Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #20

Bab 20

       nyam nyam … 

           Abdi kembali memakan dengan lahap. Sama seperti kemarin. ia duduk di teras lantai dua. Bersandar ke balkon berbentuk pagar besi dengan ukiran-ukiran bunga yang indah. Di sampingnya, Aiza sedang bermain dengan ponselnya, terkadang menyalakan kamera dan memvideo Abdi yang makan dengan begitu lahap dan nikmat. Di sisi lainnya, Sekar menikmati Abdi yang begitu sedap melahap masakannya. Nasi dengan lauk sayur dan sambal yang begitu sedap. 

           Abdi memang ketakutan tadi ketika datang. Namun, bayangan makanan, terutama ketika lapar luar biasa yang melanda, membuat ketakutan Abdi menguar. Ia akhirnya paham dengan komposisi triger dalam film-film horror, di mana karena kehidupan yang sangking susahnya, mereka mau bekerja sama, atau melalui pengalaman menakutkan dengan hantu-hantu mengerikan. Walaupun pada kasus Abdi, hantu-hantu yang ada di benaknya sebenarnya makhluk-makhluk cantik jelita. 

           “Abdi doyan makan, ya?” tanya Sekar. 

           Abdi mengangguk. Tidak ada gemetaran di tangannya. Detak jantungnya berangsur-angsur memelan, berdegup dengan normal. 

           “Kalau kau lapar, Di, tinggal datang ke sini saja.” ujar Aiza sambil tangannya menodong dengan HP yang digenggamannya. Ia kemudian kembali memegangnya dengan dua tangan, mengetik sesuatu dengan cepat. 

           “Ya…” Abdi mengangguk kikuk. 

           “Udah, Abdi. Nggak usah terlalu dipikirkan.” ucap Sekar menenangkan. Ia gantian menoleh ke arah Aiza, 

           “Gimana? Jadi?” 

           “Sebentar, Sekar.” ucapnya masih sambil mengetik. Beberapa detik, ia langsung sumringah. 

           “Jadi.” ucapnya. Sekar ikut tersenyum.

           Masih sambil makan nasi sambal yang tersisa, Abdi memandang keduanya bergantian. Apanya yang jadi? Namun hanya sebentar, dan kemudian lanjut makan lagi. Toh, itu juga bukan urusannya. Tidak baik terlalu mengurusi urusan orang lain.

           “Aku mandi dulu, ya.” Aiza berdiri. Melambaikan tangan kanannya pada Abdi dan Sekar. Sekar membalasnya. Sementara Abdi malah terhenyak.

           Heh? Tunggu? 

           “Di Enakin aja, Di.” ucap Aiza yang kemudian menghilang dengan menutup pintu. 

           “...”

           Namun, keadaan malah menjadi lucu. Kikuk. Sekar diam. Menunduk. Abdi juga diam. Dilanda kembali dengan ketakutan. Walaupun sesekali masih mencomot nasi sambal yang luar biasa sedap. Pelan-pelan ia mengunyah. Berusaha tidak menimbulkan suara. 

           “Dimakan, Di.” ucap Sekar sambil menunduk sopan. 

Abdi membalas anggukan Sekar. Ia kembali mencomot sesuap nasi sambal yang sedap. Namun, masalah lain datang. Setelah kelaparannya berangsur-angsur mengurang, perutnya sudah mulai merasa kenyang. Ketakutan yang menguap itu akhirnya sempurna menghilang. Tangannya yang memegangi piring kembali gemetaran. Jantungnya berdetak lebih kencang, bertambah satu kilometer per jam setiap detiknya. Keadaan berdua hanya dengan wanita, makhluk paling ditakutinya di seluruh dunia, membuat keadaan semakin tidak kondusif di sisi Abdi.

           “Huffftt…” ia membuang nafas panjang. Berusaha tenang. Kembali menariknya, membuangnya. Menarik nafas panjang, melepaskannya dengan pelan-pelan. Langkah itu terus menerus dilakukannya. Namun nafasnya, tidak berhenti menderu. Malahan, suaranya semakin kencang.

           Tapi untungnya, 

           Birosûlillâhi wal badawî, Wa rijâlin min banî ‘Alawî

           Heh? Abdi menoleh. 

           Salakû fîl manhajin-nabawî, Birosûlillâhi wal badawî

Suara merdu itu keluar dari ponsel Sekar. Perempuan itu menyetelnya di You Tube. Sebuah playlist. Sebuah sholawat yang sangat familiar, sering disenandungkan oleh Pak Kyai dan grup sholawat pondok dulu, juga sering dinyanyikan bersama-sama ketika waktu luang. Birosulillahi wal Badawi dari Guru Sekumpul. 

Birosûlillâhi wal badawî, Wa rijâlin min banî ‘Alawî

           Salakû fîl manhajin-nabawî, Birosûlillâhi wal badawî

           Hati Abdi terenyuh. Ketenangan seketika menyelimuti seluruh raga dan jiwanya. Gemetar yang ada di tangannya berhenti. Kehangatan membalur ke seluruh badannya. Ia merasa sangat tenang. Nyaman. Tentram. Ibu Kota yang panas luar biasa seketika terasa adem. Menyejukkan luar dan dalam. Benar-benar ketenangan bathin yang luar biasa.  

Lihat selengkapnya