Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #9

Bab 9

      Latar hijau dengan ukiran kubah-kubah transparan tampak begitu indah. Beberapa bintang terpasang, dan lentera menambah pesona. Kemudian, deretan sosok-sosok luar biasa mengenakan pakaian putih, yang diatur sedemikian rupa membentuk barisan rapi membuat layar itu begitu sempurna. Ada Mahaguru, deretan guru-guru besar, dan para Habaib pondok pesantren Abdi dulu. 

           Di pojokan bawah pohon yang cukup besar, Abdi menatap lekat wallpaper HP-nya yang baru saja ia dapatkan setelah meminta pada nomer pengurus, juga setelah mendapatkan sedikit sambutan ejekan yang nyelekit tapi tidak sakit. Perasaannya seketika bahagia, penuh dengan cinta. Dan yang paling utama, Abdi berhasil menampik seluruh perasaan aneh yang ia dapatkan perihal Sekar Cempaka Putri tadi. 

           Setelah hatinya sudah mulai penuh dengan cinta luar biasa yang halal tersebut, ia membuka kunci HP-nya, hendak membuka aplikasi wirid yang khusus dibuatkan untuk para alumni. 

           “Bismi…

           “Weh, Di.” Hartigon dengan kaos dan pakaian panitia yang tersampir di pundaknya datang menghampiri.

           “Kok mojok, lho, Di?” ucap Hartigon asyik sambil mengeplak pelan paha Abdi. 

           “Hehe…” Abdi hanya tersenyum. Tangannya bergerak cepat mengeluarkan halaman dari aplikasi. Lantas, mematikan layar HP. 

           “Sana, lho, Di. Bermain dengan teman-temannya, tho. Biar tambah akrab. Biar nggak tambah egois terus.” kali ini Hartigon mendorong-dorong pelan punggung Abdi, menyuruhnya untuk berdiri dan ikut kawan-kawan angkatannya bermain di pinggir pantai pada sore hari. Abdi menggeleng. 

           “Ini udah mau sunset, Di. Kamu akan melewatkan pemandangan indah.”

Abdi tetap menggeleng. Kali ini, ada hal yang lebih penting. Lagi penting dari keterpukauan menyaksikan pemandangan spektakuler di senja hari. Abdi khawatir pada hafalan-hafalannya setelah rasa aneh itu muncul pada Abdi. Tidak usah basa-basi kebingungan. Abdi paham bahwa itu adalah ketertarikan, macam cinta pada film atau anime romance. Tapi bagi Abdi, ia tidak akan mengakuinya sebagai cinta. Cintanya telah habis untuk Allah, Rasulullah, Guru-guru dan keluarga bathin, keluarga dzohir dan seluruh sanak saudara. Cinta adalah hal luar biasa, yang tidak mungkin muncul begitu saja. 

           Abdi mulai memikirkan berbagai teori dan kemungkinan yang ada. Dan teori yang menurutnya paling benar dan masuk akal, karena ia yang akhir-akhir ini jarang muroja’ah dan tidak mengamalkan wirid-wirid yang telah diberikan. Oleh karena itu, syaithan lebih mudah masuk, dan menyelipkan perasaan ketertarikan yang belum halal itu, yang bisa saja menggiringnya pada dosa. Oh, sayang sekali cucu iblis. Abdi mengetahui trikmu. Kau kalah. 

           “Emang di sini ngapain, Di? Main HP?” Hartigon mengintip isi HP Abdi. Mahasantri itu mengetahuinya dan segera menjauhkannya sambil menutupi dengan tangan lainnya.

           “Hufftt…” Abdi menghembuskan nafas kencang, dan akhirnya,

           “iya, iya, Har.” ujarnya sambil mengantongi HP di celana training warna hitamnya. Sambil berdecak kesal, Abdi membatin Hartigon yang masih memantau dirinya. 

           Setan aja nggak bisa membuatku berhenti mengaji. Lha orang ini. Atau jangan-jangan dia memang lebih buruk dari setan itu sendiri. Tidak tidak. Mahasantri itu tentu tidak boleh membatin sampai durjana seperti itu. Ia mengalah. Toh nanti malam, di saat semua orang tertidur, ia bisa dengan khusyu’ mendaras wirid-wirid dan berbagai hafalan yang akhir-akhir ini sedikit terlupakan karena banyaknya kesibukan. 

Abdi berlari menghampiri gerombolan kawan-kawannya yang sedang berfoto dengan senja, membuat video aesthetic, bermain ombak kecil, atau sekedar menendang-nendang pasir. Seperti anak-anak yang terjebak dalam tubuh mahasiswa. Namun, apa salahnya? Bukankah kebahagiaan itu memang sederhana? Dan bisa dungkapkan dengan berbagai cara? Tidak perlu sok cool atau dewasa untuk menjadi luar biasa. 

Di ujung pantai itu, di basuh sapuan ombak pelan yang tenang, angin laut berhembus di kala petang begitu menentramkan, dan suasana menyenangkan di antara kawan-kawannya. Abdul, Tio, dan seluruh kawan-kawan di sana, melambaikan tangan kepadanya dengan senyuman lebar sedikit menyebalkan yang khas sekali. Tanpa sadar, Abdi menyapu pandangan dan menemukan Sekar yang sedang berfoto dengan Aiza. 

PLAK..

Abdi menampar kedua pipinya. Apa yang ia lakukan?

***

“Kalian emang mau jadi apa, huh?” kakak tingkat bertanya.

Saat ini, di malam hari yang tenang, dengan suara desir ombak dan angin laut yang tenang, sejuk, tapi sedikit menusuk ke rongga tulang, membuat tubuh menggigil. Angkasa hitam yang dipenuhi gugusan bintang indah mempesona. Pasir pantai yang lembut langsung menyentuh telapak kaki. Ini adalah puncak malam keakraban, diawali dengan beberapa kakak senior yang membagikan berbagai pengalaman yang mereka miliki, sebagai spoiler untuk adik-adik untuk menjadi lebih baik. 

“Kuliah kalian semester ini berapa SKS?” tanyanya.

“Dua puluh.”

“Dua puluh, berarti sepuluh mata kuliah?”

“Iya.” 

“Oke. Mari kita hitung, setiap mata kuliah itu dua SKS, benar bukan?” 

Mahasiswa semester satu yang duduk berjongkok itu mengangguk.

“Dua SKS itu seratus menit. Kemudian, kita kalikan sepuluh, jadi seribu menit. Terus, kalau kita konversikan menjadi jam, maka ada sekitar 16,6667. Kita bulatkan saja 17 jam. Nah, coba lihat! Tidak ada satu hari. lho.” kakak tingkat itu berseru kencang sambil memperagakan tangannya seolah-olah memang hanya segitu saja waktu untuk perkuliahan.

           “Oleh karena itu, teman-teman, kalian harus menambah jam belajar kalian.” ujar kakak tingkat sambil mengangguk, menambah kesan kemantapan dalam ucapannya. 

           “Nggak, kok. Saya nggak menyuruh kalian untuk harus ikut PMII, atau HMI, HMJ, intra kampus, SEMA, DEMA, atau organisasi apapun itu, lah.” kakak tingkat mengibaskan tangan, memberikan makna bahwa semua hal yang tadi ia sebutkan memang tidak sebesar itu. 

           “Kalian bisa belajar sendiri. Seperti setiap hari pergi ke perpus. Tapi jangan malah download film pakai wifi perpus, ya! Di perpus belajar, lho.” ia melempar canda. Beberapa dari barisan adik kelas tertawa.

           “Heh, menonton film pun belajar, lho.” kakak tingkat lain di pojokan menyahut. Teman lainnya di sebelah menambahi,

           “Kau tidak tahu kah kalau Mas Fardan yang lulus IPK 3.9, lulus tanpa skripsi, itu jurnal-jurnalnya bahas film semua.”

           “Iya, iya.” kakak tingkat yang berbicara itu mengibaskan tangannya kepada orang-orang yang menyahut. Ia melanjutkan pidatonya,

           “Ya tapi…. Kalau belajar sendiri biasanya kesulitan. Belajar itu kan enaknya kalau ada gurunya. Maka dari itu…” mengangguk sekali lagi, menambah kesan mantap, “bergabung saja ke organisasi. Banyak kakak-kakak yang peduli yang akan senantiasa membantu dan mengarahkan kita semua, kalian semua.” 

           “Hufftt…” Abdi yang mendengarnya menghembuskan nafas kesal. Ia sudah tahu. Pasti akhir-akhirnya tetap akan berpromosi. Tadi yang kakak tingkat itu bicarakan memang salah satu seni dalam berbicara persuasif. Entah, Abdi juga tidak mengetahui pasti, karena dirinya memang belajar melalui pengamatan.

           “Baiklah, cukup sekian dari saya. Kaffa minni, tsumma assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” ia melambai tangan sambil diirngi tepuk tangan kencang. 

           “Baiklah, untuk selanjutnya adalah Mbak Nurrohmah.” ujarnya sambil menunduk pergi dari hadapan adik-adik kelas yang antusias, walaupun beberapa tetap tidak bersemangat. Ada yang bercengkrama pelan-pelan walau kadang ketahuan, ada pula yang malah melamun, ada juga yang seperti Abdul dan Abdi, sudah tertidur sedari tadi. 

           “Teman-teman ada yang tahu tidak, apa saja keutamaan mengikuti organisasi?” Mbak Nurrohmah mengawali pidatonya dengan sebuah pertanyaan. 

           Seketika, barisan ramai sekali dengan celetukan-celetukan mahasiswa baru yang ingin menjawab. Seru sekali. Namun, tetap tidak bisa mengganggu tidur nyenyak Abdul dan Abdi. Dua sejoli itu dengan nyaman menaruh kepala mereka di atas lutut yang ditekuk, lantas memeluk lutut mereka sendiri. Tenang. Tenggelam begitu nikmat ke dalam dunia mimpi. 

           “...”

           “Di. Dul.” sebuah tangan menggoyang pelan tubuh keduanya. 

           “Heh, Di, Dul.” goyangan itu dibuat lebih kencang. 

           “Hmmm….” Abdi dan Abdul merespon begitu lambat. Kepala keduanya terangkat dengan beberapa garis tercetak di wajahnya, mata masih setengah terpejam, dan mulut sedikit terbuka beserta tetesan air liur yang masih menggenang di dalam sana. 

           “Jangan tidur di sini! Ayok! Tidur ke tenda saja!” itu adalah Mbak yang tadi menjelaskan tentang keutamaan berorganisasi, yang sejak awal langsung ditinggal tidur dua sejoli itu. Dengan perasaan tanpa terbebani dan terus tersenyum, ia mendorong pelan-pelan Abdi dan Abdul yang masih gontai dengan kantuknya yang berat, menyusuri jalanan pantai yang sudah semakin gelap. Walaupun hanya beberapa meter, akan tetapi,

           DUK….

           Abdi tersandung. Ia yang benar-benar lemas sekaligus malas hampir saja jatuh kalau saja kakak tingkatnya yang begitu peduli itu tidak memeganginya.

           “Oh, terima kasih.” ucap Abdi dengan suara yang terdengar aneh karena seperti ngelindur. Nampaknya, kali ini dia tidak bermasalah dengan pegangan tersebut. Entahlah, mungkin saja sangking mengantuknya, mbak kakak tingkat itu tidak perempuan di mata Abdi yang nampaknya hampir kembali terpejam.

           “Iya, sama-sama. Sana tidur!” Mbak itu mendorong Abdi dan Abdul menuju tendanya. Mereka berdua dengan gontai masuk ke dalam tenda. 

           “Weh, udah bangun, nih.” Tio menyambut mereka berdua dengan nada ejekan. Abdi dan Abdul tidak peduli. Setelah masuk, mereka langsung menjatuhkan tubuhnya begitu saja. 

           “Oi…” seruan-seruan orang-orang di dalam tenda tidak terdengar. Dalam sekejap, kedua mata mereka berdua sudah kembali terpejam.

           “…”

           Kesadarannya pun berangsur-angsur sudah dibawa menghilang. Malam semakin larut. Angkasa di atas sana semakin gelap gulita, walau bintang dan rembulan tidak membiarkan makhluk hidup di bumi dalam keadaan dibalut kegelapan. Suasana pesisir pantai semakin sunyi.  

           Hingga tiba-tiba,

           “WAAA…” Abdi bangun tidur dengan terkesiap. Sama seperti malam sebelumnya, ia langsung berada dalam posisi duduk dengan nafas yang ngos-ngosan. Walaupun sedikit berbeda, karena malam ini, ia tidak ingat apa yang ditemuinya di dalam mimpi tadi.

           “hah… hah… hah….” Abdi mengatur nafasnya. Tangan kirinya meyangga tubuh, sedangkan tangan kanannya bergantian memegang dada di mana jantung di dalamnya berdetak sangat kencang. Tangan kanannya kemudian terpasang di muka, menutupi sebagian pandangan matanya sambil berusaha mengingat apa yang ia temui di dalam mimpi, hingga membuatnya terbangun seperti ini. 

           “Astaghfirullah al-adzim.

           Bayangan perempuan terbayang, dengan tubuh yang kecil dan  mungil. Nampak imut menggemaskan. Dengan dibalut pakaian agamis berwarna putih, terlihat begitu sholelah. Bersikap dengan sangat anggun.

           Abdi segera menggeleng-geleng.

           “Astaghfirullah al-adzim.

           Abdi memukul-mukul pelipis kanannya berkali-kali. Membuang bayangan wanita cantik yang perlahan terlihat sebagai monster di pandangannya. Jantungnya berdetak semakin kencang tidak karuan.

           “Astaghfirullah al-adzim.

Abdi akhirnya teringat, bahwa ia masih berhutang untuk mendaras seluruh hafalan dan wirid-wirid yang tadi sore tidak jadi dibaca karena diganggu Hartigon, dan tadi malam pun juga tidak jadi ia baca karena tertidur sejak acara kisah-kisah para senior. 

Hufftt… Astaghfirullah al-adzim… Astagfirullah al-adzim.” Abdi beristighfar berkali-kali sambil mengelus dadanya. Tangan kirinya kemudian mengambil HP dan melihat jam digital yang terpampang lebar di wallpapernya. 

02.03

Hooaahhh…..” Abdi menguap lebar sekali. Kemudian, ia menyapu pandangan ke seluruh tenda, di mana teman-temannya sudah terlelap dengan berbagai posisi. Ada yang kakinya menjulang ke atas tubuh kawan lainnya, ada yang jungkir balik. Kepalanya di kaki teman ,dan kakinya di kepala teman. Ada yang kakinya tertekuk dan dipeluk, sehingga dirinya macam bola, dan berbagai posisi lainnya. Abdi meregangkan tangan dan tubuhnya. Setelah lebih segar, ia pun merangkak keluar dari tenda membawa HP sambil melangkahi beberapa temannya. 

Di luar tenda, Abdi kembali meregangkan tubuhnya. Ia menarik tangan ke atas yang katanya bisa membuat tubuh lebih tinggi beberapa centi. Suasana benar-benar sunyi. Hanya desir angin dan ombak, juga beberapa hewan malam yang berbunyi. Malam yang gelap gulita. Walaupun sudah ada bintang dan rembulan, namun pemandangan di depan mata tetap temaram. Di pesisir pantai itu, hanya beberapa tenda dan kamar mandi umum yang terang dengan lampunya. Itupun juga temaram.

Abdi berjalan menuju kamar mandi umum yang berjajar lima. Yap, hanya ada lima untuk ratusan orang yang ada di pesisir pantai itu. Langkahnya pelan sambil memperhatikan jalan yang gelap. HP di tangannya ia masukkan kantong. Ia melingkis lengan bajunya. Kemudian, sambil memelankan langkahnya, ia berjongkok menyingsing celana training yang sejak sore tadi belum diganti. Abdi kemudian kembali mengangkat pandangannya sambil berdiri, dan TIBA-TIBA, entah darimana, tanpa angin, tanpa guntur, tanpa ada tanda apapun, sesosok putih muncul tepat di hadapannya. 

Abdi terjengkang. Ia terpeleset jatuh ke belakang. 

“A…” Sosok putih itu dengan cepat memasang tangannya di mulut Abdi. Sementara tangan yang lainnya memegang kepala belakang Abdi, mencegahnya supaya tidak terjatuh. Abdi meronta. Ia tertangkap. Oleh sosok mengerikan dari dalam mimpinya. 

Hmm…” Abdi terus menerus meronta. Namun, walaupun kecil, tangan lembut itu kuat.

“Diamlah, Abdi! Jangan berisik!” ujarnya memerintah garang dengan suara yang merdu sekali. 

Heh?” Abdi terkejut. Mulutnya sekali lagi hampir berteriak karena sosok putih yang mengagetkannya itu. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah Sekar. 

“Sudah, ya! Jangan berisik!” Telapak tangan kiri Sekar masih terpasang erat di mulut Abdi, dan tangan kanannya juga tetap memegang kepala Abdi yang masih terus menerus meronta.

Mmm…” Abdi mengangguk. 

“Oke. Jangan ribut, ya!” ucap Sekar kemudian, masih dengan tatapan tajam. 

Abdi mengangguk sekali lagi. Kali ini lebih banyak dan lebih cepat. 

“Nah…” Sekar menarik tangannya yang menutup mulut Abdi pelan-pelan. Ia kemudian juga menarik tangan satunya setelah Abdi berdiri lebih tegak.

Hufftt…” Abdi menghembuskan nafas kencang. Lantas, sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Nafasnya tiba-tiba tak teratur. Ngos-ngosan. Menderu sangat kencang. Tangannya naik mencoba menutupi mulutnya yang terus mengeluarkan nafas lebih kencang dari pompa ban. Namun, tangannya pun gemetaran. Tangan lainnya naik, mencoba menenangkan tangan satunya. Akan tetapi sama saja. Tangan itu tidak lebih baik keadaannya. 

“Anu, Abdi. Abdi baik-baik saja?” Sekar tampak cemas. Tangan kirinya yang mungil dan lembut itu mencoba meraih kedua tangan Abdi yang saling bercengkraman untuk saling menenangkan. 

Reaksi Abdi benar-benar tidak terduga. Ia langsung menarik kedua tangannya cepat. Tidak hanya itu, ia berjalan mundur dua langkah dengan gerakan cepat. Seperti meloncat Sekar terhenyak. Ia menatap muka laki-laki yang menurutnya paling pintar di kelas itu berekspresi aneh, seperti ketakutan. Namun, apakah memang ketakutan? Itu sangatlah aneh. 

“Abdi gemetaran, lho. Abdi nggak kenapa-napa?” Sekar tetap bertanya cemas. Kendati sempat shock mendapat tatapan ketakutan dari teman sekelas. Ia benar-benar khawatir.

“Iya, Sekar. Abdi tidak apa-apa.” ucapnya mengangguk-angguk sambil mengatur nafas. Ia pun sadar dengan ekspresinya barusan dan berusaha keras untuk tersenyum. 

Sayang sekali, Sekar mengetahui dengan jelas bahwa itu senyum yang dipaksakan, meski sebenarnya memang sangat jelas. Abdi sejak awal adalah orang yang mudah berekspresi, baik bahagia maupun ketakutan. Itulah mengapa ia tidak pandai berbohong.

“Tidak apa-apa, Sekar. Abdi hanya kedinginan.” 

“Kalau kedinginan kenapa kok malam-malam malah keluar?” pertanyaan Sekar membuat Abdi seperti mendapat serangan telak. Meski sebenarnya, jawaban untuk pertanyaan itu sangat banyak dan beragam. Abdi bisa menjawab bohong dengan mau kencing, atau setengah jujur dengan menjawab mau berwudhu. Namun, akibat dipegang tadi membuat ketakutannya berlebih. Otaknya konslet. Ia hanya ingin keluar secepatnya dari situasi ini. 

“Abdi….” Sekar kembali memanggil namanya dengan suara lembut dan nada yang terdengar mendayu-dayu. Abdi berkali-kali menyumpahi telinga dan hatinya.

Apakah cuma aku yang merasa kalau dia itu takut perempuan? Ucapan Muthia kala di perpustakaan pada masa awal-awal semester teringat di kepala Sekar. Tentang teori konyol yang membuat Aiza tertawa terbahak-bahak, namun membuat Nadhira dan Sekar hampir kepikiran sepanjang malam. Setelah lama terlupakan, Sekar tiba-tiba mengingatnya. Tidak tahu siapa yang mengirimkan ingatan tidak penting itu. 

“Abdi, Sekar mau tanya boleh?” ia memutuskan bertanya, dengan suara sedikit gemetar.

“Bo… Boleh.” Abdi mengangguk pelan sambil memalingkan wajahnya. Kini, tidak hanya ketakutan yang datang menjalari tubuhnya. Ada perasaan lain. Tanpa pemikiran bodoh penasaran tentang apa perasaan ini, Abdi mati-matian berusaha menyingkirkannya. Perasaan ketertarikan pada suatu hal yang masih tidak halal. Namun entah kenapa sulit sekali. 

“Apakah benar Abdi takut sama perempuan?” 

Hah?

“Apakah benar Abdi takut dengan perempuan?” Sekar mengulangi pertanyaannya, membuat Abdi  yang mendengarnya tercengang. 

“Hah? Sekar tahu dari mana?”

“Benar?”

“Tidak, tidak. Dari mana Sekar tahu itu?”

“Iya, berarti benar, bukan?”

Abdi menggeleng kuat-kuat. Kalau dirinya menjawab seperti itu, maka keraguan Sekar akan berangsur-angsur menghilang. Sekar akan mengetahuinya dan BOOM permasalahan ketakutan Abdi kepada perempuan akan menjadi hal yang sangat besar. Abdi tidak akan membiarkan perempuan itu mengetahuinya. Sekar Cempaka Putri, wanita asing yang beberapa hari mengusik hatinya, menganggu kisah cintanya yang indah dengan Keluarga Ndalem dan cinta-cintanya yang halal. Ia tidak mau, walaupun perempuan cantik jelita dihadapannya ini memiliki latar belakang seorang Ning, namun tetap belum pasti kebaikannya dan tidak tentu seperti wanita yang ia idam-idamkan selama ini atau bukan. 

Tidak pasti juga. Sekar juga wanita yang kecil, mungil, imut, menggemaskan. Suaranya lembut dan merdu. Sikapnya sopan dan tenang. Gayanya anggun. Tidak banyak bercakap, apabila berkoar-koar.

TIDAK.

Abdi tidak akan membiarkan kejadian itu terjadi lagi. Kejadian menakutkan itu hanya akan terjadi satu kali dalam hidupnya Walaupun perempuan dihadapannya memiliki sifat-sifat dan gaya yang sama dengan wanita di masa lalunya, yang berakhir dengan trauma. Abdi tidak akan membiarkannya. Karena apapun yang terjadi, dia tetaplah wanita yang belum halal. 

“Tidak.” Abdi menggeleng atas pertanyaan Sekar. Gelengan yang sangat kuat, terlihat begitu mantap. 

“Lucu sekali ada orang yang takut sesama manusia. Iya, kan?” Imbuhnya sambil tertawa pelan. Tawa yang kelihatan sekali tidak natural. 

“Sekar, aku memang wibu, tapi ya.. aku tidak sampai seperti hikikomori.” 

Lihat selengkapnya