sudah membantu.”

“Maaf, aku tidak bisa menerima ini!” Andra menyodorkan balik, “Untukmu saja!”

Nara mendekati telinga Andra, lantas berbisik, “Aku juga tidak mau korupsi mengambil gaji pegawaiku yang tidak pintar.” Nara menggenggamkan amplop itu ke tangan Andra dan tertawa meninggalkannya.

Nara tersenyum mengelus-elus bingkai itu. Ia memandang Andra yang masih tersenyum.

“Bagaimana?” Andra menaikturunkan kedua alisnya.

“Hmm..” Nara mengangkat jempolnya. “Lumayan.”

Andra kembali menunjukkan beberapa kenang-kenangan lagi tentang dirinya dan Nara. Nampak sekali raut wajah yang bahagia. Entah kenapa beberapa waktu terakhir Nara memandang Andra dengan cara yang berbeda. Ia ingat betul, tidak ada rasa ketertarikan lebih selain persahabatan dan anggapan sebagai saudara. Banyak perubahan positif yang terjadi dari dalam diri Andra setelah berpisah darinya. Meski sikap konyol itu kadang masih menyelingi, Andra sudah mulai tumbuh dewasa.

“Hei. Apa yang terjadi padamu selama 5 tahun ini?”

“Aku? Tidak ada. Mungkin, setia menunggumu.”

“Hehe. Ada-ada saja!” Nara beranjak dari kursi menuju balkon. Hujan mulai reda, namun masih ada sisa-sisa air yang terbawa hembus angin. Andra mengikutinya.

“Nara. Kamu tahu apa yang aku rasakan saat tiba-tiba kamu pergi? Hatiku sakit. Aku sungguh tidak bisa membayangkannya lagi. Aku ingin menyerah. Aku selalu dihantui rasa bersalah padamu, hingga aku membuang semua pikiran tentangmu.”

“Apa yang kamu lakukan sampai berpikir merasa bersalah?”

“Entahlah.”

“Ah, bahkan kamu membuang kado ulang tahun untukmu di tempat sampah depan rumah. Dasar!”

“Hmm.. Waktu itu memang aku tidak bisa berpikir jernih. Setelah aku sadar, aku ingin mengambilnya lagi, tapi barang itu hilang. Aku pikir sudah dibawa tukang sampah, sampai mencarinya di TPA sana. Dan aku menangis berhari-hari. Hahaha. Aku seperti anak bodoh,” Andra tertawa.

“Kamu memang bodoh!”

“Hehehe.. Dan ternyata malah dibawa Ayah,” sambung Andra seraya melihat ke langit, lalu tiba-tiba ia menyadari sesuatu, “Tunggu! Kenapa kamu tahu itu adalah kado ulang tahun untukmu dan aku membuangnya di tempat sampah depan rumah? Tidak ada yang tahu itu. Apa kamu..”

“Benar. Aku pulang. Aku tahu itu karena kamu selalu bingung akan memberikannya padaku atau tidak. Apa kamu tidak tahu bahwa aku selalu menantikannya! Dasar, bikin geram saja!”

“Pulang? Ah. Pemakaman ibumu? Kenapa kamu tidak menyapaku? Dan juga, aku tidak tahu kalau kamu ingin kado dariku.”

Lihat selengkapnya