“Alah, mbuhlah. Nyong mending main PS,” Abdul bangkit. Ia kemudian berbalik meninggalkan Abdi yang masih berhadapan dengan laptop dan tumpukan buku. Mahasiswa dengan jiwa santri itu masih fokus berseteru dengan tugas makalah.
“Hufft,” Abdi menghembuskan nafas lelah. Setelah menyaksikan Abdul menghilang di turunan tangga, ia kembali menatap layar laptop dengan kumpulan kalimat di dalam kertas Microsoft Word. Ia beralih ke tumpukan buku. Ada yang tebal besar, ada yang kecil tipis. Pandangan matanya kemudian berpindah lagi ke arah HP di samping laptop. Ia menekan power, menekan aplikasi galleri, men-scroll ke foto paling bawah. Foto di mana ia menghabiskan malam bersama Nimas. Foto dengan kenangan manis, sekaligus kenangan menakutkan nan mengerikan yang tak akan pernah ia lupakan.
“Burrgghhh,” Abdi menghembuskan nafas kesal panjang. Ia meletakkan Handphone. Kemudian menaruh mukanya di salah satu halaman kitab yang ia bawa. Bernafas kencang. Membiarkan semua nafas kencangnya kembali berbalik menghantam mukanya. Membuang seluruh kekesalan, ketakutan, kegusaran yang ada dalam benaknya.
“Buurrgghhh,” Abdi kembali bernafas berat. Ia kemudian menarik wajahnya dari sana.
“Oh, halo, Abdi. Sendirian?” seorang mahasiswi dengan laptop besar dan tiga tumpukan buku dan satu kitab diatasnya mengambil tempat duduk di samping Abdi.
Abdi hanya mengangguk. Ia langsung kembali fokus pada layar dan keyboard di hadapannya, menampik rasa takut yang mulai menguar ketika Alea-mahasiswi di sampingnya- mengambil duduk di sampingnya.
“Kamu ngerjain juga, Di?” Alea mendekat. Kepalanya menyosor begitu saja hanya untuk menyaksikan makalah garapan Abdi.
“Iya,” Abdi segera bergeser menjauh.
“Minggu ini emang kamu presentasi?”
“Tidak semua yang mengerjakan tugas itu harus mepet deadline, Lea.”
“Wah, rajin juga ternyata. Biasanya kalau cowok itu ngerjainnya kalau mepet deadline.”
“Tidak semuanya begitu, Lea. Jangan mudah menyimpulkan seseorang cuma dari gendernya saja,” ucap Abdi tanpa menoleh.
“Iya, iya, Abdi. Sebagai cowok, kamu banyak mengatakan hal-hal baik juga, ya.”
“Tidak semua …”
“Oke, oke,” Alea mengangguk, memotong ucapan Abdi. Ia lantas menghidupkan laptop, membuka buku-buku, dan mulai mengerjakan makalah. Mereka berdua fokus pada tugas masing-masing.
Selang beberapa menit, Alea kembali menoleh ke arah Abdi.
“Kau mengerjakan sendirian, Di? Di mana kelompokmu?” Alea kembali mendekat.
“Entahlah. Aku tidak tahu,” jawabnya mengangkat bahu.
“Lho, maksudnya?”
“Beneran nggak tahu, Alea. Perempuan soalnya.”
“Lah, emang kenapa kalau perempuan?”
Abdi mengumpat dalam hati.
“Ini sudah dua bulan perkuliahan, lho, Abdi. Masak teman satu kelas masih belum kenal? Kamu parah banget, Abdi.”
“Yah, dulu salah satu ustadzku di pondok pernah berwasiat padaku, Lea,” ucap Abdi sembarangan.
“Berwasiat? Emang dia udah mati?” tanya Alea memotong Abdi.
“Matamu. Itu hanya ungkapan, Lea. Istilah. Soalnya habis itu dia boyong untuk nikah. Makanya kusebut wasiat. Bukan berarti dia mati,” Abdi berseru begitu garang.
“Ih, kasar banget, sih.”
“Halah, bahasamu juga kasar. Mati itu untuk hewan. Kalau untuk manusia itu meninggal. Hati-hati, lho, Lea. Beliau itu orang alim. Kualat nanti,” ujar Abdi mengintimidasi sambil menunjuk-nunjuk.