Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #14

Bab 14

       Matahari telah terbenam di ufuk barat. Walaupun kelihatan berputar mengelilingi bumi, namun bumilah yang berputar mengelilingi matahari untuk mendapatkan cahaya dari matahari secara adil kepada seluruh makhluk-makhluk yang bersemayam padanya. Langit menjadi gelap gulita. Awan-awan di atas sana secara tiba-tiba mengepul tebal, menutupi cahaya rembulan. Lantas, tanpa memberikan jeda kepada makhluk-makhluk bumi untuk berteduh, curah air hujan langsung turun deras begitu saja mengguyur bumi pertiwi. Sesekali halilintar menyambar, kilat mengkilap dengan sangat cepat. 

           “Brrrr…..” Abdi menggigil. Dia seorang diri berteduh di sebuah pom bensin yang masih jauh dari pondoknya. 

           BLARRR…. 

           Halilintar kembali menyambar dengan suaranya yang membuat seluruh tubuh gemetar. Berbarengan dengan itu, seluruh lampu yang ada di pom bensin, juga tempat-tempat di sekitarnya padam. Hanya dalam beberapa menit, kota yang terang benderang menjadi gelap gulita. Hanya bermodalkan pencahayaan dari kilat yang sesekali terlihat. 

           Abdi membuka HP di sakunya. Mendecak kesal menyaksikan logo sinyal yang dicoret silang, menandakan bahwa sama sekali tidak ada sinyal. Ia pun menggeser layar, hingga ke pojok di sisi kiri paling bawah, game catur. Aplikasi yang sudah lama tidak ia buka sejak masuk kuliah. 

           “Buuurgghhh….” Abdi menghembuskan nafas kesal. Ia kalah melawan computer dengan poin 1200. Sekali lagi. 

           “Buuurrrrgghhhh….” Nafas kesalnya tambah kencang. 

           “Buuurrrrgghhhh….” tiga kali Abdi kalah. Ia mendecak kesal. Rasanya dulu, dia tidak semudah itu dikalahkan. Selain itu, dulu bermain catur rasanya tidak memeras otak hingga seperti ini. Dulu, dia merasa enjoy. nyaman saja bermain bahkan hingga berjam-jam, dari jam jaga malam hingga subuh datang. 

           Abdi memutuskan keluar dari game. Sayang sekali, darah perjuangan nampaknya tidak mengalir deras di dalam pembuluh nadinya. Atau mungkin, dia memang tidak terlalu tertarik untuk kembali meningkatkan skill bermain caturnya. Ia beralih pada galeri, menyaksikan foto dan video random. Ada beberapa JJ, karena Abdi yang fomo. Ada pula beberapa foto terbaru semasa perkuliahan, kebanyakan memang potret skor pertandingan antara dirinya dengan Abdul di rentalan PS. Ada pula foto teman-teman yang tertidur di kelas, foto dosen mengajar, foto papan tulis karena Abdi malas mencatat, foto-foto acara untuk dibuat status, dan foto dia yang menyaksikan live sepakbola di kelas yang tanpa dia sadari kala itu, ada sosok Sekar yang meliriknya dengan sangat kentara. 

           Abdi memperhatikan foto itu lama sekali. Wajah Sekar yang menoleh terlalu lebar, sorot matanya yang penasaran dengan tontonan Abdi, dan wajah cantik imut menggemaskannya yang polos itu kembali membuat Abdi terenyuh. Ia sangat betah melihatnya hingga beberapa menit ke depan. Kilat-kilat dan halilintar menggelegar yang mengerikan tak menggetarkannya. 

           Hingga, 

           PRAAANGG….

           Suara berisik, macam wajan jatuh di subuh buta terdengar jelas dari dalam musholla pom bensin. Abdi kaget. Di dalam kegelapan yang pekat, dengan suara aneh yang mengagetkan seperti itu, bayang-bayang dalam film horror seketika langsung berkelebat dalam benaknya. Ia tahu, bahwa makhluk halus tetap tidak akan bisa membunuh seperti dalam film-film horror yang ia tonton. Karena sejatinya, kekuasaan terhadap nyawa hanya ada pada Allah ta’ala. Namun, membayangkan jumpscare yang akan terjadi tetap membuat bulu kuduk bergidik. 

           Tidak Tidak. Abdi menggeleng. Sebagai orang yang telah menempuh pendidikan hingga mahasiswa, ia tidak sepatutnya takut dengan sesuatu yang belum tentu kepastiannya. Selain itu, ia juga santri yang rajin mengaji, sepatutnya setan-setan lah yang takut kepadanya. 

           Abdi membuka HP, menyalakan senter, lantas memasuki bagian pom bensin lebih dalam, di mana ada beberapa toilet dan mushola kecil ukuran dua tiga shaf shalat. Ia melangkah pelan-pelan. Cahaya senter menyorot lebih dalam, hingga ia menemukan sosok putih bergerak-gerak. 

           “Heh?” seru Abdi. Anying, hantu beginian?

“Heh?” sosok putih itu juga menoleh. Kaget. Abdi kembali kaget. 

“Mas Ghon?” 

***

“Lha terus, Mas Ghon ini nanti tidur di mana?” tanya Abdi. Keduanya sekarang tiduran di mushola, bersebelahan menatap jendela yang menghadap ke langit gelap gulita, dengan sambaran kilat yang terkadang menyilaukan. 

“Aku serabutan. Kan sudah bilang, tho?” 

“Lho? Serabutan itu maksudnya bukan bekerja?” tanya Abdi kebingungan. Padahal kala itu, dia sendiri yang kebingungan. 

“Lah, kau saja kan tanyanya pulang ke mana?” seru Mas Ghon tidak kalah seru. 

“Oohh…” Abdi mengangguk paham. Dia menambahkan kata-kata menyebalkan, 

“Kirain pas itu Mas Ghon emang kopok’en.” 

“Heh? Mulutmu itu, lho, Di.” 

“Hehe, maaf, Mas.” 

“Tapi, Mas Ghon yang asli itu tinggal di mana?” Abdi kembali menanyakannya. Masih belum paham dengan konsep ‘serabutan’.

“Di Medan.” 

“Mboh, lah, Mas.” 

“Hahaha… ya sudah sini tak ceritain.” Mas Ghon menarik nafas,

“tapi jangan pernah bilang siapa-siapa, ya?” tiba-tiba atmosfer pembicaraan dengan Mas Ghon menjadi serius. Abdi menoleh. Tubuhnya sedikit naik dipangku siku.

“Eh, kenapa, Mas?”

“’Iya’ dulu!” seru Mas Ghon galak. 

Abdi mengangguk cepat seraya mengucap,

“Iya.”

“Yah, aku nggak tinggal di mana-mana, Di.” ucap Mas Ghon. 

“Heh? Apa maksudnya? Nggak tinggal di mana-mana?” Abdi kebingungan. 

“Iya.”

“Maksudnya, Mas?”

“Yah, semua barang-barangku di tas sama jok motor. Pakaian, laptop, buku-buku. Yah, mungkin sebagian ada di PKM juga.” ucap Mas Ghon sambil menghembuskan nafas lelah. 

Abdi terdiam. Dengan ditemani gemuruh hujan dan halilintar yang ada di luar, ia menyimak dengan hikmat kisah kakak tingkatnya selama kuliah yang sudah berjalan lima semester. Dua setengah tahun tanpa atap yang jelas. Berpindah-pindah tempat tidur. Kadang di kos teman, di kontrakan teman, di mushola kampus, PKM, kemudian diusir oleh satpam, kadang di musholla manapun, pom bensin, dan di mana saja. Hanya bermodalkan pakaian beberapa lembar. Tiga kaos, satu dicuci, satu disimpan, satu lagi dipakai. Begitu pula dengan nasib kemeja yang juga hanya ada tiga. Dan dua sarung beserta dua pasang celana. Yap, itulah mengapa pakaian yang terlihat dipakai Mas Ghon itu-itu saja. Pakaian-pakaian itu ia letakkan beberapa di tas, di jok motor, dan ditinggal di PKM. 

“Mas Ghon nggak pernah pulang?” 

Mas Ghon menggeleng. Mulutnya perlahan mulai bergetar. Ia juga bercerita yang sudah merantau sejak masa pertengahan sekolah awal. Tanpa pernah pulang. Awalnya mondok sampai lulus SMA. Kemudian, ketika hendak pulang, melepas rindu setelah enam tahun tidak dapat bertemu. Orang tua menyuruhnya untuk sekolah, menjadi mahasiswa, orang yang lebih berilmu, sarjana, orang-orang yang luar biasa. Tidak mengapa katanya ibu dan ayah bekerja kesulitan di pulau seberang sana, asalkan bisa menjadikannya anak benar-benar menjadi seseorang. 

Akhirnya, demi menghemat segala macam pengeluaran kedua orang tuanya, Mas Ghon terpaksa berbohong dengan berbagai hal. Tentang ia yang mengontrak dengan temannya dengan hanya harga sekian, harga laptop yang hanya sekian, harga motor yang hanya sekian. Ia menjual berbagai macam pakaiannya selama mondok. Beberapa kitabnya selama mondok ia titipkan ke PKM, sekaligus sarana belajar kakak kelas hingga sekarang adik-adik kelasnya. Karena katanya, tidak etis menjual kitab yang selama ini menemani kita belajar. Dan, masih banyak sekali pengorbanan yang ia lakukan demi orang tuanya tidak terlalu membuang-buang uang untuknya. 

“Mas Ghon nggak dapat beasiswa?” 

Mas Ghon menggeleng. 

“UKT Mas Ghon berapa?” 

“Lima setengah juta.” ucap Mas Ghon dengan wajah yang sedikit mengkerut. Abdi sedikit mengangguk dengan kikuk. Abdi baru sadar, bahwa dark system ternyata memang tidak hanya ada di dunia game. Namun juga pada tempat luar biasa seperti universitas. Di mana pembagian UKT nampaknya di luar nalar. Abdi masih tidak mengetahui, bahwa masih banyak sekali dark system yang ada di dunia, yang masih menunggunya di luar sana. 

           ***

           Pepohonan rindang menaungi dari panasnya Ibu Kota yang sungguh luar biasa mengerikan, yang katanya seolah memiliki matahari lima di sana. Mahasiswa mahasiswi berlalu lalang melewatinya. Abdi yang duduk di taman fakultas baru saja selesai membaca komik. Dirinya masih malas untuk beranjak. Ia mengecek jam di androidnya. Masih sekitar setengah jam. Toh, gurunya pun sering kali terlambat. Tidak mengapa ia menikmati dulu suasana nyaman yang begitu sejuk di bawah pohon tersebut. 

           “Weh, Abdi.” Mas Ghon menyapa dari kejauhan. Ia kemudian duduk di teras perpustakaan fakultas dengan bersandarkan tiang. Ia membuka tasnya, menyelonjorkan kakinya, kemudian menarik keluar laptopnya. 

           “Tugas, Mas?” tanya Abdi berbasa-basi, dengan suara sedikit keras karena jarak yang tidak dekat. 

           Mas Ghon menggeleng, 

           “Nggak, sih. Cuma buat karya mau diikutin lomba atau dikirim ke tulisan-tulisan di website gitu. Supaya dapat uang, Di.” 

           Abdi berpikir sebentar. Apa yang dilakukan Mas Ghon sama dengan apa yang ia coba lakukan selama ini. Namun, sudah enam karya yang ia kirim untuk sebuah website, ada lima karya yang diikutkannya untuk lomba. Semuanya tidak berbuah apa-apa. 

           “Mas Ghon pernah keterima?” tanya Abdi sekali lagi. Mungkin ia bisa mendapatkan tips and trick dari sosok senior dengan kisah luar biasanya itu. 

           Mas Ghon kembali menggeleng, dan dengan senyuman yang nampak luar biasa, ia berkata, 

           “Aku udah nyoba 100 kali, tapi belum pernah, ik.” 

           Abdi seketika terhenyak dengan ucapan kakak tingkatnya itu. Ia tersadar. Sebenarnya, tidak ada tips and tricknya. Sama sekali tidak ada. Cara yang harus dilakukan dalam menulis hanya ada satu. Terus menulis. Tidak akan pernah mneyerah. Walau apapun yang telah dilaluinya. Setidaknya, walau hasilnya mengecewakan, ada yang Maha Agung yang senantiasa mengapresiasi. 

           Mas Ghon tidak memperhatikan Abdi. Pandangannya fokus kepada laptop kawak yang berada di pangkuannya. Sepuluh jemarinya menari-nari diatas keyboard. Idenya mengalir deras. Waw. Bahkan Abdi yang merasa sudah mempunyai banyak pengalaman pun terpukau. Nampaknya, ia baru saja mengalami fase dunning Kruger Effect. Ia tersenyum.

           “Heh, Abdi kenapa tertawa?” seseorang dengan suara halus mengagetkan Abdi. Sekar Cempaka Putri. Perempuan itu berdiri mengenakan gamis berwarna ungu dengan membawa tas cangklong. 

           “Ehh, enggak, kok.” Abdi segera menggeleng, dengan senyuman kecut. 

           “Hmmm….” Sekar menelengkan kepala dengan wajah kebingungan. Abdi segera memalingkan wajahnya. Amboi, Kenapa perempuan kecil yang kebingungan ini nampak imut sekali.

           “Abdi nggak ke kelas?” Sekar segera mengalihkan topik. 

Lihat selengkapnya