Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #2

Bab 2

"P,"

"P,"

"P,"

"P,"

"P,"

"P,"

Sebuah notifikasi menyebalkan muncul banyak sekali di layar HP Abdi. Laki-laki yang mengidap gynophobia itu mengeluh kesal. Spam chat terus nyaring dari HP Abdi. Sama sekali tidak berhenti. Ia akhirnya menghentikan kegiatan membacanya, membatasi halaman buku yang ia baca, lantas menutupnya. Abdi mengeluarkan ponsel dari celana saku, demi melihat spam chat “P” yang ternyata berasal dari nomor tidak dikenal.

Abdi     : Dalem

+797******: Kamu Abdillah Husain?

Abdi     : Hmm….

+797******: Iihh beneran

Abdi     : Iya, ada apa emang?

+797****** : Kita satu kelompok kan?

Membaca chat tersebut. Abdi seketika bergidik. Satu kelompoknya kan perempuan. Ada apa seorang perempuan menghubunginya. Namun, Abdi berusaha tetap tenang. Menjawabnya dengan normal.

Abdi     : Ooh

Di sisi lain, Abdi sedikit kesal. Ia sebenarnya telah mengerjakannya terlebih dahulu kemarin. Dan ternyata, setelah dipikir lebih panjang lagi, mengetahui bahwa dirinya ternyata mengerjakan sendirian membuatnya malas. Abdi tidak bisa menyalahkan rekan timnya juga. Ia yang rajin sepatutnya mengajak mereka. Toh mereka perempuan, makhluk yang kata Alea rajin dan disiplin. Namun, karena itulah masalahnya. Mereka adalah perempuan, monster di mata Abdi. Andaikan saja, kawan kelompoknya itu tidak perempuan, ia pasti sudah mengajaknya kerja kelompok. Namun, masalah lainnya akan datang. Abdi tahu benar bahwa laki-laki tidak akan serajin para perempuan. Keheranan Alea kemarin memang fakta apa adanya bahwa seorang laki-laki rajin memang salah satu hal paling langka yang ada di dunia. 

"Kapan mau ngerjain?"

"Terserah."

"Mau ngerjainnya di mana?"

"Terserah."

"Kamu kayak cewek Abdi, banyak terserahnya."

"Kalau di perpustakaan?"

"Gimana?"

Abdi     : terserah

Tapi, kawan. Percayalah. Terserah dalam konteks perempuan dan laki-laki itu berbeda. Ketika laki-laki berkata terserah, itu antara dia malas menanggapi, atau pasrah, atau bahkan ‘iya’ namun malu dikatakan terang-terangan. Pada intinya, apa yang akan didapatkan laki-laki yang telah mengatakan ‘terserah’, ia akan terima apapun keputusannya dengan lapang dada. Sedangkan wanita? Ukh, kalian tidak perlu menanyakannya. Sangat berbanding terbalik. Itulah rumor yang tersebar. Sulit, sungguh sulit, sulit sekali. Cewek kalau sudah bilang terserah, laki-laki perlu memutar otak seratus kali untuk memahaminya. Itu sebuah kode yang matematika dan fisika tidak bisa menemukan rumusnya. Kemudian, yang paling bahaya, ketika tidak sesuai, cewek akan marah. Lalu, ditanya lagi ‘lha maunya apa?’ jawabannya tetap sama ‘terserah’. Sebuah ironi sekaligus komedi. 

Abdi    : Ya sudah, di perpus aja, kebetulan aku sedang di perpus

+797******: Ngapain di perpus

+797******: ??

Abdi    : belajar, masak pacaran

+797******: iihh…

+797******: Abdi suka banget bercanda

Abdi mendiamkannya. Alamak, ia tidak seharusnya melempar canda semacam itu pada sembarang orang. Ia menyesal sendiri. Perempuan itu malah membicarakan hal kemana-mana. Jauh dari konteks kerja kelompok. Untungnya,

+797******: jam berapa

+797******: ??

Abdi    : jam 2

+797******: 14.00 pas?

Abdi    : Nggih, Mbak

Akhirnya, chat dari perempuan tidak dikenal itu berhenti.

“Hufftt …” Abdi menghembuskan nafas. Hatinya dag-dig-dug. Ia akan mengerjakan tugas kelompok dengan perempuan. Ketakutan dalam dirinya seketika menggelora, menguasai seluruh perasaannya. Akan tetapi, Abdi sekali lagi menghirup nafas pelan-pelan, menenangkan pikiran dan perasaan. Ini tugas kelompok, sebuah kepentingan, maka tidak akan jadi masalah.  

Abdi menoleh ke arah jam di layar HP-nya. 13.59. Ia tanpa sadar tersenyum tipis, sedikit meremehkan kawan kerja kelompoknya. Ini Indonesia, di mana hampir semua manusia yang ada di dalamnya memiliki penyakit tidak tepat waktu. Di perkuliahan ini pun sama saja. Walaupun berisi orang-orang dewasa, namun seni menghargai waktu masih langka, sulit sekali menemukan orang yang memilikinya di sana. Kuliah jam 07.00, para mahasiswa rata-rata masuk kelas jam 07.10, tak sedikit yang jam 07.20, bahkan ada yang sampai jam 07.40. Berangkat sedikit siang ataupun jam sore pun sama saja. Kebanyakan mereka terlambat, bukan sekedar satu-dua menit, tapi hingga seperempat jam. 

“Abdi,” seorang wanita dengan pakaian ungu memanggil pelan. Abdi baru saja hendak membuka lagi halaman buku yang ia baca. Gerakannya terhenti. Di belakangnya ada lagi wanita dengan gamis berwarna coklat muda yang membuntuti. Abdi menyadarinya. Tangan kanan yang memegang halaman buku yang hendak dibukanya gemetaran.

“Heh?” Abdi cukup kaget. Tersadar. Karena ternyata, secepat ini dia temukan manusia langka yang menghargai waktu. Abdi mencoba menengok jam digital di HP, 14.00 tepat. Waw, tidak terlambat, benar-benar tepat waktu.

“Gimana? Kaget, tho? Ternyata ada yang tepat waktu,” ujarnya sambil mengambil duduk berhadapan dengan Abdi. Mahasiswi dengan gamis coklat di belakangnya segera mengambil kursi di sampingnya.

“Jadi, bagaimana kita mau mengerjakan makalah itu?” tanyanya.

“Tidak tahu,” Abdi menurunkan kepalanya menempel meja. Ia membalik bukunya, menyesuaikan dengan pandangan kepalanya yang memutar 90 derajat. 

“Yang kamu baca itu buku apa?” mereka berdua bertanya. Keduanya saling tatap, tertawa dengan keserasiannya.

“Bukan apa-apa. Hanya novel Fantasy karya K-San,” jawab Abdi tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman novel yang ia baca.

“Jadi gimana nih ngerjain makalahnya?” perempuan itu bertanya lagi. 

“Tidak tahu, Mbak,” jawab Abdi terlihat malas, yang padahal berusaha tenang. 

Lihat selengkapnya