Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #16

Bab 16

“Oh, halo, Sekar?” ucap Abdi terpatah-patah di ujung telpon. 

“Iya, Abdi…” sama seperti dengan Alea, suara Sekar juga terdengar masih mengantuk. Apakah mahasiswa memang kebanyakan masih mengantuk di jam segini. Perasaan, dulu saat dia mondok, hanya satu dari sekian santri yang tidur-tiduran di pagi hari. Sementara di dunia perkuliahannya, Alea, Sekar, Hartigon, Tio, Rijal, Nabil, dan masih banyak lainnya.  

“Ada apa, Abdi?’ tanya Sekar. Suara menguap terdengar, walau lebih pelan. Terdengar begitu lembut. Abdi tidak menyadarinya, bahwa dirinya mengulum senyum. Mulai menganggap bahwa suara itu begitu menggemaskan.

“Hehe, maaf, Abdi,” ucapnya sebelum menerima jawaban. Suara kecil menggemaskan. Senyum Abdi sama sekali tidak tanggal. 

“Anu ... Itu, Sekar… kosnya bagian mana?” tanyanya terbata-bata. Rasa itu kembali lagi. Ketakutan, gugup, dan berbagai rasa lainnya. Hati Abdi mulai berdegup lebih kencang dari biasanya. Tangan yang memegang stang motor, tangan yang memegang HP, semuanya mulai gemetaran. 

“Sebentar, Abdi ada di mana?” Sekar malah balik bertanya.

“Sebentar, tak foto.”  

Begitu Abdi mengatakan hal itu, Sekar langsung mematikan telepon. Abdi kebingungan. Namun, ia segera mengangkat bahu. Terserah. Ia bisa menelponnya lagi nanti. Ia kemudian memotret jalanan di depannya, mengirimkannya satu kali lihat kepada Sekar. Abdi menunggu. Tidak kunjung dibuka. Lantas, hingga satu menit pesan itu masih bertanda dua centang abu-abu. Telapak kaki Abdi tidak bisa tenang. Ia gusar. Antara perihal membuang-buang waktunya. Dan yang ia tak sadar, juga karena Sekar tak kunjung membaca pesannya. Hingga tiba-tiba, sebuah telepon masuk. Dari Nadhira. Abdi memutuskan mengangkatnya terlebih dahulu. 

“Halo, Di.” 

“Hmm… Halo. Ada apa, Ra?” 

“Mau tanya soal tugas artikel ilmiah, Di,” tanpa banyak cingcong, Nadhira langsung mengatakan poin utama. 

Yap. Tidak perlu basa basi. Karena sebelumnya, sama ketika Nadhira hendak meminta tolong, ia menanyakan kabar mula-mula, kemudian berlanjut dengan basa-basi selanjutnya, seperti apakah ada mata kuliah yang sulit, bagaimana perkuliahan selama ini, menyenangkan tidak berkuliah, dan pertanyaan semacamnya. Abdi akhirnya kesal dengan tradisi basa-basi sebelum permintaan tolong Nadhira. Pada telepon kesekian, permintaan pertolongan terhadap bagaimana tips menemukan referensi di internet, Abdi membentaknya. Akhirnya, Nadhira kalau menelpon Abdi memang karena kebutuhan. Dan akan langsung mengatakannya.

“Itu, kan tugasnya harus sepuluh referensi, kan?” 

“Iya, Ra. Langsung saja. Tidak usah satu satu pertanyaannya.” 

“Hehehe…” Nadhira tertawa pelan di sana. Ia melanjutkan pertanyaannya,

“Terus, untuk referensi kitabnya itu bagaimana?” 

“Heh, bagaimana bagaimana?” tidak seperti Abdi pagi tadi yang paham dengan maksud Alea dengan pertanyaan tersebut, Nadhira kebingungan. 

“Hah, bagaimana bagaimana gimana, Di?” 

“Huuuffttt...” Abdi menghembuskan nafas kesal panjang. Yah, sudah berapa orang yang tidak paham dengan maksud tersebut.

“Maksudnya, apa yang dirimu tidak paham?” tanya Abdi lebih santai. 

“Yah, itu tadi. Kitabnya.” 

“Kamu bingung nyari kitabnya?” 

“Iyaaa, Abdi.” 

“Oooh…” 

“Jangan ‘ooh’ aja, dong. Kasih tahu, gimana cara nyari referensi di kitab, Abdiii.” nampaknya, Nadhira gemar sekali memanjangkan vokal dalam suku kata terakhir dalam kalimatnya. 

“Dirimu cari saja terjemahnya, Ra,” lantas, tanpa menunggu reaksi paham Nadhira, Abdi menutup telpon. Perempuan di seberang sana seketika marah, mencak-mencak, membanting ponselnya ke atas kasur dengan kasar. Muthia, kawan kamarnya menggeleng-gelengkan kepala.

Sementara itu, Abdi kembali mengecek pesan di HP-nya. Sekar masih tidak kunjung membuka. Tapi tiba-tiba, dering telepon menggetarkan HP Abdi. Panggilan dari Sekar. 

“Oh, halo, Sekar…” tanya Abdi berhati-hati. Rasa lega menyelimuti hatinya. Namun, ia tetap masih tidak sadar. Mungkin, setidaknya menolak sadar.

“Abdi di mana?” tanya Sekar. 

“Iya, nggak tahu. Makanya tadi udah dikirim foto,” ucapnya sedikit gregetan.

“Nggak bisa dibuka, Abdi.” 

“Masak sih?” 

“Iya, aplikasi chat Sekar yang model lama, nggak bisa buat buka foto sekali lihat.” 

“Oooh, oke,” Abdi keluar dari layar telepon. Masih dengan panggilan itu menyala, ia kembali memotret pemandangan di sekitarnya, hendak kembali mengirimkannya ke Sekar. Namun, tiba-tiba, Sekar mengubah panggilannya ke video call

“Heh?” Abdi kaget bukan main. HP meloncat dari genggaman tangannya. Untung saja, tangannya yang walaupun gemetaran, dengan sigap mengambil HP itu sebelum terjatuh. 

“Maaf, Sekar. Jangan video call, ya,” pinta Abdi memelas. Panggilan video call tadi sudah macam melihat pocong baginya. Mengerikan. Menakutkan. Bayangan Sekar yang cantik menggemaskan terbayang di sana. Hanya sebentar, kemudian terbayangi sosok menakutkan yang senantiasa menghantui benaknya. 

“Eh, kenapa, Abdi?” 

“...” Abdi diam. Ketakutan semakin menjalar. 

“Abdiii…” Sekar tiba-tiba berseru seperti Nadhira. Berseru kencang dengan vokal akhirnya yang panjang. 

Lihat selengkapnya