“Jadi anak-anak itulah pentingnya sho…” Pak Kyai memanjangkan dan menggantungkan ucapannya. Membiarkan para santri menjawab. Mayoritas hanya diam, ada yang mengantuk, memang tidak mendengarkan, menyambinya dengan hal lain sehingga kehilangan fokus, mengobrol, mencoret-coret kitab, atau hal-hal lainnya.
“HEH HEH!!!” Pak Kyai - Pak Kyai di pondok mitra Abdi, Abdul, Tio, dan kawan-kawan lainnya - menggebrak meja kencang-kencang. Suara menggelegar, menggedor langit-langit aula. Sebagian yang mengantuk seketika sadar, yang bermain HP segera menyembunyikan HPnya, yang bercengkrama berhenti. Mereka segera mengembalikan fokusnya ke pengajian.
“Oke. Tak ulangi ya ...”
“Buurgghh,” mayoritas santri yang mengaji di sana mengeluh kesal. Sudah dua jam lebih Pak Kyai mengajar. Sejak jam delapan, hingga sekarang jam setengah sebelas. Maka, tidak aneh apabila santri-santri, yang kebanyakan mitra, berisi anak-anak yang memang pada awalnya tidak niat mondok menjadi bosan. Lagipula, santri tulen juga terkadang nek dan tidak kuat apabila mengaji selama itu. Ditambah dengan aula pondok yang panas sekali, tidak ada kipas, tidak ada ventilasi udara. Para santri sebenarnya kebingungan, apakah Pak Kyai juga betah dengan kondisi tempat yang seperti ini.
“Nah, jadi itu pentingnya sho …”
“Laattttt,” para santri mitra menjawab kencang, sekalian menumpahkan semua kekesalannya.
Akan tetapi,
“HEH?!!” Pak Kyai menggebrak meja sekali lagi. Kali ini lebih kencang, macam suara tembakan meriam.
“KOK BISA SHOLAT, LHO. Lha wong ini tadi membahas niat doang, kok. Makanya anak-anak fokus! Fokus itu penting! Kalian kalau hidup nggak fokus, sudah. Hancur semua. Nggak hidup kalian,” ujar Pak Kyai menggebu-ngebu.
“Oh iya, saya juga punya cerita tentang pentingnya fokus ini,” suara Pak Kyai melembut. Namun, santri-santri tidak peduli. Mereka mengeluh kesah. Mereka bahkan sampai lupa, ini sudah kisah keberapa dalam pengajian ini. Walaupun beberapa ada yang memang tidak mendengarkan sedari awal.
Seperempat jam berlalu. Kurang lebih, Pak Kyai hanya menceritakan mengenai kehebatannya dibanding kawan-kawannya dalam hal fokus, yang kemudian membawanya pada kebaikan luar biasa. Abdi dan Abdul sudah tidak terlalu memperhatikannya. Kepala mereka sudah naik turun.
Hingga akhirnya,
“Wallahu a’lam …”
Seketika kantuk-kantuk para santri menghilang. Mata mereka melek lebar begitu saja, seolah-olah tidak terkantuk-kantuk sebelumnya.
“Eh, sebentar. Ini ada kisah tentang niat yang bagus,”
“Buurgghhh,” semuanya nggerundel.
“HEH?! JANGAN SAMBAT!! ILMU INI, LHO!!” seru pak Kyai.
Santri-santri hanya bisa mengangguk.
“Cerita ini tentang seorang laki-laki dari Bani Israil. Saat itu musim paceklik. Semuanya dilanda kelaparan. Nah, si laki-laki Bani Israil ini saat berjalan-jalan di suatu hari, imajinasinya tiba-tiba liar. Dia mengimajinasikan hamparan pasir yang begitu banyak itu sebagai makanan, yang kemudian ia niat untuk dishodaqohkan kepada orang-orang yang kelaparan di masa paceklik tersebut.”
“Nah, hanya karena membayangkan dan niat baik itu, Allah memberikan pahala sebanyak makanan yang ia bayangkan. Luar biasa, toh? Nggak masuk akal, toh,” Pak Kyai bertanya.
Para santri mengangguk. Walaupun mayoritas terpaksa, dan tidak tahu harus mengangguk untuk apa. Pokoknya mereka harus cepat-cepat keluar dari aula mengerikan yang sudah macam tengah hari di Ibu Kota. Panasnya sungguh gila.
“Ya sudah, ya sudah. Selesai. Selesai. Wallahu a’lam bi showab …” santri-santri menyahutinya dengan semangat.
Seketika, semuanya bangkit berdiri, berebutan keluar dari aula. Sementara Abdi dan Abdul malah beranjak rebahan. Kakinya ia regangkan ke bawah, tangannya ia tarik ke atas.
“Heh, Di. Dul. Pulang!”
“Iya. Nunggu sepi,” jawab mereka berdua kompak, bahkan diakhiri dengan menguap pun kompak.
“Terserah kalian, deh.”