Pak Kim sedang berada di kediaman keluarga Leon di Yogyakarta. Rumah mewah berlantai 3 itu sangat sepi. Hanya ada asisten rumah tangga dan petugas keamanan saja yang berada di sana. Memang kebanyakan rumah orang berada selalu tampak sepi. Petugas yang sudah mengenal Pak Kim sebagai salah seorang kepercayaan Tuannya tidak bertanya macam-macam saat kedatangannya kemarin. Pak Kim mencari beberapa arsip keluarga yang diletakkan keluarga Leon di gudang penyimpanan. Namun di sana ia tidak menemukan yang dicari.
Pak Kim kembali dan memasuki ruang kerja almarhum Tuannya, Kakek Ciputra. Ia harus mendapatkannya dan segera kembali secepat mungkin ke Malang karena hatinya mendapat firasat buruk. Beberapa dokumen lama dibukanya kembali. Masih tidak menemukannya. Pak Kim lalu menyalakan komputer yang ada di meja. Namun, perasaannya tidak tenang karena ia seperti diawasi sesuatu. CCTV? Pak Kim melihat ada kamera tersembunyi yang ada di rak buku yang mengarah ke seluruh uangan.
“Pintar sekali yang meletakkan ini. Bukankah ruangan ini hanya Tuan Besar dan Tuan Niko saja yang menggunakan. Jika Tuan Niko yang meracuni Tuan Besar, mengapa harus memasang ini di sini? Lhoh, tidak berfungsi toh ternyata.”
Pak Kim meletakkan kamera itu di meja tetapi mengambil sim cardnya dan di letakkan di saku celananya. Ia lalu melihat beberapa file yang ada dalam komputer, namun dirinya merasa Aneh. Tidak ada dokumen apapun yang menunjukkan Niko mengadakan proyek baru pengembangan Citra Land di lereng gunung itu. Bahkan proyek Citra Land 2 seharusnya dibangun di perbatasan kota, meski di data masih di wilayah yang saat ini digunakan pembangunan. Pak Kim mengopy data-data itu ke dalam flash disknya. Setelah selesai dengan itu, Pak Kim yang hendak keluar ruangan tidak sengaja menyenggol patung di meja hingga miring beberapa derajat. Suara seperti pintu terbuka membuatnya terkejut. Pak Kim mendatangi asal suara yang ternyata adalah lemari dinding yang tampak seperti bingkai jika dilihat biasa.
Ada beberapa dokumen kepemilikan dan kepingan CD, falshdisk, dan memory card. Tanpa berpikir panjang, Pak Kim membawa semua itu kecuali dokumen kepemilikan. Ia menegakkan patung kembali seperti semula. Dilihatnya semua CD itu, ada yang tertera tahun 2014. Namun ia belum melihat apa isinya. Ia membuka kembali komputer dan menyalakan isinya. Hanya berisi rekaman penandatanganan proyek dan data-data tentang pembagian harta kepada anggota Ciputra.
“Tunggu dulu, apa ini?” katanya saat melihat ada video yang memperlihatkan pertemuan Kakek Leon dengan para petinggi Ciputra dan Tuan Handoko juga berada di dalamnya.
Pertemuan itu dilakukan di ruang tengah rumah sekaligus diadakannya jamuan di sana. Waktu menunjukkan 10.15 pagi, tanggalnya 14 Januari 2014. Pak Kim ingat Tuan Besar meninggal 2 hari setelah mengadakan pertemuan. Dilihat dengan saksama, tidak ada aktivitas yang menunjukkan Tuan Niko melakukan sesuatu padanya. Rekaman menunjukkan 13.05, mereka selesai dan semua meninggalkan tempatnya. Pak Kim mempercepat lajunya, namun rekaman itu terpotong. Kemungkinan Tuan Besar hanya mau menyimpan itu sebagai bukti penandatanganan perjanjian. Padahal ada bahaya yang mengintai di balik itu.
Dengan saksama, dibukanya lagi beberapa CD dan isi dalam flashdisk itu. Betapa terkejutnya dia. Dia malah melihat rekaman CCTV mobil yang memperlihatkan seseorang yang tak lain adalah Pak Handoko yang sedang berada di sebuah klinik asing. Sambil membawa sebuah bungkusan kertas, ia tertawa dan masuk ke dalam mobil kembali. Di dalam mobil, terdengar percakapan 2 orang yang satunya jelas Tuan Handoko dan satunya kurang jelas siapa. Tapi didengar dari gaya bicaranya, itu adalah Tuan Niko. Suara tersebut menunjukkan bahwa Tuan Niko harus memberikan obat untuk Tuan Besar karena itu adalah titipan dan harus dilaksanakan.
Telihat air mata Pak Kim yang meleleh. Ternyata selama ini yang memecah belah keluarga Ciputra adalah Tuan Handoko, anak dari adik Tuan Besar Ciputra. Tapi ia sedikit tidak mengerti, kenapa ini di simpan oleh Tuan Besar sendiri? Atau apa mungkin Tuan besar belum sempat melihatnya, lalu di simpan ke dalam lemari rahasianya? Sungguh membingungkan.
Pak Kim yang jarang terlihat sedih segera menyeka air matanya. Ia lantas mematikan kembali komputer dan berniat kembali ke malang secepat mungkin. Bukti ini sudah sangat kuat untuk menuntut keadilan keluarga Tuannya. Ia lalu keluar ruangan dan menguncinya kembali dengan kartu yang diberikan Tuannya waktu itu. Hanya anggota keluarga dan orang-orang tertentu saja yang khusus memiliki kartu kunci ruang kerja Kakek Ciputra.
Dengan sedikit tergesa-gesa, Pak Kim berlari menuju tempat memarkir kendaraannya. Di sana ia berjumpa dengan Resan dan Inka yang tersenyum menyapanya.
“Selamat sore Pak Kim. Anda tiba-tiba datang? Apa ada hal yang penting?” Inka tersenyum ramah. “Apa Leon juga ikut?”
“Ada sesuatu yang harus saya lakukan di sini, Non. Tuan Leon sedang di Magetan, dan saya harus kembali ke Malang saat ini juga.” Pak Kim terlihat panik. Resan yang biasanya tidak peduli, tergerak hatinya memberi pesan agar hati-hati di jalan.
Pak Kim diam hanya membungkuk dan mengucapkan salam lalu pergi. Sebelumnya ia mengatakan bahwa keluarga Ciputra akan kembali mendapat ketentramannya. Resan hanya tersenyum tanpa memikirkan kata-kata Pak Kim.
Pak Kim melajukan mobilnya secepat mungkin agar sampai di Malang dan memberitahu kejadian yang sebenarnya. Dirinya sudah mengetahui bahwa yang jahat adalah Tuan Handoko yang juga orang yang mewadahi korupsi di sekolah serta yang memalsukan tanda tangan Niko dalam pengalihan proyek pembangunan Citra Land. Semua bukti sudah dibawanya. Ia sangat senang. Pak Kim juga sempat mengirimkan pesan pada Tuannya bahwa ia mendapatkan bukti yang sesungguhnya. Di fotonya bukti-bukti itu dan mengatakan bahwa ia akan sampai di Malang sebelum Subuh.
*****
Hari sudah melewati malam. Burung-burung berkicau dengan riang meski petang masih menyelimuti kota. Nara keluar kamar namun ia langsung dikejutkan oleh Andra yang berdiri menyambutnya. Ia menggandeng Nara dan mengajaknya sarapan. Namun betapa terkejutnya dirinya saat mendapati meja makan yang kosong tanpa aktivitas Mbak Rumi.