Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #13

Bab 13

“Hei, Abdi…” seru seseorang di depan Abdi. 

           “Hmmmm…” reaksi Abdi tanpa mengalihkan pandangannya dari buku bacaan.

           “Hei, kalau diomongin hadap ke sini, dong!” Alea mendekat. Tangannya menekan buku bacaan yang masih digenggam Abdi ke bawah.

           “Dirimu pun lucu, Lea. Orang masih fokus baca malah diomongin. Lihat situasi dan kondisi! Udah besar, kan?” seperti biasanya, mulut Abdi senantiasa pedas ketika berhadapan dengan Alea. 

           “Mulutmu itu, lho, Di. Makan hari kok makin pedas, aja.” 

           “Yah, kan aku doyan sambel.”

           “Pfft….” Tio di samping mereka menahan tawa.

           Saat ini, ketiga orang itu hendak melakukan kerja kelompok. Namun, mereka masih menunggu satu lagi mahasiswa perempuan. Aiza. Dia yang membawa laptop, salah satu perangkat bagi para mahasiswa yang salah paham, bahwa itu adalah alat utama. Padahal, alat utama dalam belajar adalah kemauan, ketekunan, dan otak yang bisa menalar. Laptop adalah kebutuhan sekunder dari nomer sekian yang masih bisa tergantikan. Sayang. Banyak sekali mahasiswa, kebanyakan pula yang baru, yang salah mengartikannya. 

           Abdi pun sama saja. Dia sebenarnya paham. Bisa mencari buku-buku, mulai memahami materi terlebih dahulu, kemudian meringkasnya, entah ditulis tangan, maupun diketik di dalam HP. Bahkan, alat scan dari Google menjadi perangkat yang sangat membantu. Halaman tinggal difoto, kalimat-kalimat yang ada di dalamnya tinggal dicopy. Namun, Abdi malas saja.  

           “Ini Aiza kok lama banget, ya.” gerutu Alea yang kakinya sudah menapak-napak tidak sabar sejak tadi.

           “Sabar. Makanya disambi. Waktumu terbuang sia-sia, Lea, kalau kau menunggu nggak ngapa-ngapain.” 

           “Hei, orang-orang sehebat Abdullah ibnu Mas’ud saja beranggapan bahwa dia sering sekali membuang waktu, tidak memanfaatkannya dengan baik. Lha dirimu? Pintar? Nggak. Rajin? Nggak. Cerdas? Beuh, apalagi. Ngono enteng sekali menganggur.” ceramah Abdi yang mengandung irisan hati. Tapi untungnya, Alea adalah seorang santri, yang kata banyak orang memiliki hati sekuat baja. Abdi pun mengetahuinya. Kalau tidak, ia tidak akan seenak jidat mengatakan hal itu pada Alea. Justru karena Alea kuat, Abdi bisa mengatakannya dengan plong

           “Dasar! Emang kamu nggak pernah menganggur?” sungut Alea. 

           “Ya aku kan manusia, Lea. Tahu sendiri, kan? Al-insan mahalul khotho’ wan nisyan. Manusia itu tempatnya salah dan lupa.” 

           Alea gantian mencibir alasan Abdi. 

           “Alasanmu mainstream, Di. Kok salah? Jawabannya manusia itu tempatnya salah.” Alea gantian menyerang. Tapi sayang. Dalam ilmu berbicara dan beralasan, Abdi adalah jagonya. Setidaknya, ia tidak lebih bodoh dari Alea. Ia dalam sekejap membalas, 

           “Lho? Abdullah ibnu Mas’ud saja kesulitan, apalagi aku yang bukan siapa-siapa.” pandai sekali dia mengelak. Namun, ucapannya belum usai. 

           “Tapi konteksnya tidak di situ, Lea. Namun bagaimana kita harus tetap berusaha menjadi baik. Tidak puas begitu saja, kemudian pasrah. Nenek moyang kita itu pejuang. Ingat!” Yap. Apa yang kali ini dikatakannya memang benar adanya. 

           Beberapa detik setelah Abdi memenagkan perdebatannya dengan Alea, Aiza akhirnya datang. Abdi dan Alea seketika mengomel. Walaupun Abdi tidak terlalu banyak berbicara. Ia baru saja dalam mode roasting ketika berhadapan dengan Alea. Sedikit takut apabila keceplosan dan menerapkannya pada Aiza. Juga sama seperti keadaan-keadaan sebelumnya, masih ada sirat ketakutan terhadap perempuan. Abdi mungkin tidak menyadarinya, bahwa sense ketakutannya pada perempuan tidak bekerja pada Alea tadi. Sedangkan Tio, tentu jangan ditanya. Ia menyambut kekasihnya itu dengan senyuman yang gemilang. 

           Kerja kelompok mereka pun dimulai, setelah sedikit cincong tentang bagaimana Abdi, Alea, dan Tio tidak mau menyambinya dengan mengerjakan lebih dulu. Aiza mengatakan bahwa mereka membuang-buang waktu. Pembicaraan yang sebelumnya didebatkan Abdi dan Alea. 

           “Enak saja! Nanti kalau disambi kerjamu sedikit. Ya, kan, Lea?” Abdi sewot dengan komentar Aiza. Alea menganggukinya. 

           “Ih, kan kerja sama.” 

           “Ya, ya…” Abdi meniru dengan mengejek. Kemudian, menghembuskan nafas sebal. 

           Mereka bertiga, Aiza, Alea, dan Abdi pun kemudian mencari buku-buku yang diperlukan untuk tugas makalah mereka, sedangkan Tio diperintah dengan sangat jelas oleh kesayangannya, Aiza, untuk menjaga inventaris tugas kelompok mereka. Tio hanya mengangguk pelan. Tidak berani, bahkan mungkin tidak bisa membantah.

           Cinta yang besar melahirkan kepatuhan. Itulah mengapa, jangan semudah itu jatuh cinta. Itulah mengapa pula, cintailah gurumu dengan amat-amat sangat. 

           “Eh, Abdi..” Aiza yang berjalan paling depan berhenti melangkah. Abdi dan Alea yang berada di depannya seketika berhenti. 

           “Kamu kan katanya sakit?” tanyanya perhatian.

           “Ya, berarti sudah sembuh, tho.” ucap Abdi tanpa melihat Aiza. Ia berputar sembilan puluh derajat, menghadapi rak buku sambil mencari-cari buku yang diperlukan. 

           “Sudahlah, ndang!” ucapnya setelah menemukan dua buku yang cocok dalam sekejap. Kemudian, tanpa menunggu jawaban dari kedua wanita yang bersamanya, Abdi berjalan duluan kembali ke meja tempat Tio menjaga perangkat milik mereka. 

           “Lea…” Aiza gantian menghentikan langkah Alea.

           “Aku mau bertanya?” ucapan Aiza yang terdengar berat menggambarkan bahwa pertanyaan yang akan muncul adalah soal serius. Alea berbalik badan, menatap perempuan yang sedikit asing baginya itu dengan mengernyit.

           “Menurutmu, apakah Abdi takut dengan perempuan?” 

           “Hah? Kenapa kamu menanyakan hal itu padaku? Memang aku siapanya Abdi, huh?” 

           “Yah, kau dekat dengan Abdi.” 

Seketika, mimik muka Alea berubah drastis. Wajahnya memperlihatkan ekspresi jijik. 

“Aku? Dengan Abdi? Dekat? euihhh….” ucapnya membuat Aiza kebingungan.

“Tapi, Lea, ini berdasarkan penelitian.”

“Penelitian? Kau meneliti Abdi? Gabut bener kamu, Za.”

“Yah, bukan aku saja, sih….” Alea menelengkan kepala mendengarnya. Ia kebingungan. 

“Aku, Muthia, dan Nadhira.” 

“Satu kamar?”

“Yah, kecuali Sekar berarti.”

“Sekar?”

“Putri itu, lho. Sekar Cempaka Putri.”

“Lho, kok bisa Sekar panggilannya sekarang? Padahal kan dulu Putri.” 

“Yah, itu karena kawanmu itu, Abdi. Dia yang mengawalinya memanggil Sekar.” Alea hanya ber-ooh pelan. Sebelum dia kembali ke topik pertanyaannya tadi, 

“Terus, apa alasanmu meneliti Abdi?” 

Lihat selengkapnya