“A*U ancen kwe, Di!!” seru Tio dari depan. Ini sudah serapahan yang kelima. Abdi jenuh mendengarnya. Ia bahkan hafal apa yang akan diutarakan pria yang sedang memboncengkan dirinya.
“Seharusnya yang membonceng itu Aiza. Bukan kau, Di. Apalah ini? Kencan macam apa ini? Akkhh…. Gagal total sudah.”
“Huuffftt,” Abdi menghembuskan nafas kesal.
“Iya, Tio. Sepurane ya,” ujar Abdi kesal. Bukan kesal karena berat mengucapkannya, namun kesal karena kekesalan Tio tak kunjung selesai-selesai.
“Gara-gara kau, Di,” gerutunya lagi.
“Huuffftt,” Abdi kembali menghela nafas penuh kekesalan.
“Pokoknya kau harus membiayai kencan ini, Di,” seru Tio.
“Hah? Lha kata Aiza aja dirimu bakal membayari kita berempat,” ungkap Abdi tidak terima.
“Hah? Maksudnya?”
Beberapa waktu yang lalu,
“Hei, kalian ikut juga, ya?” seru Aiza tiba-tiba keluar dari ambang pintu lantai dua. Ia telah mengenakan baju kotak-kotak, kerudung abu-abu, dan celana jeans yang tidak terlalu ketat. Tas kecil berwarna coklat terselempeng di bahu kirinya. Abdi dan Sekar masih kebingungan. Mata keduanya masih menggercap-gercap. Hingga akhirnya mereka benar-benar terkejut.
“Maksudnya?” tanya Abdi kebingungan. Mencari kesempatan bahwa apa yang dia pikirkan ternyata lain dari apa yang dimaksudkan Aiza.
Akan tetapi,
“Ya, kalian berdua ikut sama aku dan Tio. Nonton,” ucapnya santai sekali. Dugaan Abdi dan Sekar terbukti benar.
Sekar gelagapan.
Abdi terpukau. Wanita itu gelagapan adalah pemandangan baru baginya. Indah juga. Abdul sepertinya benar. Perempuan tsundere adalah yang terbaik. Namun, rasa takjubnya itu hanya sebentar. Ia juga dilanda kegugupan luar biasa seperti perempuan yang ada di sampingnya.
“Ken ... Kencan?” tanya Sekar terbata-bata.
“Aku tidak bilang lho, ya,” Aiza membuat keadaan semakin panas. Ia mengatakannya sambil menunjuk Abdi dan Sekar bergantian. Keduanya saling tatap. Sejenak, langsung saling mengalihkan pandangan. Mukanya merah sekali. Sedangkan Aiza malah tertawa. Menikmati komedi romasa yang ada di hadapannya. Ia kemudian memvideo dua kawannya itu.
“Ini ada promo beli satu gratis satu, lho. Lah, kan kemarin si Tio menjanjikan traktir aku. Aku tidak tahu kalau ternyata beli satu gratis satu. Tio mungkin juga tidak tahu. Jadi, dia nanti tetap beli dua. Terus, nanti duanya buat kalian? Ya?”
Sekar dan Abdi mengangguk pelan patah-patah.
***
“Oh, ya?” Tio bertanya meragukan.
“Terus, kenapa tidak ditolak, Di?” tanyaya kasar. Garang sekali.
“Yah, orang bodoh mana yang mau menolak gratisan,” ujar Abdi smbil tersenyum kecut.
“Hehehe …” ia tertawa, berusaha mencairkan suasana tegang yang menyelimuti mereka berdua.
“Hehehe, MATAMU!!” Tio menyergah kasar. Suasana semakin menyebalkan.
“Huuffttt,” Abdi menghela nafas kesal. Ia tidak peduli. Sudah terlanjut pula.
“Haaahh,” Tio juga menghela nafas, panjang kesal, namun lebih kasar.
“Dia juga tiba-tiba tidak mau berboncengan juga,” kali ini, Tio tidak membentak-bentak Abdi. Ia menggerutu sendiri. Padahal, pembahasan Tio kali ini lah yang paling membuat Abdi merasa bersalah.
Beberapa menit yang lalu juga,
“Ya udah, Sekar mandi dulu, ya,” masih dengan muka memerah yang nampak indah, Sekar berdiri, dan berjalan cepat melewati Aiza. Abdi pun juga masih memerah. Pandangannya terus menatap bawah. Bodohnya dia. Mendengar kata ‘gratisan’ langsung mengangguk seketika. Ia malah baru kepikiran berbagai macam kejadian mengerikan setelahnya.
“Eh, anu …” Abdi mencegah Aiza yang hendak turun.
“Eh, gimana, Di? Penampilanku bagus, nggak?” tanyanya.
Abdi memperhatikannya sebentar. Baju flanel. Kerudung yang mengikat leher. Bedak muka yang terlihat tebal sekali. Yah, bukan selera Abdi juga. Bahkan, Abdi sangat tidak menyukai penampilan perempuan yang seperti itu. Penampilan yang benar-benar membuatnya ketakutan. dan tidak ada satu bagian pun yang membuat sejuk hatinya. Seperti halnya penampilan Sekar.