Paman Rahmat datang lagi bersama Adit esoknya. Mereka ingin melihat bagaimana pergerakan perusahaan jika pengerukan lahan dihentikan sepihak. Karena menurut Leon sekolah Ciputra sudah tenang dengan pengunduran diri karyawan dan pamannya yang terlibat. Adit yang sibuk melihat website milik perusahaan Leon tiba-tiba mendapatkan pesan dari temannya. Ia mengatakan bahwa telah ditemukan mayat pria tanpa identitas di sungai tidak jauh dari penemuan mobil di Kediri yang memiliki ciri-ciri yang sama seperti Pak Kim. Leon yang diberitahu akan hal itu segera beranjak dan bergegas menuju Kediri ditemani Adit.
Beberapa jam setelah tiba di RS Bhayangkara Kediri, para petugas kepolisian dan petugas yang menangani jenazah menyambut mereka. Mereka meminta Leon untuk melihat apakah benar pria yang ditemukan dikenalinya atau tidak.
Perlahan kain penutup itu dibuka Leon. Tangan Leon bergetar, air mata mengalir di pipinya. Wajah pria itu sudah membusuk hingga tidak dapat dikenali.
“Ya Allah, Pak Kim..” kaki Leon lemas melihat jenazah yang terbaring di ranjang adalah orang yang dikenalinya. Adit yang berada di sampingnya ikut menangis.
Polisi mulai mengidentifikasi dan menyelidiki dugaan pembunuhan berencana asisten pribadi Leon. Keluarga yang terdiri dari istri dan anak angkat Pak Kim datang dengan perasaan duka. Leon begitu terpuruk dan menyalahkan dirinya sendiri. Keluarga Pak Kim menerimanya sebagai musibah, namun meminta Leon agar menyelidiki kasus ini hingga menemukan siapa pelakunya. Leon masih mencurigai kakak dan pamannya.
Jenazah Pak Kim tiba di Malang sekitar sore, setelah menjalani serangkaian autopsi. Di kantong saku Pak Kim ada memory card dan ditahan oleh polisi sebagai barang bukti. Andra yang mendapat kabar itu langsung bergegas ke rumah Pak Kim. Jenazah Pak Kim di semayamkan sesaat, setelah disholatkan langsung dikebumikan menggunakan peti.
Nara yang melihat Leon sedih tidak kuasa menahan air matanya. Ia menutup mulutnya dengan tangannya. Gege menepuk bahu Leon agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. Leon masih diam tidak bicara. Ia menyadari bahwa peringatan dari pamannya benar-benar dilakukannya. Pak Kim yang saat itu membawa petunjuk tentang kejahatan kakak dan pamannya sekarang disingkirkannya.
“Brengsek!” gumam Leon lirih.
Di rumah Leon, teman-temannya bahkan tidak ingin meninggalkan Leon sendiri. Nara yang serba salah bahkan tidak bisa menenangkannya. Leon meminta izin untuk pergi ke kamarnya. Dengan langkah gontai, ia masuk ke dalam lift menuju kamarnya.
“Nara, bisa kita bicara?” Adit memanggil Nara di depan Andra dan teman-teman yang lain. Nara melihat Andra yang mengedipkan dua matanya lalu mengikuti Adit ke salah satu ruang.
“Aku tahu mungkin sikap Leon sangat buruk terhadapmu beberapa waktu lalu. Tapi aku mohon berbaikanlah dengannya. Aku tidak memintamu untuk cinta padanya atau memilihnya, karena hatimu sudah terpaut pada Andra. Setidaknya hiburlah dirinya, karena yang dimilikinya hanyalah kita. Keluarganya tidak di sini, dan Pak Kim sudah tidak ada. Bisakah kamu membuka hatimu sebagai sahabatnya?” kata-kata Adit membuat hati Nara perih. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Nara berjalan pelan memasuki kamar Leon yang terbuka. Ia melihat Leon yang berbaring dengan satu lengan menutupi matanya. Mendengar langkah kaki mendekat, Leon hanya mengabaikannya.
“Dit. Apa kamu sudah mengatakan padanya? Bagaimana reaksinya? Aku seharusnya mengatakan sejak lama. Dia akan lebih baik jika tidak dekat-dekat denganku. Dia harus menjauhi perusahaan. Aku sangat mencintainya. Aku ingin melihatnya bahagia. Dit, apa kamu mendengarku?”
Nara keluar ruangan. Ia menutup mulutnya agar suara isak tangis tidak terdengar Leon. Disandarkannya tubuhnya ke dinding. Telinganya masih mendengar isak tangis suara Leon yang memanggil-manggil asisten yang selalu merawatnya.
“Aku telah kehilangan semuanya. Aku gagal. Pak Kim..” teriaknya seraya bangkit dan melihat kamar yang kosong. Ia kembali larut dalam sedihnya.