Sepak bola bukan sekadar olahraga.
Ungkapan itu benar-benar fakta. Tanyakan saja pada para fans bola. Jawabannya akan lantang, “IYA.” Tentu jangan menanyakan pada laki-laki biasa yang memang tidak menyukai sepak bola. Manusia itu, akan begitu cinta ketika mereka sudah mengenalnya. Yap, layaknya pepatah lama, “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.”
Sang manajer legendaris asal Britania Jaya, yang telah membawa “The Reds” bangkit dari masa-masa kehancuran club pada era 1960-an, memberikan banyak penghargaan luar biasa, Bill Shankly, pernah mengatakan,
“Banyak orang percaya bahwa sepak bola adalah masalah tentang hidup dan mati. Saya tidak suka pemikiran tersebut, saya dapat meyakinkan anda bahwa sepak bola jauh-jauh lebih penting daripada itu. Kebahagiaan, kesedihan, harapan, impian, perjuangan, persatuan. Saya dapat menyebutkan lebih banyak lagi. Tapi yang jelas, sepak bola lebih dari sekadar kompetisi antara yang terbaik dari yang terbaik.”
Abdi dan Abdul memahami betul kalimat yang diungkapkan Bill Shankly. Kecintaan mereka pada sepak bola memang luar biasa. Olahraga tentang kerja sama tim, bakat, kerja keras, taktik, strategi, teknik, dan masih banyak hal lain yang bisa mereka temukan dalam sepak bola. Dan tentu saja, masih banyak penggemar sepak bola yang lebih luar biasa dari mereka berdua. Ada yang begitu setia, mendukung tim kesayangannya tidak peduli dia menang, ataupun kalah, entah tipis, terbantai, hingga dipermalukan. Bahkan hingga menjadi juru kunci fase group pun, ia tetap mendukungnya.
Dua orang itu saat ini sedang berada di dalam salah satu pondok yang melaksanakan mitra dengan universitas tempat mereka kuliah. Itu adalah percobaan tahun ini. Yap, Abdi, Abdul, dan seluruh kawan-kawan seangkatannya dijadikan petinggi kampus sebagai kelinci percobaan, mencoba mengetahui apakah benar hanya dengan mondok bisa membuat seseorang bisa menjadi manusia lebih baik.
Namun sayang, program ini benar-benar hancur berantakan. Banyak sekali beberapa tempat kost yang tiba-tiba berubah menjadi pondok untuk mendapatkan jabat tangan kerja sama dari kampus, demi mendapatkan uang berjuta-juta dari setiap anaknya. Atau mungkin, ada beberapa pondok yang sebenarnya hanya menjadi tempat tidur santri-santrinya, juga mendapatkan ajakan kerja sama. Sungguh tidak adil sebenarnya. Karena beberapa mendapatkan pondok yang hebat, dengan sistem peraturan yang jelas, pengajiannya yang nyaman, inventaris yang lengkap, dan pengasuhnya yang sangat perhatian. Beberapa ada yang mendapatkan separuhnya, beberapa hanya satu poin saja, dan lebih banyak lagi yang malah mendapat tempat tidak layak. Kamar yang begitu kecil untuk sepuluh orang, membuat mereka harus tidur di luar. Atau perairan yang tidak lancar. Atau yang saat itu menjadi heboh sekali beritanya, perihal makanan basi.
Abdi tidak mempermasalahkannya. Ia mendapat pondok yang layak, walaupun tidak pondok luar biasa yang menjadi incarannya. Tapi tidak mengapa. Kata di dalam Kitab Suci, kalau bersyukur nanti nikmatnya ditambah bukan?
“Di, sparing, yok!” Abdul dengan bertelanjang dada dan sarung kotak yang tidak kencang mendekat. Berjongkok di samping Abdi yang sedang fokus membaca kitab kuning di pojokan.
“Ayolah!” Abdi mencium halaman yang ia baca, menutup kitabnya dengan lembut, kemudian kembali mengecup halaman cover depan dan belakang. Kitab itu bergantian posisi dengan HP yang ada di atas meja di samping Abdi. Mahasiswa dengan pengalaman pahit dengan perempuan itu menutup aplikasi kamus, menghapus seluruh jendela aplikasi, baru membuka game sepak bola.
“Di, nyong mbok ya diajari ngaji,”[1] Abdul berbasa-basi sambil menunggu game reload.
“Ngajiku saja tidak lancar, Dul.”
“Di, ojo ngono kui, lah. Seorak’e, nyong pengin biso moco kitab ngono kui, biso nahwu, biso shorof. Eh, jenengane bener ilmu nahwu karo ilmu shorof, kan?”[2]
Abdi mengangguk, namun kemudian menggeleng.
Mbuh, Dul.”
“Bisane mbuh, sih?” Abdul mencomot bantal tidak jauh darinya. Ia kemudian mengambil posisi tengkurap.
“Memang tidak tahu, Abdul. Aku memang rasanya tiba-tiba bisa begitu saja. Padahal selama diajarkan teorinya itu, aku selalu geleng-geleng, nggak paham. Setelah itu, entah kapan, aku bisa begitu saja,” ceritanya.
“Ujug-ujug ngono kui?” Abdul menoleh tidak percaya.
Abdi mengangguk. Ia menambahkan,
“Rata-rata temanku juga begitu. Yang penting itu, kau tidak berhenti belajar. Itu katanya,” Abdi menyandarkan punggungnya di pintu lemari.
“Hmmm,” Abdul mengangguk. Hanya sebentar, ia kemudian kembali mendongak, menoleh ke arah Abdi,
“Lha, nak rak paham babar pisan, sinau ne kadi ngendi, Di?”[3]
Abdi hanya mengangkat bahu. Tidak tahu.
“Yawes, lah,” ucap Abdul bodo amat. Sekilas Abdi hendak tertawa. Abdul ternyata hanya berbasa basi. Ia sama sekali tidak serius.
Mereka berdua pun segera menghentikan percakapan. Saatnya serius, bertanding dengan tim yang telah mereka rakit sendiri selama ini. Walaupun memang tidak sehebat, sedramatis, dan seepik pertandingan dengan PS di rentalan, pertandingan sepak bola antara pria tetaplah pertaruhan harga diri. Walaupun di game yang belum sempurna itu, masih banyak kecacatannya, seperti permasalahan sinyal, tombol yang hanya pajangan, atau sebagainya.
TRIIIIING
Handphone Abdi berbunyi nyaring. Panggilan telepon memenuhi layar, menggeser pemandangan hijau indah dengan pemain-pemain hebatnya yang sudah siap bertanding. Dari nomer tidak di kenal.
“Akh, apa lah ini?” tanpa pikir panjang, Abdi menekan tolak panggilan. Ia kembali memutar HP-nya, memegang dengan kedua tangan, siap melakukan kick-off. Tapi, panggilan itu kembali muncul. Sama saja, Abdi menolaknya dalam sekejap. Namun, orang di seberang sana tampaknya tidak menyerah. Baru setengah Abdi melakukan tiki-taka, panggilan telepon itu kembali datang.
“Angkat bae, lah, Di!” seru Abdul yang ikut kesal.
“Nggak, ah. Nomer tidak dikenal, kok,” Abdi menggeleng.
“Lah, terus gene?”
“Kalau dia ternyata orang asing gimana? Hacker?”
“Beh, sapa sih sing pengin ngehack kon, Di. Ganteng ora, pinter ora, hola-holo iyo. Ndang angkat, ndang bar, ndang main, lho,” Abdul keluar dari game. Ia membuka media sosial, membiarkan Abdi berbincang sebentar dengan penelepon tidak dikenal.
“ABDIIIII!!!!” suara kencang langsung keluar dari ujung sana, bergema di gendang telinga Abdi. Parahnya, HandPhone itu menempel tepat di telinga. Abdi sontak menjauhkannya, sementara tangan satunya menggosok-gosok telinga.
“Ini referensinya ditulis bagaimana, Abdi?” tanya orang di seberang sana.
“Maaf, ini siapa ya?” tanya Abdi polos.
“Astaghfirullah, Abdi, padahal baru tadi siang kita kerja kelompok.”
“Oohh…. Anak Wonosobo itu ya?”
“Nadhira, Abdi,” seru Nadhira benar-benar kesal.
“Ya, pokokmya itu, lah.”
“Iya, deh. Iya. Jadi bagaimana ini, Abdi?”
“Ya ditulis, tho.”
“Iya, tahu. Gimana caranya?”
“PeTaJuKoPen.”
“Hah?”
“Ya sudah, deh. Kamu kirim saja halaman di awal yang penulis, tahun terbit, penerbit, yang biasanya dibalik cover soft itu. Fotokan! Aku sedang sibuk,” Abdi berujar dengan kesal.
“Heh? Sibuk ….” Abdi telah terlebih dahulu mematikan panggilan.
“Hihhh!!” Nadhira berseru kesal. Ia membanting HandPhone-nya di atas kasur.