“Oke. Kelompok selanjutnya adalah kelompok Matahari.” kakak tingkat berbicara dengan lantang sambil menyapu pandangan pada adik-adik kelas yang semakin kepanasan.
“Kelompok ini terdiri dari Ali, Ma’shum, Alwi, Aiza, Nung, Fajar, Azizah, Fitri, Ijat, dan Siti.” serunya lantang. Para kakak kelas benar-benar hebat. Panas-panas, masih begitu semangat. Entahlah, mungkin adik-adik kelasnya yang memang lebih lemah. Aleman. Mental Health.
“Buuurrgghhh…..” Tio langsung kehilangan lebih dari setengah semangatnya mendengar anggota kelompok matahari yang hanya sepuluh. Tidak lebih. Tidak ada dirinya. Terpisah dari Aiza.
“Selanjutnya, kelompok Pelangi.”
“Pfftt….” suara menahan tawa terdengar jelas di barisan adik-adik kelas.
“Pelangi? Itu macam… pfftt….” gumam Tio pada Abdi dan Abdul yang ada di dekatnya.
“Orang-orang di dalamnya pasti orang-orang LGBT.” imbuhnya sambil masih menahan tawa mati-matian. Amboi, kasihan amat orang-orang yang akan masuk kelompok ini kalau pikiran seluruh angkatan perkemahan berpikiran seperti ini.
“Abdul.” kakak tingkat menyebutkan nama pertama. Abdi, Tio, Hartigon, dan kawan-kawan yang mengenalnya langsung tertawa lantang. Sementara Abdul langsung memasang muka masam.
“Kamila…….” kakak tingkat kemudian membacakan nama-nama selanjutnya. Sama seperti Abdul. Setiap satu nama disebutkan, satu kali gema tawa terdengar lantang di dalam barisan.
“Oke, itu untuk kelompok pelangi. Kemudian, tim badai.” kakak tingkat melanjutkan pembacaan pembagian tim.
“Oh, aku akan masuk ke dalam tim ini. Keren sekali!”
“Anggota kelompok ini adalah Alea, Malioboro, Nadhira,…..” kakak tingkat itu melanjutkan nama-nama anggota kelompok Badai hingga berakhir. Abdi seketika mengeluh pelan. Dirinya tidak masuk ke dalam kelompok dengan nama hebat itu.
“Selanjutnya adalah kelompok salju.”
“Salju? Emang ada salju di Indonesia? Hahaha….” gumam Abdi pelan sambil tertawa. Teman-teman di dekatnya juga tertawa.
“Lha yo? Panase ngene mulo ana salju ne.” [1]
“Halah? Kelompok pelangi diam saja!” Tio langsung melayangkan ejekan pertama. Abdul masam, Abdi tertawa senang.
“Dan terakhir, Abdi.” seruan kakak tingkat di depan sana kembali mengambil perhatian Abdi. Heh? Tunggu? Kelompok apa tadi?
“Hei, tadi kelompok apa?”
“Kelompok Udan.”
“Hah? Hujan? Bukan salju?”
“Kandani ngeyel, koyo Bani Israil, kon.”
“Kelompoknya? Siapa saja tadi anggota kelompoknya?” Abdi gregetan dengan jawaban Abdul.
“Mbuh ra. Nyong kelompok pelangi.”
“Kelompok pelangi kok bangga?” Abdi giliran mengejek.
“Sing penting Nyong reti kelompok’e nyong sopo bae. Ketimbang hola-holo.”[2] ejek Abdul membalas.
“Asem, lah.”
“Ih, ngono bae mutung. Kok bocah wadon bae.”[3]
“Baiklah, silahkan berkumpul dengan kelompoknya masing-masing.” seru kakak tingkat mereka di depan sana, membuat adu mulut Abdi dan Abdul terhenti. Abdul dan Tio segera memisah dari Abdi, pergi ke kumpulan kelompoknya masing-masing, meninggalkan Abdi yang masih saja kebingungan.
“Heh? Aku kelompoknya siapa?”
“Nggak tahu, Abdi. Makanya kalau ada pengumuman itu didengarkan! Jangan malah bicara sendiri! Hargai orang berbicara!” tukas Tio memotong ucapan nelangsa Abdi yang tak usai-usai.