Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #7

Bab 7

Manusia adalah makhluk sosial. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Sekuat apapun, sehebat apapun, sekaya apapun seseorang, ia tetap membutuhkan orang lain di dalam kehidupannya. Bahkan, setelah kematian pun, manusia malah semakin membutuhkan orang lain, untuk mengurus jenazahnya kelak, mendoakannya setiap hari, mengunjunginya, membacakan surah-surah, dzikir-dzikir, dan semacamnya. Maka dari itu, jangan pernah menjadi seseorang yang egois.

“Kami tidak egois, kok.” ungkap Abdul ketika diceramahi Hartigon untuk kesekian kalinya. 

           “Tapi sikap kalian itu seperti itu.” jelas Hartigon.

           “Kalian coba deh ingat-ingat kemarin! Kalian seenaknya lho keluar kelas pas aku lagi nerangin tentang perkemahan itu.” imbuhnya.

           “Kami memang tidak tertarik untuk ikut, Har. Apapun kemenarikannya, kami tetap teguh. Jadi, untuk apa kami membuang waktu mendengarkan omonganmu itu.” Abdi kini yang membalas.

           “Lah, itu,” Hartigon menunjuk, “kalian ini tidak memanusiakan manusia. Padahal lho, ya, Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul itu salah satunya adalah untuk menghargai manusia. Ya, sama lah bahasanya dengan memanusiakan manusia.” jelas Hartigon.

           “Lah, terus, kenapa kau dan kawan-kawan organisasi di kelas ngebet banget kelas tidak usah ada ketika dosen ternyata tidak hadir, memaksa sekali mengikuti kegiatan kalian. Apakah itu memanusiakan manusia? Menghadang seseorang yang hendak melaksanakan kewajiban kepada tuhannya? Kemudian malah membentaknya di depan umum. Mempermalukannya. Apakah itu memanusiakan manusia? Menyerapah tidak jelas karena berangkat awal dan malah dosen yang terlambat. Apa itu yang namanya memanusiakan manusia? Apakah itu yang memanusiakan manusia?” ujar Abdi panjang lebar. Membalas dengan telak. Hartigon seketika langsung tenggelam dalam lautan fakta. Namun hanya sebentar. Ia kemudian langsung kembali ke permukaan, menemukan jawaban untuk membalasnya,

           “Lho, bukannya kalau begitu, kamu wajib dong, Di, buat mengingatkan temannya.” Hartigon gantian melancarkan serangan balik.

           “Kau belajar tidak hadits amar ma’ruf nahi munkar, 

عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول – من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان – رواه مسلم

           “Barang siapa diantaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju) , dan demikian itu …”

           “adalah selemah-lemahnya iman.” Abdi melanjutkan arti hadits itu mendahului Hartigon. Ia hafal. Kitab hadits Arba’in Nawawi adalah salah satu kitab awal dia belajar di pondok dulu. Para santri diperintahkan untuk menghafalkannya. Selain untuk menambah hafalan dan meningkatkan daya belajar otak, di dalam muqaddimah kitab tersebut dicantumkan sebuah hadits yang menyatakan tentang keutamaan menghafal hadits-hadits Nabi. Salah satunya juga menyatakan bahwa menghafal empat puluh hadits bisa menjadi jaminan masuk surga. Cocok sekali dengan kitab tersebut. 

           “Lah itu, kau pun tahu. Masak santri sehebat dirimu imannya sangat lemah.” Hartigon memancing. Sayang, Abdi tetap menggeleng, bersikap tidak peduli.

           Akan tetapi, Hartigon tidak menyerah. Tepat sebelum mahasiswa itu melangkahkan kaki pergi, ia menepuk pundaknya, kemudian kembali berucap,

           “Bukannya santri itu harus berguna untuk masyarakat?” 

           Abdi seketika terdiam. Ia tidak langsung menjawab ‘tidak’ ataupun menggeleng. Abdi berpikir. Apa yang dikatakan Hartigon memang benar. Dan yap, undzur ma qaala wa laa tandzur man qaala. Lihat apa yang dikatakan! Jangan lihat siapa yang mengatakan. 

           “Santai, Abdi. Perkemahan itu masih lama, kok. Kalian berdua masih bisa memikirkannya. Masalah biaya gampang. Mas-mas dan mbak-mbak senior sedia membantu. Lho, kurang enak apanya?” Hartigon melambai meninggalkan mereka berdua. Abdi dengan gemelut pikirannya, dan Abdul dengan segumpal kebingungan memenuhi kepala.

           ***

         أُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ                 

           “Lihatlah apa yang dikatakan! Jangan lihat siapa yang mengatakan!” 

           Ungkapan itu sungguh populer. Tidak hanya di timur tengah, namun sampai di mana-mana. Di antah berantah pun ungkapan ini berlaku. Walaupun tidak menggunakan bahasa arab. Namun pelajaran bagaimana kita mendengarkan sebuah ucapan dari seseorang itu tidak harus dari siapa orang yang mengucapkannya. Seperti pada kisah Imam Hambali, yang mendapat sebuah nasihat dari seorang pencuri. 

           Akan tetapi di sisi lain, ada pula maqalah, 

أُنْظُرْ مَنْ قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَا قَالَ

"Lihat siapa yang mengucapkan! Jangan lihat apa yang diucapkan!”

Walaupun maqalah itu berlaku untuk orang tua dan para guru, namun juga bisa dikonsepkan pada para pembohong besar, macam kampanye para calon pemimpin atau para kakak senior di perkuliahan Abdi saat ini. Hartigon pun tak ada bedanya. Cakap manis, persuasif yang begitu hebat, namun ternyata tidak kesampaian. 

           Masalah lainnya juga adalah, Abdi tidak ingin mengulanginya lagi. Ia tidak mau lagi merasakan kegusaran karena sadar waktu sholat sudah terlewat dan tidak bisa melakukannya karena dihalang-halangi. Ia juga tidak mau membuang-buang waktunya untuk mengikuti sebuah kegiatan yang sama sekali tidak menarik baginya. 

           “Hufftt….” Abdi menghembuskan nafas berat. Memang sudah kebiasaan apalagi ketika pikirannya menumpuk seperti ini. 

           “Ada apa, Abdi?” tanya Aiza di hadapannya. 

Abdi menggeleng.

Mereka sedang berada di perpustakaan. Abdi awalnya hanya sendirian. Duduk di pojokan mengenakan headset mendengarkan sebuah pengajian. Sebuah pulpen di genggaman tangannya dan buku tulis di hadapannya. Hingga datang Aiza, perempuan yang dengan entengnya duduk di hadapan Abdi, membuat mahasiswa pengidap gynophobia  itu ketakutan hingga tidak lagi fokus pada pengajian yang sedang ia simak. 

           “Kau ngapain, Di?” tanya Aiza.

           “Tidak apa-apa.” Abdi menggeleng. Ia kemudian bangkit, membawa seluruh peralatan mengajinya.

           “Lho, heh, mau ke mana, Di?” tanya Aiza setengah berseru, menghentikan langkah Abdi. 

           “Mau pulang.” Abdi kembali melangkah.

           “Lho, heh. Kau ini, lha ditemani kok malah pergi, sih?”

           “Lha, emang siapa yang minta ditemani?” Abdi menghambur pergi dengan tidak peduli. 

           Aiza menghembuskan nafas dengan sebal. Ia lantas menekuk tangannya dan diletakkan di atas meja. Ia menaruh kepalanya di atas lipatan tersebut, seperti gaya Abdi biasanya ketika ada di perpustakaan ataupun ruang kelas. Aiza kembali menghembuskan nafas lebih kencang. Halaman-halaman buku di depannya naik beberapa milidetik, kemudian kembali tumbang.

           “Huffttt….” Aiza mengulanginya lagi, lebih kencang. Halaman di depannya naik lebih tinggi, sedikit lebih lama pula. Kemudian turun. Di pandangan matanya, Abdi kembali duduk di hadapannya. 

           “Eh, Abdi.” Aiza terkejut.

“Kau ngapain?” tanyanya. 

“Tidak ada apa-apa. Setelah kupikir-pikir, di luar sana masih panas. Mending ngadem dulu di sini.” ujar Abdi menaikkan satu kakinya ke atas kursi. Duduk maca manak tongkrongan. Aiza benar-benar memandangnya dengan tanda tanya.

“Di.” 

Hmmm….

Abdi menjawabnya dengan tidak peduli. Ia fokus pada buku bacaannya, sama sekali tidak mengalihkan pandangan satu detik pun dari sana. Walaupun aslinya, di dalam pikiran dan hatinya, ia menyumpahi dirinya sendiri yang entah bagaimana tadi bisa berbalik arah untuk menemani Aiza.

“Dia sudah punya pacar, Abdi. Goblok sekali kau ini.” ia menyumpahi dirinya terus menerus.

“Kamu nggak mau pacaran, Di?” tanya Aiza. Namun, Abdi berusaha acuh tak acuh. Berpura-pura tidak mendengarkannya. 

           “Hei, Abdi.” masih sama. Tidak ada respons.

           “Hei!!” Aiza berseru lebih kencang. Orang-orang di sekitar mereka menoleh. Aiza segera menunduk, tenggelam dalam tangan yang terlipat di atas meja. Abdi juga segera menoleh. Separuh kesal juga separuh merasa bersalah terhadap Aiza. 

           “Ada apa?”

           “Kamu tidak mau pacaran?” tanyanya sekali lagi.

           “Lah, bukannya dirimu sudah pacaran dengan Tio.” 

           “Lho, emang aku bilang bakal pacaran sama kamu. Enggak, kan. Nggak usah ge’er, dong.” Aiza langsung berseru dengan penuh semangat dan senyum yang membuat seluruh tubuh penat. Menyebalkan sekali wajah di depannya.

           “Eh, tapi beneran?” Aiza kembali ke topik awal.

           “Pacaran haram, Za.” Abdi menjawab langsung, telak, macam tendangan roket sejauh 40 m yang ternyata berhasil menembus pertahanan hingga membuat seluruh stadion, bahkan komentator pertadingan itu sendiri terdiam, terbungkam, tidak lagi bisa berkata-kata. 

           Sayangnya, Aiza bebal. Ia macam orang pada umumnya, yang mengatakan beribu-ribu alasan untuk membenarkan perlakuannya. Entah apa saja kebaikan yang didapatkan setelah mereka pacaran. Tak lupa, ia bertanya,

           “Lalu, kalau kamu tidak pacaran? Bagaimana kamu akan menikah?” 

           “Lho, sahabat Nabi tidak pacaran dulu. Kenapa harus pacaran dulu?” Abdi membalasnya dengan pertanyaan.

           “Ih,…” Aiza geram. Tapi Abdi tidak berhenti.

Lihat selengkapnya