Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #10

Bab 10

      “Abdi, tadi saat pagi-pagi ngapain?” seru Sekar. 

           Itu adalah perjalanan pulang mereka dari kegiatan perkemahan di pantai. Menaiki truk. Angkasa di atas sana sudah mulai meng-ungu, burung-burung dengan barisan macam jet-jet ketika perang sesekali terlihat. Sesekali juga, nampak burung yang terbang sendirian. Kanan dan kiri sepanjang jalan hanya hamparan sawah. Hijau-hijau yang menyegarkan mata.

           Abdi tengah enak bercakap-cakap dengan Abdul, Ali, dan Fajar. Membincangkan sembarangan hal, mulai dari dunia politik yang mereka pahami, perfilman, keilmuan, agama, ataupun lainnya. Random sekali pokoknya. Hanya sebagai pengisi kegabutan sepanjang jalan pulang yang katanya lima jam. 

           Hingga tiba-tiba, Sekar yang ternyata di samping Abdi, juga berjongkok, bertanya, 

           “Abdi, tadi saat pagi-pagi ngapain?”

          “Eh, Sekar…” Abdi gelagapan. Dan bisa ditebak, dua orang yang tadi menjadi kawan bicaranya sekarang cekikikan menertawakan dirinya. 

          Namun, Abdi tidak peduli. Ia menjawab Sekar dengan baik, bahkan mengubah arah posisi duduknya sedikit menghadap Sekar, walaupun di atas truk yang berdesak-desakan itu, mengubah posisi pun sedikit sulit, 

           “Ya, kan malamnya sama Mas Sobron, toh.” 

           “Lho, berarti semalam itu nggak lanjut tidur?”

           Abdi menggeleng. 

           “Nggak ngantuk?”

           “Oh, apakah mau ditemani tidur?” Ali membisik.

           “Hush, diamlah!” bentak Abdi menghadap Ali sebentar. Mukanya memerah.

           “Biasanya kalau di pondok gitu, kok. Habis bangun tidur, tahajud, terus melek sampai subuh.” jelas Abdi.

           Mahasiswa itu, bahkan sampai sekarang, ketika ia menerangkan tentang ‘tahajud’ tersebut, ia masih belum paham, bahwasanya dirinya semalam tadi, telah melupakan tahajud, kembali mendaras hafalan dan wiridan, dan kegiatan yang hendak ia lakukan lainnya. Ia masih belum sadar. Waw, sungguh luar biasa jebakan wanita. 

           “Melek?” Sekar bertanya sambil menelengkan kepala. 

           “Oh, ee.. apa… mata terbuka.. em..” Abdi kebingungan menjelaskan. Namun Sekar sudah lebih dahulu mengangguk-angguk paham. 

           Dan, sudah selesai. Percakapan mereka telah usai. Tidak berlanjut kemana-mana lagi. Persis sekali dengan tadi malam. Sebuah pertanyaan yang hanya dijawab, kemudian tidak dikembangkan menjadi ajang bertukar kisah, atau pendapat, ataupun obrolan lainnya. 

           Tiba-tiba, truk yang nampaknya melewati polisi tidur yang cukup tinggi membuat guncangan di dalam box. Seseorang di samping Sekar, yang berdiri menatap hamparan sawah oleng ke samping, menyenggol Sekar, yang akhirnya terjungkal ke arah Abdi. Abdi tidak bisa menghindar. Tidak. Tidak. Mereka tidak berciuman atau apa macam di film-film. Hanya terlalu dekat yang sudah pasti membuat jantung dan hati dag-dig-dug ser. Terpacu begitu cepat dengan tambahan bumbu cinta, yang membuat mulut tersenyum, namun dengan pipi yang merona. 

           Tapi tidak dengan Abdi. Jantungnya seolah mau meledak. Hatinya seperti hendak keluar dari sana. Seluruh organ dalamnya seolah meronta. Sakit sekali di dalam sana. Pikirannya jangan ditanyakan. Gambaran menakutkan kembali muncul di benak bayangannya. Namun, berbeda dengan sebelumnya. Gambaran menakutkan, yang menghantuinya selama setengah semester terakhir itu, tidak sejelas biasanya. Perlahan, pandagan itu mulai kabur.

           “Maaf,” Sekar mengubah posisinya, sedikit berputar balik dari menghadap Abdi, begitu pula Abdi. Ia kembali sedikit menghadap ke arah Abdul dan Ali. Dua kawannya itu menyambut dirinya dengan senyuman menyebalkan. 

\         “Apaan?” tanya Abdi sedikit jengah dengan tatapan dan senyuman menyebalkan keduanya.

           “Dirimu akhirnya pacaran, Di.” ucap Ali pelan, takut terdengar Sekar. Namun, tawanya tetap membahana. 

           Sekar menoleh. Abdi menjawabnya hanya dengan senyuman kecut sambil menggeleng pelan, tidak ada apa-apa katanya. Mahasiswi yang akhirnya berhasil membuka pintu hati Abdi itu mengangguk, tersenyum manis, kemudian kembali menoleh ke arah lain. 

           “Anjir lah, Di. Senyumane manis, teo.” bisik Abdul pelan, sambil mengintip-ngintip pada Sekar. 

           “Ket kapan, Di?” tanya Abdul.

           “Apane?” Abdi balik bertanya sinis. 

           “Pacarane. Kawit ndek wingi yo? Kapan? Sore? Tah bengi?” Abdul tak berhenti mencerocos. 

           “Sopo sing pacaran?” 

           “Yo, kon karo Sekar. Sapa maning?” Abdul mengangkat dagunya, menunjuk jarak yang begitu dekat antara Abdi dan Sekar. 

           “Kene rak pacaran, kok.” Abdi ngegas, tetap dengan suara pelan yang dibisikkan.

Lihat selengkapnya