Rumah mewah berlantai tiga itu masih tetap sama seperti yang dilihatnya beberapa tahun lalu. Hanya saja penampakan halaman depan yang sudah berubah. Tidak banyak aktivitas yang terjadi di sekitar rumah itu.
'Aku di depan rumahmu.'
Notifikasi pesan dari Nara yang tersambung di dalam laptop di baca oleh Adit.
“Nara? Ciye. Dia selalu saja perhatian dengan Lemon. Eh Leon. Hadeh, gara-gara bayi tadi, jadi ikut-ikutan.” Adit berdiri dan meminta Pak Kim melihat isi rekaman. Ia ingin menyambut Nara tanpa sepengetahuan Leon.
Setelah pintu dibuka satpam di pagar rumah, tampak Adit berlari terengah-engah menghampirinya.
“Adit? Apa rumahmu pindah?”
Tidak menjawab, Adit buru-buru menariknya masuk ke dalam lift rumah menuju balkon lantai 3.
“Eh..!”
Di dalam kamar masih terlihat seperti tadi, hanya Pak Kim yang sibuk di depan laptop. Sesaat kemudian Leon datang sambil membawa baki yang berisi minuman dingin.
“Kenapa Tuan malah membawa ini, kan ada mbak-mbak di bawah?” Pak Kim spontan langsung beralih membawakan minuman yang dibawa. Di sampingnya, Adit terus membujuk dan mengatakan ada sesuatu yang harus dilakukan Leon di lantai 3. Tentang tikus-tikus yang memecahkan vasnya.
“Aku punya banyak kucing, tidak ada tikus di rumahku. Kamu ini kenapa! Sudah, ayo kita teruskan ini! Nanti bisa sampai malam tidak akan selesai.”
Leon hendak kembali duduk, namun dengan gemas Adit menggelandang Leon menuju lift dan mendorongnya masuk. Iapun tidak bisa berontak, karena kalah sigap dengan Adit yang terburu-buru menekan bel. Leon benar-benar kesal dan tidak mengerti.
Nara yang berada di lantai 3 dibuat takjub dengan nuansa taman yang begitu indah. Selama dirinya berkunjung ke rumah Leon, baru kali ini melihat ruangan lantai 3 yang ternyata adalah taman. Ia melihat sekeliling, nampak pemandangan kota dan sekolah terlihat jelas dari sana. Nara berjalan lagi mengamati berbagai macam tanaman hias dan pohon yang di tanam dalam pot berukuran besar.
‘Apa aku yang terlalu kuno? Bahkan ide dari seorang arsitek akan lebih baik jika dikombinasikan dengan seni tanam menanam. Ah, aku tidak pernah memikirkan ide seperti ini. Leon hebat sekali. Eh, mana dia?’
Leon masih menggerutu saat keluar dari lift. Ia mengibas-kibaskan pakaiannya tanpa menyadari Nara ada di dekatnya.
“Vas pecah, ada tikus. Memang siapa peduli? Eh, Dit, bilang saja kalau mau ngeprank!”
“Ngeprank siapa?”
“Ya akulah, siapa lagi. Masa di rumahku banyak tikus-tikus, yang benar saja!” gerutunya seraya menekan tombol lift hendak masuk ke dalam. Ia seketika sadar ada orang lain selain dirinya di sana. Ia kembali keluar dan melihat Nara tersenyum menatapnya.
“Hai..”
Leon ternganga hingga tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia tidak menyangka Nara ada di sana. Terlintas bayangan Adit yang mengerjainya.
“Dasar Adit!”
“Leon?” Nara mendekatinya. Leon nampak sibuk merapikan rambut juga pakaiannya.
“Aku, maaf tidak menyambutmu dengan baik. Apa Adit mengatakan sesuatu? Apa sudah lama?”
“Hehe. Tingkahmu tidak seperti Leon yang aku kenal.”
‘Apa aku salah bicara?’ pikir Leon canggung.
“Ah, tidak. Tadi ada tikus Adit. Ah, sudahlah lupakan. Oya, duduklah! Aku agak terkejut saja kamu malam-malam ada di sini. Sebentar, tunggu di sini.” pintanya berlari ke arah telepon intercom rumahnya. Ia meminta seseorang membawakan sesuatu untuk disuguhkan. Setelah itu, ia kembali dan duduk di samping Nara.