Andra mengajak Nara ke salon langganan ibunya. Ia mengatakan pada pegawai salon agar mendandani Nara seperti foto yang ada di layar ponselnya. Foto Nara saat festival seni sekolahnya 3 hari lalu. Tak lupa ia memilihkan gaun yang cocok. Karena Nara menyukai white princess, ia memberikan sentuhan putri dengan dengan karakternya yang feminim. Dirinya juga mengenakan setelan kemeja putih agar seperti couple.
Dion dan Gege sudah datang terlebih dulu, disusul Inka dan Leon yang datang hampir bersamaan. Mereka mengenakan pakaian dengan kombinasi putih, padahal tidak saling bertukar informasi hingga saling sindir dalam tawanya. Sesaat setelahnya, Andra masuk ruangan sendiri menuju tempat teman-temannya berkumpul. Nara yang pamit ke kamar mandi lebih dulu membuat Andra bisa memanfaatkan kesempatan untuk bebicara dengan semuanya.
“Ada apa ini, semua serba putih,” sapanya tersenyum senang.
“Kamu tidak biasanya datang cengengesan seperti itu. Apa kamu menang lotre?” sindir Dion.
“Bukan seperti Andra.” Gege menimpali. Leon yang duduk sembari menunggu kabar di ponselnya hanya tertawa kecil.
“Ya, dia sekarang berubah rapi dan ganteng. Mungkin sudah mulai menyukai lagi.” Inka ikut komentar.
Andra tidak menanggapi teman-temannya. Dirinya yakin jika mereka melihat seseorang yang diajaknya, pasti akan heboh mengalahkan bertemu dengan artis.
“Aku membawa seseorang yang akan melengkapi makan malam kita..” Andra berdiri melihat ke arah pintu.
‘Seseorang yang melengkapi makan malam?’ Leon terkejut. Ia yakin bahwa yang diajaknya adalah Nara. Jantungnya berdebar-debar.
Semua bertanya siapa dan mengira Andra mengajak pacar pertamanya. Mereka ikut berdiri menyambutnya, tak terkecuali Leon yang terakhir berdiri.
Nara masuk melihat seluruh ruangan yang tenang. Tiba-tiba jantungnya berdebar kencang, ia melihat Andra yang tersenyum menatapnya. Ia juga membalas dengan senyumnya yang manis. Perlahan kakinya menghampiri tetapi berhenti tatkala Leon yang tampak berdiri di belakang Andra menatapnya pula dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. Nara benar-benar terkejut. Jantungnya yang berdetak seperti telah melakukan lari maraton membuatnya sesak. Ia hanya berdiri mematung hingga tak menyadari ada teman-teman lain yang ikut menatapnya.
Dion dan Gege terkejut melihat seorang gadis cantik menghampiri mereka. Tak kalah terkejut pula Inka memandang Nara dari ujung kepala hingga kaki. Andra datang menggandeng tangan Nara dan membawanya mendekati teman-temannya. Nara yang canggung hanya tersenyum seperti baru pertama berjumpa.
“Selamat bergabung kembali bersama kami, Nara..” Andra masih tersenyum melihat teman-temannya yang terkejut.
“Nara?!!!” Gege dan Dion berkata bersamaan. Sedang Inka meninggalkan kursinya menghampiri Nara. Dirabanya wajah sahabat kecilnya itu.
“Nara?” sapanya lirih. Nara hanya tersenyum mengangguk. Seketika Inka langsung mencium kedua pipinya dan memeluknya erat. Tangis pecah di antara keduanya.
“Ah, sia-sia aku mendandaninya hanya untuk menangis,” gerutu Andra. “Sudah-sudah! Kita ke sini untuk makan malam, bukan untuk menukar air mata.”
“Biarkan saja, mereka sedang senang,” Leon tersenyum membela para gadis.
Inka melepaskan pelukannya dan meminta Nara duduk di dekatnya. Nara yang masih tetap canggung hanya menurutinya. “Nara, masih ingat mereka?” tanyanya menunjuk Gege dan Dion.
Malu-malu Nara mengatakan bahwa mereka berdua adalah Gege dan Dion. Gege bahkan masih tidak percaya bahwa gadis cantik di hadapannya adalah Nara. Benar-benar berbanding terbalik dengan Nara yang masih kecil.
“Nara. Apa kamu masih bisa menendang bola? Atau bermain karate? Seperti ini.. Hyaa..” Gege mempraktikkan adegan karate Nara saat kecil. Nara tersenyum menggeleng.
“Apa kamu masih mengingat kita selalu bermain bersama? Apa kamu masih ingat juga dengan kedua orang ini berpenampilan seperti landak hingga satu minggu lamanya?” Dion menunjuk Andra dan Leon yang membuat mereka malu.