Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #15

Bab 15

“Heh, Di, kau mau ikut tidak?” teriak Hartigon setelah telponnya ditolak Abdi tiga kali dan baru akhirnya diangkat. 

“Tidak,” Jawaban yang singkat, padat, dan sangat jelas. 

“Heh, belum dikasih tahu apa, kok.” 

“Nggak peduli.” 

“Heh, Di. Santri itu nggak boleh ,,,”

TUTUT

Sambungan telepon telah ditutup. 

Hartigon seketika marah-marah. 

“Nggak suka aku orang modelan seperti ini, menganggap manusia lainnya tidak berharga, tidak memberikan waktu untuk berbicara,” gumamnya dengan menggeram. 

“Ya sudah, kita tinggalkan saja,” ujar Rijal mengibaskan tangan sambil berlalu lebih dulu. 

“Lagian, kenapa kau peduli sekali dengan bocah itu, Har?” tanya Rijal menoleh sebentar kemudian melangkah lagi. Ia menaikkan tangan kanannya, mengangkat ransel tas yang turun dari bahunya. 

Hartigon menilik sebentar layar HP, tertera jelas gambar telepon berwarna merah, panggilannya pada Abdi yang ditolak tiga kali. Juga panggilan terbaru yang hanya berlangsung beberapa detik. Hartigon kemudian mengangkat bahu. Lantas berlari menjajari Rijal yang melangkah duluan. 

***

Sapa, Di?” Abdul mendongak, bertanya. 

“Hartigon, Dul,” jawab Abdi masih dengan sisa ketus. Ia kemudian meletakkan HP di sampingnya. Ia kembali fokus pada kertas portofolio di hadapannya. 

“Lah, lha Hartigon gak ngerjakke UTS?” tanya Abdul kebingungan. Berbeda dengan Abdi yang tidak mengalihkan pandangannya dari portofolio sejak seperempat jam yang lalu, Abdul sudah beralih ke beberapa hal lain sejak tadi, dari mulai scroll Tik Tok, berbincang dengan teman lainnya, dan kegiatan lainnya. 

“Lah, dia kan pintar, tho?” 

“Oh, iya, deng,” Abdul tertawa pelan. Ia kembali membungkuk menyelesaikan garapan di kertas portofolio.  

“Terus, batir liyane podo orak nggarap UTS?”[1] baru beberapa kalimat Abdul menuliskan kerjaannya. Ia kembali bangkit. Bertanya hal yang sebenarnya tidak perlu. 

Ra ngerti, Dul. Lebih baik kerjakan saja cepat! Lihat! Aku sudah enam halaman, sedangkan dirimu masih dua setengah,” tutur Abdi kesal. 

“Yee, kon kan panci nulis e cepet,”[2] komentar Abdi langsung disahut dengan kekesalan Abdul. 

“Masalahnya tidak begitu, Dul. Dirimu sejak tadi menyambi ngegame, scroll Tik Tok, dan sebagainya. Ya kalau begitu, gimana mau selesai?” sergah Abdi. 

Bedo wong bedo cerito, Di. Orak sangger wong biso fokus kaya kon.” 

“Iya, iya, Dul. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa dirimu tidak mengerjakan tugas dengan benar karena kurang fokus. Coba deh, HP-mu dimatikan daya. Mungkin dirimu sudah tiga sampai empat halaman,” ujar Abdi mulai kesal sambil menunjuk HP Abdul.

Lah, HP-mu wae nang sebelahmu, kok,” Abdul gantian menunjuk HP Abdul. 

Haahhhh… terserahlah, Dul,” Abdi mengeluh kesah. Ia bangkit sambil membawa beberapa perangkat mengerjakan tugasnya, lantas berpindah tempat, jauh dari Abdul yang terus-menerus mendebatnya. Abdi hendak mengerjakan tugas dengan lebih serius, supaya bebannya benar-benar terlepas. 

Heh, Di. Kon nang ndi?” Abdi tidak membalas seruan Abdul. Ia berjalan menuju ke teras pondok lantai dua. Ia menjeplak. Lantas langsung kembali menulis tugas sejarah yang luar biasa banyaknya. 20 halaman ditulis tangan. Dosen benar-benar menyiksa mahasiswa-mahasiswanya. Apalagi tenggat pengerjaan tugasnya hanya satu hari, bertumpukan dengan berbagai tugas UTS lainnya. Menjadi mahasiswa ternyata bisa membuat gila. Pantas, banyak dari mereka yang memilih mengakhiri hidupnya.

Heh, Di. Lha, tugas ngawe artikelmu kepiemen?”[3] Abdul sudah kembali mendekat. Sama dengan Abdi, Abdul membawa seluruh perlengkapan tugas sejarah, portofolio, pena, beserta alas menulis lainnya. Tak lupa, HP ia bawa, mendengungkan lagu santai. 

Lihat selengkapnya