“Huuufffttt, Huuufffttt, Huuufffttt,” Abdi terhenyak dari tidurnya. Terbangun dengan nafas yang menderu sangat kencang. Kepalanya ia tarik dari meja. Nafasnya terengah-engah. Ia baru saja menyaksikan hal mengerikan. Yap. Bisa ditebak apa yang ia lihat di dalam mimpinya.
“Oh, sudah bangun, Di?” tegur seseorang di samping Abdi.
Abdi menoleh. Mas Ghon. Aduh, Abdi meregangkan tubuhnya pelan-pelan. Tangan kanannya kram. Aduh. Tangan kirinya juga kram. Lehernya juga pegal-pegal.
“Haha … kram ya?” Mas Ghon masih fokus dengan laptop yang ada di hadapannya. Bukan laptop yang mahal, malahan terlihat ketinggalan zaman. Jemarinya menari-nari di atas keyboard. Kata demi kata tertuang dengan cepat di dalam lembaran putih. Dalam sekejap, setengah halaman telah terisi oleh ketikannya. Dengan bantuan Google Docs, terlihat kata-kata yang memiliki garis bawah warna merah, yang berarti typo atau kesalahan penulisan. Walau dalam beberapa kasus, Google terkadang tidak paham dengan yang dimaksudkan oleh penulisnya. Tapi, di layar laptop Mas Ghon, setengah halaman itu tidak ada typo sama sekali. Menakjubkan.
“Buurrgghh,” Abdi menaruh kedua tangan di atas meja, mendorongnya ke depan, sementara punggungnya ditarik ke belakang. Peregangan lainnya. Kakinya kemudian dijulurkan. Peregangan selanjutnya. Tapi Abdi tidak bangkit. Ia kembali melipat kedua tangannya ke atas meja, kemudian menaruh lagi kepalanya di atas sana.
“Tidur lagi, Di?” tanya Mas Ghon.
“Sek, Mas. Aku masih bingung,” Abdi benar-benar kebingungan. Ia lupa, bagaimana dirinya bisa berakhir tidur di perpustakaan dengan seluruh tubuh yang pegal-pegal.
“Sholat Ashar dulu, Di!” tegur Mas Ghon.
“Heh? Sholat Ashar? Emang ini jam berapa, Mas?” Abdi bertanya tanpa usaha. Tidak menengok jam di ponsel, atau jam di perpustakaan yang hanya perlu mendongakkan kepalanya.
Mas Ghon tidak menjawab. Ia hanya menunjuk jam sebentar. Tidak ada satu detik. Jarinya sudah terjun kembali ke tombol-tombol huruf dan kawan-kawannya.
“Huuffttt,” Abdi menghembuskan nafas lelah. Ia pun bangkit masih dengan sisa rasa malas.
“Jenengan nggarap nopo, Mas?”
“Biasa, Di. Lomba.”
“Ooh, nyari uang lagi, ya?”
“Iya. Buat bayar wisuda.”
“Oohhaaaahhhhhh,” Abdi menguap lebar. Ia mengangkat tangan, kemudian berpisah dengan Mas Ghon. Abdi tidak terlalu memperdulikannya. Karena saat itu, ia baru saja memimpikan suatu hal yang mengerikan. Mimpi yang sama ketika malam sebelum perkemahan. Mimpi seorang perempuan. Yang cantik jelita dari kelasnya. Mimpi yang akhir-akhir ini senantiasa menghantuinya.
DUUKK
Abdi menghantamkan kepalanya ke lutut ketika ia hendak memakai sepatu. Gambaran wajah Sekar itu jelas sekali. Terbayang kembali di depan pelupuk matanya. Tersenyum manis. Tangannya lembut. Tapi, Abdi tidak tahu apa yang terjadi. Yah, memang senantiasa seperti itu. Mimpi wanita cantik grafiknya lebih buruk dari 144p. Sedangkan mimpi monster-monster dan hantu mengerikan grafiknya malah ultraHD, 4K. Yah, walaupun bagi Abdi, perempuan tetaplah hal mengerikan. Perempuan adalah monster itu sendiri. Jantung Abdi mulai berdetak semakin kencang. Tangannya juga gemetar. Namun, hatinya hendak mengatakan sesuatu. Tapi Abdi tidak yakin itu apa.
“Huuufffftt,” Abdi menghembuskan nafas lelah panjang. Ia kemudian berdiri, melangkah dengan rasa malas yang masih menggelayutinya ke mushola fakultas.
“Lho, Abdi?” seru seseorang dengan suara lembut. Perempuan.
Abdi menoleh. Sekar. Tidak. Itu bukan Sekar. Itu Alea, tengah berjalan berdua dengan Rijal. Abdi menguap lebar sambil tangannya membalas sapaan mereka berdua. Mereka hanya sekedar menyapa. Kemudian, naik ke motor, berboncengan.
Abdi menggeleng pelan. Tapi setelah duduk dan baru melepas satu sepatunya, ia baru sadar. Terkejut.
Heh? Alea? Dengan Rijal? Jalan berdua? Berboncengan? Emang, sejak kapan mereka berdua pacaran?
***
Perkuliahan telah berjalan dua belas pekan. Empat minggu lagi, semester gasal akan usai. Pengkaderan tidak semengerikan pada masa awal-awal. Mungkin karena memang sudah banyak yang direkrut, juga tidak mau membuang-buang waktu untuk orang-orang yang memang tidak memiliki ketertarikan. Tapi anehnya, Abdi tidak merasa seperti itu.
“Wola, Abdi.”
“Eh, Abdi.”
“Wah, Abdi.”
Entah kenapa, sejak dirinya bercengkrama dengan mahasiswa-mahasiswa dari organisasi raksasa itu, ia malah merasa bahwa beberapa dari mereka semakin akrab dengannya. Beberapa dari mereka sering kali menyapa, bahkan kakak tingkat yang ia tidak tahu namanya, pun juga menyapa. Walau sebagian memang dari kakak-kakak tingkat yang mengurusi acara ospek dan perkemahan waktu itu.
Sebenarnya Abdi tidak menjadikannya masalah. Toh mereka juga orang-orang pintar, enak diajak bercengkrama dan berdiskusi. Ketimbang Damar dan Abdul, yang hanya mengajaknya bermain PS. Tapi di sisi yang lain, Abdi tetap lebih suka bergaul dengan Abdul dan Damar.
“Oi, Abdi, kamu mau ke mana?” seru seseorang sambil melambaikan tangan. Abdi menoleh, begitu pula dengan Abdul dan Damar yang ada di sampingnya. Mereka sebenarnya hendak capcus keluar kampus, kemudian pergi bermain PS.
Namun,
“Sini! Sini, Di!” seru orang itu.
Abdi memicingkan matanya. Orang itu tengah duduk di bawah pohon rindang, terbayang-bayang cukup gelap, sehingga Abdi tidak kelihatan. Ia mendekat. Orang itu bersama dengan gerombolan organisasi raksasa kampus itu.
“Eh, Mas Satria,” seru Abdi. Abdul dan Damar hanya saling pandang.
“Sumpah, jahat banget. Yang dipanggil cuma Satria,” seru seorang perempuan dari gerombolan itu.
“Ngapunten, Mbak,” ucap Abdi sopan. Menunduk. Gerombolan itu seketika tertawa.
“Hahahaha...”
“Haha… Elisa dipanggil ‘Mbak’. Hahaha…” mereka masih tertawa. Abdi menangkap guyonan itu.
“Heh, aku itu satu angkatan sama kamu, Diii…” serunya.
“Oohh…” Abdi menjawab kikuk. Mengangguk pelan. Ragu-ragu. Ketakutan kembali datang. Seorang perempuan, Tidak kenal. Sikap yang pecicilan. Lengkap sudah gambaran monster mengerikan bagi Abdi terhadap perempuan itu.
“Kenalan, dong,” ia menjulurkan tangan.
Abdi menggeleng.