“Parasnya, sungguh indah sekali. Menggugah rasa tuk ingin slalu bersamanya. Senyumnya, menggetarkan jiwaku. Meresap indah dalam alunan syair laguku..”
Suara dentingan senar gitar menggema di seluruh danau. Leon begitu menikmati lagu itu. Meski hanya dirinya sendiri yang mendengarnya, tetapi ia sangat puas bisa menumpahkan perasaannya saat itu.
Sebelumnya, sekitar tiga puluh menit yang lalu, Leon berjalan pelan dan duduk bersimpuh di depan sebuah makam yang selalu dikunjunginya setiap ia rindu. Ia lalu meletakkan gitar di dekat makam kakeknya. Dengan penuh haru, dirinya berdoa dan mencium nisan berwarna hitam itu. Ia di sana sendiri, karena tidak ingin mengajak siapapun termasuk Nara. Dirinya juga ingin melepas beban pikiran sesaat dengan bernyanyi di tepi danau.
“Aku tidak menyangka suaramu begitu merdu. Bahkan kamu bisa memainkan gitar,” kata seseorang di belakangnya. Suara itu adalah suara seseorang yang selalu melekat di hatinya.
Sedikit tersentak, Leon menoleh pada Nara yang tersenyum. Ia nampak cantik dengan dress berwarna putih dengan kombinasi merah muda. Tapi kali ini ia tidak mengenakan jepit rambut, sehingga poninya menutupi keningnya.
‘Ah, dia selalu saja cantik,’ pikirnya.
“Hehe, kenapa kamu mengikutiku sampai ke sini?”
“Oh, itu. Aku melihat sikap anehmu, jadi aku berpikir kalau kamu pasti pergi ke sini. Apalagi kamu bawa gitar. Hei, kamu benar-benar mirip Andra!” Nara masih tersenyum dan langsung duduk saja di sebelah kanan Leon sembari melihat jernihnya danau. Mereka berdua mengingat saat bermain bersama-sama di tempat ini.
“Aku ingat saat kamu mengalahkanku berlari mengitari danau ini.”
“Dasar! Waktu itu kamu berlari lebih dulu, tapi tetap saja tidak bisa mengalahkanku.”
“Heheh.. Bahkan sampai saat ini kamu tidak meminta sesuatu dariku.”
Leon hanya tersenyum. Melihat Leon memainkan gitar, Nara meminta Leon untuk menyanyikan lagu itu sekali lagi. Tapi entah kenapa jantung Nara menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Ia mengingat beberapa kenangan selama ini bersama sahabat berambut pirang itu. Ia memandangnya yang seperti mencurahkan perasaannya lewat lagu itu. Untuknya. Benarkah?
“Ah, aku jadi ingat sewaktu belajar main ini. Aku sangat kagum dan iri dengan keahlian Andra. Bahkan sejak dulu, saat pertama kali bertemu di Sekolah Dasar.”
“Kenapa merendah? Kamu memiliki segalanya. Andra tidak bisa mengalahkanmu dalam pembelajaran, sangat jauh. Bahkan aku. Kamu bisa melakukan banyak hal. Coba lihat, seorang siswa sepertimu seharusnya tidak perlu memikirkan pekerjaan! Tapi kamu, terus berjuang, belajar, bekerja,” Nara melempar kerikil ke danau. Leon meletakkan gitar di sebelah kirinya.
“Tidak semua hal yang kuinginkan bisa aku dapatkan dengan mudah. Aku harus membayarnya dengan semua pengorbananku. Memang yang tampak oleh semua aku hanyalah Tuan Muda yang manja, bergelimang harta, the real of sultan. Its not like me!” Leon ikut melempar kerikil.
“Sejak kecil, aku belajar dan harus belajar entah untuk apa aku tidak tahu. Yang jelas karena tuduhan yang buruk terhadapku, aku tidak boleh menyerah. Aku selalu ingin menjadi Super-Man agar bisa menjaga dan melindungi orang-orang yang aku sayang. Maka dari itu, aku harus bangkit. Aku harus kuat sekalipun hatiku rapuh. Karena itu bukan alasan untuk berdiam diri melihat semua terluka.”
Jantung Nara yang semula berdebar-debar kini mulai melemah serta perasaannya tidak menentu. Tangannya gemetar dan bibirnya kelu.
“Si-siapa? Siapa kekasih Super-Man?” tanyanya dengan parau. Matanya mulai berkaca-kaca.
Leon yang tidak menyadari itu dengan riang menyebutkan bahwa kekasih Super-Man adalah Bidadari Putih. Bidadari putih yang berparas rupawan, juga memiliki hati yang suci. Ia terus bercerita bahwa sepasang kekasih akan selalu saling membantu dengan semua perbedaan yang dimiliki. Karena hanya dengan perbedaan, semua kehidupan akan seimbang dan saling melengkapi. Seperti itulah karakter Super-Man dan Bidadari Putih bagi Leon.
“Bagaimana? Eh, tidak ada respon?”
Leon terkejut saat menoleh, Nara menatapnya dengan linangan air mata yang telah membanjiri pipinya. Ia ingin bertanya mengapa, namun ia sadar bahwa dirinya telah menceritakan rahasia lama yang belum pernah diungkapkan pada siapapun. Termasuk Pak Kim, yang selalu bersamanya. Ia kebingungan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Bahkan ia tidak menyangka Nara masih mengingatnya meskipun sudah lama terlewatkan.
“Super-Man?” gumam Nara lirih. Ia tidak bicara karena air matanya telah menunjukkan bahwa dirinya sedang terluka.
Leon sedikit menggeser tubuhnya dan mengusap air mata Nara yang terus mengalir. Dibelainya rambut panjang gadis itu. Perlahan ia mendekat, wajah mereka melekat tanpa jarak, hingga bibir keduanya menjadi bertaut. Seluruh tubuhnya panas dingin, memacu hasrat yang mengalir menuju kepalanya. Hembusan nafas Nara yang memburu membuat dirinya tidak ingin mengakhirinya secepat itu. Untuk sejenak, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang bermadu cinta. Namun jika diamati, sang Perempuan tidak membalas sama sekali.