Abdi menghembuskan nafas lelah. Ia kemudian keluar dari kamar mandi. Meletakkan ponsel di saku dan buku bacaannya di samping wastafel. Mencuci tangan. Ia menatap cermin besar di hadapannya, memperlihatkan tubuh kecilnya yang pendek.
“Huuuffftt…” Abdi menghela nafas penjang yang berat.
Ia mematikan kran. Hendak keluar. Namun, suara orang-orang terdengar banyak, beserta dengan derap langkah kaki-kaki yang mendekat. Pintu kamar mandi dibuka, beberapa mahasiswa tua masuk. Ada yang besar dan gempal, tinggi, kurus, dan semacamnya. Lima orang. Satu orang benar-benar kencing, di tempat kencing berdiri. Dua dari mereka bersandar ke tembok, kemudian menyalakan rokok. Sementara dua laki-laki lainnya menyalakan kran, dan mencipratkan air kepada teman-temannya.
Abdi berjalan ke pintu. Menunduk dengan sopan.
“Hei…” seru salah satu mereka dengan garang.
Abdi menoleh.
“Tutup pintunya!” perintahnya sambil menunjuk dengan tangan yang jemari-jemarinya mengapit rokok.
Abdi mengangguk.
Akan tetapi, ketika ia hendak membuka pintu kamar mandi, seseorang dengan terburu-buru masuk, mendorong begitu saja pintu yang hendak dibuka Abdi, terjedot ke kepalanya. Suaranya kencang sekali. Lima mahasiswa lainnya di sana segera menoleh. Sementara Abdi oleng ke belakang satu dua langkah, memegang kepalanya sambil mengaduh.
“Eh, Mas…” wajah Tio nongol dari sana.
“Eh, Abdi...” sapa Tio enteng sekali. Tidak ada raut merasa bersalah di sana. Tersenyum lebar.
Salah satu dari lima mahasiswa satu geng itu, yang tadi mencuci tangan di wastafel segera mendekat. Bertanya apakah Abdi tidak apa-apa. Mahasiswa itu mengangguk, masih mengelus-elus jidatnya yang masih sedikit nyeri. Tio yang masih ngelag bergantian memandang Abdi dan pintu yang gagangnya masih ia pegang. Satu kali, dua kali tolehan, hingga akhirnya.
“Oh, Abdi. Pangapunten, ya?” ia juga mendekat.
“Ya ya,” tangan Abdi yang satunya mencegah tangan-tangan orang lain mendekat, terutama tangan Tio. Ia menggeleng pelan. Kemudian kembali melangkahkan kakinya untuk keluar.
“Abdi kok buru-buru. Sini dulu, dong,” seru salah satu dari kawanan kakak tingkat yang bersama Tio tersebut. Langkah Abdi berhenti, tepat ketika ia baru hendak membuka pintu.
“Nggak bisa, Mas. Abdi itu orangnya ambisius. Dia selalu belajar di perpus,” ujar Tio sambil menunjuknya.
Tapi, Abdi memikirkannya lebih dalam, menganalisa semua semua kejadian yang terjadi. Akhirnya, ia menutup kembali pintu itu. Namun, masih dengan dirinya yang berada di dalam kamar mandi tersebut. Mahasiswa-mahasiswa di sana menoleh kearahnya. Kebingungan. Abdi malah bersandar ke pintu, serambi berucap,
“Kayaknya ikut berbincang sebentar nggak papa, deh, Mas.”
Beberapa mereka sempat kaget, terutama Tio. Namun, mereka berenam segera memasang senyum. Mempersilahkan.
“Oh ya, Di. Ngomong-ngomong, kamu udah kenal sama kita belum, nih?” salah satu kakak tingkat kurus bertanya. Ia memakai topi hitam dengan kemeja gelap berlengan pendek. Salah satu dari kawanan itu yang tidak merokok. Ibu jarinya menunjuk kawan-kawannya.
Abdi hanya diam. Sama sekali tidak ada yang ia kenal.
“Ish, sumpah parah banget,” kakak tingkat itu menjatuhkan pandangannya, kemudian menggeleng pelan.
“Iya. Ish, parah sumpah,” kawan-kawan lainnya juga menggeleng sama.
Abdi hanya terdiam. Merasa bersalah, sedikit kikuk, dan tiba-tiba terperanjat. Seseorang masuk ke dalam kamar mandi, mendorong pintu, membuat Abdi terjerambat ke depan. Seketika, enam orang lainnya tertawa kencang. Sementara pria yang membuka pintu itu memohon maaf berkali-kali, sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Hahaha... Abdi, Abdi. Makanya jangan di depan pintu. Pamali," ucap mas senior lainnya.
“Sini, lho, Di,” tawar Tio sambil menepuk-nepuk tembok di sebelahnya. Ia juga sedikit bergeser.
“Ngomong-ngomong, Sekar ada di perpus lantai empat, Di,” ujar Tio membisik.
Abdi mengangguk dengan kikuk.
“Kau sudah tahu?” tanya Tio curiga.
Abdi hanya menggeleng kuat-kuat.
“Kenalan, dong, Di. Katanya kamu kan penulis hebat. Supaya nanti kalau kamu udah jadi penulis terkenal, aku bisa sombong ke teman-teman kalau penulis luar biasa itu adalah adik kelasku, pernah tak ajak ngobrol di kamar mandi perpustakaan lantai empat,” ucap kakak tingkat kurus dengan topi itu, disambung ‘amin’ dari Abdi, dan tawa dari teman-teman lainnya.
“Heh, jangan diketawain. Karir seseorang ini. Tidak sopan tahu,” sergahnya.
“Lah, kami nggak menertawakan karir Abdi, kami menertawakanmu. Hahahaha…” mereka kembali tertawa. Mas itu mengumpat sebentar.
Hingga akhirnya tawa-tawa itu mereda, Mas dengan tubuh cukup kurus itu mengulurkan tangan.
“Aku Satria. Itu Dimas, Doni,” Mas Satria menunjuk dua kawannya yang sedikit gempal, yang tadi mencuci tangan dan menyiprat-nyipratkannya, “Oh, kalau yang itu panggil aja Bos.” mas Satria menunjuk kawannya yang merokok sambil bersandar tembok.
“Kalau yang itu pasti tahu lah, ya, Di?” Mas Satria menunjuk sisa satu temannya, yang tadi kencing. Abdi mengamatinya, dengan tatapan hati-hati, karena apabila terlalu tajam takut bila terkesan menantang.
Abdi diam.
“Ih, Son. Kamu kebanyakan marahin dia, sih. Nggak kenal, kan, dia sama kamu,” ejek Mas Satria setelah lima menit Abdi tidak kunjung berbicara.