Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #5

Bab 5

Angin berhembus kencang. Begitu dingin hingga membuat gemetar tulang-tulang putih di dalam tubuh. Barisan gigi bergemeletuk. Langit di atas sana gelap gulita. Cahaya indah malam dari bulan dan gugusan bintang gemintang tertutupi gumpalan awan hitam yang begitu tebal. Langit memang sesekali terang, oleh kilat yang cepat ditemani dengan gemuruh halilintar yang menggelegar mengerikan. 

Bumi Ibu Kota gelap gulita, sekaligus basah diguyur hujan deras sejak sore hari. Beberapa rumah masih menyala dengan bantuan genset. Lebih banyak lagi yang padam. Bersama-sama di rumah ditemani dengan kegelapan, suara derasnya air dari langit yang menyirami bumi, dan sesekali suara keras dari guntur yang menakutkan. 

Abdul berbaring di atas kasur di pojokan. Keadaan gelap gulita dan suara hujan deras bak orkesta terasa begitu menenangkan. Suasana seperti ini memang paling sempurna untuk tidur lebih awal. Di samping kasur Abdul, di belakang lemari, sangat pojok, Abdi menggunakan bantuan senter ponsel, khusyu’ sekali muroja’ah hafalan-hafalannya. Sebenarnya, kalau tidak ada rentetan kejadian mengerikan yang ia alami akhir-akhir ini, terutama dengan Sekar Cempaka Putri, dirinya tidak akan bersusah payah muroja’ah di gelap gulita seperti ini. Yah, begitu lah manusia, mau berusaha ketika sudah ditegur.

“Hei, Abdi. Kemarilah! Gelap-gelap begini jangan membaca! Nanti matamu sakit, lho,” seru seseorang dari tengah ruangan. Di situ, seluruh kamar membuat lingkaran dengan lilin kecil di tengahnya. Mereka semua saling bertukar cerita. Sama seperti pasar hiburan di Indonesia, kebanyakan hanya romansa dan kisah seram. 

Abdi hanya menoleh sebentar, lantas menggeleng.

Yawes, karepmu,” mereka semua kembali asyik bercerita. Sesekali mereka tertawa keras sekali, bahkan mengalahkan guntur yang suaranya begitu membahana. Terkadang pula, sang pencerita tiba-tiba berteriak kala kisah horornya ada di saat-saat tegang. Yang terkejut hanya beberapa. Namun, entah secara kebetulan, halilintar menggelegar kencang sekali, mengagetkan semuanya.

Abdi terkadang menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengacuhkan kegaduhan yang ada, fokus pada muroja’ah kitab yang ada dihadapannya.

Hingga tiba-tiba, Tio, salah satu kawan kelas lainnya yang berada di dalam lingkaran itu bangkit. Ia mengeluarkan HP-nya yang berdering kencang sekali. Tio berlari kecil dari lingkaran ke pojok ruangan. Ia sempat disorak-soraki mereka, mendapatkan sedikit keplakan tambahan di bokongnya. Ia mendekat pada Abdul yang sedang enak terlelap dan Abdi yang kesulitan fokus, semakin sulit karena suara Tio yang benar-benar mengganggu.

“Eh, Aiza. Ada apa?” suara Tio dibuat sangat lembut. Padahal dia seringkali misuh[1].

He’em, di sini juga mati lampu. Gelap banget, ya.” 

“Tapi nggak papa. Sekarang sudah terang. Kamu kan cahaya hidupku,” ujarnya dengan nada yang begitu lembut.

Pffttt,” Abdul dan Abdi hampir saja tertawa. Tio seketika menatap mereka berdua dengan tajam. Tidak peduli, mereka tetap tertawa dengan gombalan Tio barusan. 

“Eh, aku belum mengerjakan sih kalau mata kuliah yang itu.”

“Iya, artikel ilmiah soalnya. Tio nggak paham,” obrolan Tio dan Aiza terus berlanjut. Abdul sekarang semakin susah tidur dan Abdi juga semakin kesusahan untuk fokus belajar. Keduanya berusaha menahan tawa melihat sosok baru Tio yang lembut, yang biasanya kalau bersama mereka selalu ada kalimat kotornya. Apalagi ketika dia dengan sombong di rentalan PS kala itu. Seluruh penghuni kebun binatang keluar dari mulutnya saat ia dipermainkan oleh Abdi dan Abdul. Ia sama sekali tidak bisa membuahkan gol.

“Abdi?” tanya Tio. 

“Di, kau sudah mengerjakan tugas Artikel ilmiah?” tanya Tio sambil menjauhkan SmartPhonenya. 

“Sudah, tinggal edit saja,” jawabnya singkat, padat, jelas, kelas.

“Tinggal edit saja katanya,” lapor Tio. 

“Tanyakan?” wajah Tio nampak ragu. 

“Ini beneran?” ia berusaha yakin dengan ucapan Aiza di ujung sana. Lantas, setelah suara dari sana yang entah apa, Tio kemudian menoleh kembali ke arah Abdi. 

“Abdi, Aiza minta tolong …”

“Tidak,” Abdi cepat sekali menjawab, padahal Tio belum jelas hendak bertanya apa. 

“Ayolah, Di! Temanmu ini minta tolong, lho,” pinta Tio dengan muka memelas. Namun, Abdi tidak tergoyahkan, walaupun itu adalah pemandangan yang langka. 

“Tidak, Tio,” jawab Abdi tegas. 

“Memangnya kau tahu aku hendak minta tolong apa?” 

“Pasti bantuin tugasnya Aiza.” 

“Nanti dibayar, kok.” 

“Tidak, Tio.”

Lihat selengkapnya