Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #4

Bab 4

Tempat paling favorit bagi seorang kutu buku. Tidak lain dan tidak ada bandingannya ialah perpustakaan. Tempat sunyi, tenang, tidak ada celotehan yang mengganggu. Banyak sekali buku-buku beragam yang membuat haus rasa belajar. Tempat yang bisa memuaskan para mahasiswa yang suka menulis dan mencari referensi. Perpustakaan memang tempat terbaik di mana pun ia berada. Setidaknya, selain untuk belajar, ketenangan di dalamnya bisa menjadikannya tempat rehat dari hiruk pikuk kebisingan dunia, apalagi tempat seperti Ibu Kota.

Selain itu, seolah merealisasikan ucapan-ucapan para ulama masyhur’, bahwa tempat belajar harus dibuat senyaman mungkin. Mungkin itulah yang menjadi alasan kenapa perpustakaan senantiasa disediakan dengan fasilitas terbaik. Yah, karena ilmu memang menjadi salah satu barang paling mahal di dunia. Maka, rumah dari barang tersebut harus bagus.

Akan tetapi, sayang sekali, perpustakaan sekarang lebih sering digunakan tidak selayaknya, minimal dijadikan tempat untuk ngadem, umumnya orang mencari internet kemudian membuat status dirinya berada di perpustakaan, seolah-olah orang yang pandai sekali, atau yang paling parah adalah menjadikan tempat berkumpulnya ilmu itu sebagai sarana pacaran, maksiat. Sungguh tidak pada tempatnya, dzolim. Walaupun sebenarnya, pacaran pun sejak awal tidak diperbolehkan agama, di manapun dia berada.

Abdi masih menggaruk kencang rambutnya yang menjadi semakin porak poranda dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya meraba setiap buku yang berada pada rak perpustakaan. Selain mencari judul yang tepat, tangan Abdi yang seorang penulis handal juga pembaca ulung bisa merasakan dari sentuhan tangannya, mencari tahu buku itu berkualitas atau tidak. Percaya atau tidak, memang terkadang ada beberapa orang yang memiliki skill tidak mungkin seperti ini. 

“Nah, ini dia,” Abdi menarik satu buku dengan kisaran tebal dua ratus halaman dengan kertas-kertasnya yang sudah mulai menguning. Abdi membuka daftar isi. Yap benar, ada materi yang membahas tema makalahnya.

“Lagi ngapain, Abdi?” suara lembut memanggil Abdi dari belakang.

“Eeh …” buku itu jatuh dari genggaman tangan Abdi.

Heh? Suara yang lembut? Apakah seorang perempuan?

Abdi mengambil buku yang jatuh itu. Ia dengan segenap tenaganya mengapit buku itu ke dadanya dengan pelukan kedua tangan, gaya para santri ketika membawa kitab. Abdi berdiri, menoleh ke belakang. Seorang perempuan dengan baju biru dan kerudung hitam.

“???” kepala Abdi meneleng. Menebak siapa wanita yang barusan memanggilnya.

“Putri,” ujarnya menyebutkan nama. Nampaknya ia paham kalau Abdi tidak mengenalnya.

“Putri?” Abdi masih kebingungan.

“Isshh … Sekar Cempaka Putri. Kita satu kelompok makalah Tauhid, lho. Beberapa hari lalu juga kita kan kerja kelompok,” seru Putri dengan suara memelan di akhir. 

“Ooh, Yang pakai gamis coklat? Sekar, toh,” seru Abdi dengan raut cerah yang langsung paham. Tidak berlangsung lama, raut mukanya berubah. Lantas, dengan sopan, sambil menundukkan kepala, ia berlalu meninggalkan Sekar Cempaka Putri yang sedang dilanda kebingungan.

“Sekar?” Sekar gantian yang menelengkan kepala sambil memandang punggung Abdi yang menjauh.

“Ada apa, Putri?” seru Aiza dari belakang sambil membawa dua buku dan satu kitab.

“Tidak ada apa-apa,” Sekar Cempaka Putri pun menggeleng. Ia dan Aiza pun segera kembali ke mejanya. Di sana, Nadhira dan kawan kamar mereka, Muthia, sedang asyik membaca buku.

Empat kursi satu meja itu pun penuh. Semuanya sibuk membaca buku, entah sekedar mengisi waktu luang, atau terpaksa karena ada tugas. Hanya bertahan beberapa menit, hingga kemudian, salah satu dari mereka bersuara. Sebuah obrolan pun dimulai.

“Hei, kalian merasa aneh nggak sama Abdi?” seru Mutia sambil menolehkan pandangan ke arah tengah perpustakaan. Di sana, Abdi sedang duduk sendirian, dengan kepala di atas meja posisi horizontal sedang membaca buku yang diberdirikan.

“Kenapa? Apa karena dia rajin?” tanya Putri.

“Iya, dia itu nggak kayak cowok-cowok lainnya, deh. Iya kan?”

Ketiga teman lainnya mengangguk setuju.  

Namun, tepat ketika para perempuan itu sedang ghibah mahasiswa yang punya ketakutan terhadap mereka itu, tepat ketika mereka membincangkan tentang Abdi yang pendiam, rajin, tenang, kalem, tiba-tiba sohibnya, Abdul datang menghampirinya. Abdul menawarkan sesuatu dengan menyodorkan HP. Abdi mengangguk, Abdul pun duduk di seberangnya. Ia bersandar, memegang HP dengan layar mendatar. Di seberangnya, Abdi menutup buku bacaan. Ia juga menyalakan HP, memiringkan layarnya, posisi bermain game.

Ukkhh …" mahasiswi-mahasiswi di pojokan itu seketika mencabut seluruh ucapan pujian mereka. 

“Oh iya,” Mutia kembali berseru.

“Ada apa lagi, Tia?” 

 “Heh, kalian merasa ada yang aneh selain tadi nggak?” 

“Abdi lagi?” Nadhira menghembuskan nafas lelah.

“Iya.” 

“Ada apa emang, Tia?”

“Abdi itu ... kayak … kayak gimana, ya?” mata Mutia terpejam. Ia kesusahan memilih kosa kata yang tepat. Sementara teman-temannya menunggu pembicaraan yang nampaknya sangat seru. 

“Apakah cuma aku yang merasa kalau dia itu takut perempuan?” ucap Mutia sedikit ragu. Aiza langsung menertawakannya, namun Putri dan Nadhira yang sudah mulai bosan terhenyak. Pandangan mereka terangkat. Keduanya teringat sebuah kejadian. Nadhira teringat bagaimana Abdi terkejut sampai sebegitu rupa hanya karena bersentuhan. Sebuah reaksi yang berlebihan sebenarnya. Putri teringat bagaimana Abdi yang kaget hingga gemetaran ketika berhadapan dengannya di lorong buku tadi. 

“Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu, Tia?” tanya Nadhira serius dengan muka yang biasa. Ia berusaha menganggap bahwa omongan Mutia bercanda.

“Yah …” Mutia kemudian menceritakan ketika Abdi berbincang dengannya di dekat loker perpustakaan tempat penitipan barang. Abdi terasa mengambil jarak. Mutia kemudian mendekat, dan Abdi seketika langsung mundur. Tangannya bergerak mencegah.

“Hanya itu?” tanya Aiza, masih dengan canda dan nada meremehkan.

“Tidak,” Mutia kembali bercerita. Ia pernah melihat Abdi yang diajak kenalan kawan kelas. Uluran tangan datang. Abdi menolak halus. Namun, perempuan itu bersikukuh. Abdi seketika membentak, tangannya dengan kasar pun mengeplak tangan perempuan yang terus mendekat itu.

“Hahaha … Kayak kucing kalau diciptratin air,” komentar Aiza. Mutia mengiyakannya. Sedangkan Nadhira dan Sekar yang juga merasakannya tetap diam. Hanya menyimak.

Di tengah kebingungan akan teori baru Muthia, Alea datang sendirian menyusuri lorong perpustakaan mencari buku. Tanpa banyak cingcong, Mutia melambaikan tangan, memanggil Alea yang sedang berjalan sendirian,

“Hei, Alea,” Tangan Muthia melambai-lambai, menyuruhnya mendekat. Alea menoleh sebentar ke rak, kemudian baru mendekat dengan rasa sedikit curiga, terutama melihat wajah Mutia yang tersenyum lebar.

“Lagi ngapain, Lea?” tanya Muthia berbasa-basi.

“Nyari buku buat tugas.” 

“Ooh.”

“Ada apa?” Alea tidak mau berbasa-basi. Ia langsung bertanya.

Lihat selengkapnya