MORE AND MORE AND MORE AND MORE.
Kencang sekali bunyi komentator dari TV. Abdi melepaskan satu genggaman tangannya dari stik PS. Ia melebarkan tangannya ke atas. Gaya Lamine Yamal. Yap. Sama seperti yang tertera di layar. Seorang bocah 16 tahun mengobok-ngobok gawang Real Madrid yang dikendalikan Abdul.
“Heh?! Gimana?” tanya Abdi sambil mengangkat-angkat dagunya. Abdul semakin kesal. Stik PS yang digenggamnya menjadi korban. ia cengkram dengan sagat kuat.
“Nanti stik PS-nya rusak, Dul,” komentar Abdi sambil kembali memposisikan diri.
“HAH?! OPOAN IKI?! PADAHAL WINGI-WINGI KON WES RODOK GAMPANG. ANYING ANYING!!” Abdi menghentak-hentakan tangannya. Kesal sekali.
Yap. Abdul beberapa waktu yang lalu sempat bermain dengan Abdi. Dua jam, sekitar sepuluh pertandingan. Dua diantaranya menang Abdi. Telak. Satu menang tipis. Dan sisanya seri. Abdul merasa bahwa dirinya sebentar lagi akan bisa mengalahkan Abdi. Mencabut gelar ‘invicible’ yang ia berikan dari dirinya sendiri dengan sangat sombong.
“Yah, benar, tho. Invicible. Kayak Bang Mikey di Tokyo Revengers. Sama juga kayak trophy premier league milik Arsenal yang udah karatan,” ujar Abdi dengan sangat sombong kala itu. Ia kemudian menjuluki dirinya sendiri dengan ‘The Invicible’.
“Hei, Dul. Mendingan, tho, ketimbang mengembangkan skill main PS-mu, mending dirimu belajar lebih rajin. Supaya di kelas bisa aktif. Bisa bertanya, ikut diskusi mungkin. Nah, nanti kan juga baik buat nilai keaktifan dirimu juga,” ujar Abdi. Ia sebenarnya juga sudah mulai sadar. Bermain PS seperti ini memang menyenangkan. Namun, setelah dirinya memasuki dunia perkuliahan, ia akhirnya sadar bahwa ilmu sangat melimpah ruah di mana-mana, gratis, dan banyak sekali. Untuk mendapatkannya, ia tidak boleh ke rental PS dan bermain. Itulah mengapa, ia memilih untuk pensiun dari permainan PS.
“Tapi, Di. Nyong nak sinau, tho. Nyong rak paham,” alasan yang sama ketika Abdi berusaha untuk mengajak Abdul ke perpustakaan, minta diajari pelajaran, atau lain-lainnya. Abdul selalu pasrah. Abdi bosan mendengarnya. Bahkan, ia mungkin hafal kalimatnya.
“Nyong diwarai ya, Di,” ujarnya.
“Warai opo?” tanya Abdi.
“Warai sinau, tho. Nyong pengin paham.”
“Iyo, Dul. Sinau ne kwi sinau opo?” tanya Abdi gregetan. Ia pernah bercengkrama seperti ini juga sebelumnya.
Namun,
“Yo sinau wae. Ben nyong biso pinter kaya kon.”
Yap. Sama saja. Abdul memiliki keinginan namun tidak ada tindakan. Entahlah. Itu pun pantas tidak disebut dengan keinginan. Mungkin hanya fomo semata. Karena keinginan, pasti ada kemauan untuk menwujudkan.
Abdi menghembuskan nafas kesal panjang. Namun, kali ini tidak marah. Ingatannya terputar kembali pada masa ketika dia mondok. Saat dia tertarik kepada Ustadz Ali, ustadz teladannya.
“Mas, aku mau belajar, dong,” ucap Abdi yang saat itu kelas satu MTS. Ia datang dengan penuh semangat. Ia menghampiri Ustadz Ali, senior yang diangkat Pak Kyai menjadi ustadz karena kepintarannya.
Ustadz Ali dulunya adalah senior yang sangat dekat Abdi. Mereka sama-sama suka menonton film, anime, manga, dan mengambil nilai-nilai agama dari sana. Di sisi lain, Ustadz Ali juga senang dengan bocah yang sebenarnya kala itu masih bau kencur. Abdi adalah salah satu orang yang dapat mengambil pelajaran dari berbagai hal, terutama dari setiap tontonannya. Itu yang Ustadz Ali suka darinya. Selain itu, Abdi juga cukup cerdas dibanding anak seusianya kala itu. Ia juga bersemangat dalam belajar.
Akan tetapi,
“Mas, aku mau belajar, dong,” ucap Abdi kala itu di loteng. Waktu sudah sangat malam. Jam dua belas lebih mungkin, Ustadz Ali sedang mendaras hafalannya. Abdi saat itu membawa kitab Jurumiyyah, buku catatan baru, dan bolpoin.
Mas Ali - karena saat itu memang belum menjadi ustadz - pun tersenyum. Sungguh menakjubkan bagi dirinya, anak baru sudah belajar sedemikian rupa. Walaupun pada masanya juga banyak, namun di zaman sekarang, hal ini langka. Semua anak baru zaman itu pada langsung tidur, atau ikut nongrong di depan kamar sambil menikmati pemandangan kebun yang gelap gulita. Bercerita tentang banyak hal. Mendongeng hingga ke sana kemari.
Mas Ali menutup Qur’annnya. Ia dengan suara yang lembut dan berwibawa bertanya,
“Belajar bagian mana, Di?” Mas Ali mendekat. Ia mengambil kitab Jurumiyah dari dekapan Abdi. Membukanya sambil mengirimkan fatihah kepada sang muallif.
“Nggak tahu, Mas.” jawab Abdi sambil mengangkat bahu.
“Lho, kok nggak tahu?”
“Lah, nggak paham kok, Mas.”
“Sudah belajar belum, Di.”
“Lah, belajarnya dari mana kalau nggak paham sama sekali, Mas.” ucapan Abdi kala itu benar-benar sama dengan Abdul padanya saat ini.
“Nggak papa, Di. Belajar dulu. Walaupun nggak paham. Kalau caranya ilmuwan kan mempelajari apa yang sudah dipahami, kan? Eh, benar seperti itu atau tidak, sih?”
Abdi sembarangan mengangguk.