Perkuliahan sudah hampir berjalan setengah semester lebih. Beberapa minggu lagi akan berakhir. Abdi dan kawan-kawannya semakin akrab, walaupun masih saja bermasalah dengan para kaum Hawa. Abdi masih berusaha dengan sangat keras menghindari kontak dengan perempuan. Entah sekedar memandang ataupun bercengkrama. Bahkan hingga saat ini, teman perempuan yang Abdi kenal masih saja tiga. Tidak menambah sejak minggu ketiga. Mungkin ada beberapa yang kadang tidak sengaja berbincang sebentar, dan itupun dalam keadaan Abdi tidak mengetahui namanya. Lebih parahnya lagi, kalau Abdi tidak sengaja bertukar pandangan. Ia langsung mengalihkannya sambil mengatur nafas. Nadhira dan kawan-kawan yang terkadang bertukar pandang itu menyaksikannnya dengan jelas. Mereka semakin yakin, bahwa Abdi benar-benar memiliki masalah dengan sosok-sosok perempuan.
“Teman-teman jangan bubar dulu ya!” Hartigon langsung maju ke depan kelas ketika Pak Dosen melewati ambang pintu.
“Abdi, dimohon duduk dulu, ya!” Hartigon langsung berseru kembali. Berkata dengan sangat lembut. Salah satu teknik memerintah yang manjur, dengan permintaan dan kelembutan. Sayang, Abdi sudah khatam dengan teknik itu melalui mas-mas di pondoknya dulu.
“Sorry, Har. Mau ke kamar mandi,” lantas, dengan pura-pura budeg, Abdi dan Abdul capcus begitu saja meninggalkan kelas.
Keduanya melewati ambang pintu, masih mendengar Hartigon yang kemudian bersuara tentang jangan menjadi orang seperti Abdi dan Abdul. Orang yang egois, mementingkan dirinya sendiri daripada orang lain. Tidak bisa memanusiakan manusia. Tidak tahu mana yang lebih penting. Orang yang hanya tahunya PS, sepak bola, dan hal tidak penting lainnya.
Abdul dan Abdi tidak peduli. Toh, ejekan tidak akan mengubah kualitas hidup mereka. Orang-orang yang kemudian termakan dengan ucapan-ucapan itu juga tidak mereka pedulikan. Lagipula, orang baik tidak akan mudah termakan omongan orang lain. Sementara itu, ada pula satu quotes yang sangat bagus dari Sahabat Ali bin Abi Thalib,
“Tidak perlu menjelaskan siapa dirimu pada siapapun. Karena, orang yang mencintaimu tidak memerlukannya, sedangkan orang yang membencimu tidak akan mempercayainya.”
“Aku tidak suka dengan organisasi itu, Dul,” Abdi tiba-tiba berbicara, berseru dengan ketus.
“Tapi itu organisasi terbesar di kampus ini, Di.”
“Apa peduliku,” ujar Abdi sambil melangkahkan kakinya lebih cepat, meninggalkan kawannya Abdul yang sekarang memiliki tanda tanya besar di dalam kepalanya.
“Heh, tunggu!” seru seseorang dari belakang. Abdi dan Abdul menoleh. Damar, kawan satu kelas mereka, sama-sama meninggalkan kelas yang hendak diberitahu berita oleh Hartigon. Ia berjalan cepat mendekat.
“Kenapa kalian tidak bilang saja kalau mau sholat?” tanya Damar. Mereka bertiga kembali berjalan beriringan. Damar dan Abdul menoleh ke Abdi.
Abdi menghembuskan nafas kesal.
“Haahh, Hartigon pasti bilang kalau sholat masih bisa nanti. Sholat juga masih bisa diqodho’. Sesekali qodho’ nggak papa? Kalau kamu nggak pernah qodho’, kamu tidak menghargai Allah yang memberikan keringanan qodho’,” ucap Abdi panjang lebar.
“Lho, emang asli boleh seperti itu, Di?” tanya Damar polos.
“Nggak, anying,” Abdi seketika berseru.
“Lha, kalau begitu, kenapa kau tidak cakap seadanya?” tanya Damar.
“Malas, Mar. Nanti debat.”
Abdi mendengus hingga beberapa kali. Ingatannya semasa ospek setengah semester lalu masih melekat kuat di dalam kepalanya. Kejadian menyebalkan yang dilakukan oleh kakak tingkatnya dari organisasi itu, yang membuat seluruh angan terhadap perkuliahan seketika runtuh. Kejadian itu yang membuatnya menangis untuk pertama kalinya di tanah perantauan ini, dan kemudian sering terbangun tengah malam dengan perasaan gusar.
Di sisi lain, di dalam kelas perkuliahan yang telah usai itu, Hartigon masih mempromosikan pasal perkemahan yang akan diadakan akhir pekan ini. Perkemahan ini penting sekali. Momen yang tidak ada duanya. Apalagi di tahun pertama, pasti akan menjadi kenangan yang sangat indah. Teman-teman akan kecewa kalau melewatkannya.
“Yah, kalau teman-teman tidak anti sosial seperti Abdi dan Abdul, oh sama Damar juga,” celetuknya melucu.
Di kursi belakang, mulai terdengar obrolan. Para mahasiswi.
“Hei, kalian tahu tidak kenapa tadi Abdi seperti itu?” kepala Mutia mencuat muncul ke barisan kursi di depannya, tempat Nadhira dan Sekar duduk. Kedua perempuan itu menoleh, lantas menggeleng sebagai jawabannya.
“Kalian penasaran tidak?” tanyanya lagi.
“Kayaknya kamu yang penasaran, deh, Mut,” balas Nadhira.
“Hehehe…. Habis aneh banget, kan. Biasanya dia diam aja, kan. Pendiam banget. Tiba-tiba kok begitu, lho.”
“Coba kalian ingat, deh, pas pertama dia perkenalan waktu ospek dulu,” imbuh Mutia.
Pandangan Nadhira dan Sekar bergerak ke atas, gerakan pandangan ketika orang-orang mulai mengenang atau mengingat sesuatu.
“Nama saya Abdillah Husain. Biasa dipanggil Husain.”
“Waah, mirip dengan nama dosen besar, ya,” seru kakak senior yang kala itu menjadi penanggung jawab kelas mereka.
“Kalau dipanggil Abdi saja gimana?”
“Nggih, mboten nopo-nopo,” jawab Abdi mengangguk, lantas duduk kembali. Ia tidak menceritakan alumni mana, apa hobi dan bakatnya, dan apa tujuannya kuliah. Sangat berbeda dengan teman-teman kelasnya yang semangat semua. Abdi saat itu memang tidak terlalu tertarik. Selain itu, dirinya yang tadi berdiri dan dipandang oleh perempuan-perempuan yang kurang lebih 75% dari penghuni kelas membuatnya bergidik, gemetar ketakutan.
“Iya, lah,” Sekar mengangguk-angguk mengingatnya. Walaupun ia masih misterius dengan teori ketakutan Abdi terhadap perempuan, tapi saat itu dia memang tidak terlalu memikirkannya. Tidak tertarik pula.
“Oh iya, kalian ingat nggak pas sore-sore waktu ospek?” Nadhira gantian berseru, mengalihkan timeline flashback.
“Yang mana, Ra?”
“Waktu sore-sore itu, lho. Abdi tiba-tiba di pojokan dimarahi keras-keras sama kakak senior.”
“Oh iya. Masnya kan waktu itu teriak keras banget, ya,” balas Mutia.
“Yang mana, sih?” Sekar masih kebingungan.
“Ya mungkin kamu nggak lihat, Sekar. Soalnya itu sebentar doang.”
“Lho, Mutia ikut-ikutan manggil Sekar, sih.”