Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #12

Bab 12

“Bu, rames tambah telor tigo, nggih?” Abdul mengacungkan tiga jarinya sebagai simbol.

Mimik'e nopo, Nang?” tanya Ibu penjual yang tengah mencuci piring-piring di samping. 

Kulo tea jus gula batu. Kon opo?” Abdul menoleh ke belakang, pada Nabil dan Abdi yang kembali menguap lebar. Rasa kantuknya sama sekali belum kelihatan beres. Ia terus saja menguap. Padahal ini sudah siang hari. Ia telah tidur sejak jam pertama hingga sekarang. 

“Sama saja, lah, ya?” Nabil menoleh ke Abdi. 

Hooaammmm…..” Abdi menutup kuapnya sambil mengangguk. 

Tea Jus Gula Batu mawon, Bu.  Tigo,” Abdul kembali membuat gambaran tiga dengan jarinya. 

Angger dienteni ning njero, Nang,” seru Ibu Penjual. 

Nggih, Bu.” 

Mereka pun masuk ke dalam rumah yang ruang tamunya menjelma menjadi warung makan. Beberapa temannya tadi di kelas berada di sana. Nadhira dan Aiza. Seketika langsung menyambutnya dengan cemoohan. 

“Enak ya? Habis tidur makan.” 

“Enak, lah. Iri ya?” Abdi menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari mereka berdua. Ia nggelesor dan menaruh kepalanya yang terasa berat di atas kedua lututnya. 

“Abdi, kamu tidur terus, lho? Abdul saja sudah kelihatan segar,” seru Nadhira, namun Abdi tidak memperhatikannya. Dia tetap dalam posisi tertidur. 

“Ih, sombong. Nggak mendengarkan temennya ngomong,” Nadhira kembali berseru dengan kesal. Tetap sama, Abdi tidak mengacuhkannya. 

Ya kon yo lucu. Wong turu jak njagong,”[1] ucap Abdul. 

“Muthia sama Sekar kok nggak berangkat, Ra?” Nabil mencoba mengalihkan pembicaraan. 

“Sakit, Bil,” Nadhira menoleh pada Aiza yang diikuti anggukan. 

“Iya. Apalagi Sekar itu. Dia parah banget. Panas sekali tubuhnya,” ujar Nadhira dan Aiza sambil mencoba melirik Abdi, menunggu sebuah reaksi. Namun, Abdi tetap dalam keadaaan yang sama. Lutut terlipat dengan kepala bertengger di atasnya. 

“Di?” Nadhira memanggil pelan. Orang yang diseru tidak merespon. Posisi tetap sama. Tidak bergeser atau bergerak sesenti pun. 

“Heh, Di. Kamu jangan-jangan sakit, ya?” Nadhira kembali bertanya. Abdi tetap tidak memberikan jawaban. 

“Iya, kamu kan kemarin waktu perkemahan nggak tidur malam,” Aiza ikut berseru. 

“Heh? Abdi ora turu? Tenanan?” seru Abdul benar-benar terkejut. 

Nadhira dan Aiza mengangguk. 

Kon kok do ngerti?” Abdul bergerak mendekat. Penasaran. 

“Iya. Dia pas malam hari itu …” 

“BERISIK, RA!!” Abdi akhirnya berseru. Kencang sekali, walaupun dengan suara yang serak. 

***

Hahaha…. Nyong ra nyangka, Kon kendel temen njagong karoan bocah wadon. Sewengi, wong loro, pirang-pirang jam sisan. Beeuuhhhh…”[2] Abdul berucap seru sekali. Kemudian tertawa kencang. Motor yang ia kendarai bergoyang ke kiri dan kanan. Tidak mempedulikan Abdi yang sakit di boncengannya. 

Lihat selengkapnya