“Heh, Tio,” seru Abdi mengganggu.
“Heh? Apaan?” tanya Tio yang sedang berbaring enak-enak. Wajahnya mengkerut. Nadanya ketus sekali. Ia dengan malas menurunkan ponsel dari hadapan wajahnya, demi menatap Abdi yang bediri tepat di samping kepalanya.
“Bolpoin,” singkat, padat, tapi tidak jelas.
“Bolpoin?” sebenarnya, bukan tidak jelas. Namun, memang Tio-nya saja yang o’on. Tidak paham.
“Bolpoinku yang waktu itu. Dirimu minjam waktu kelas,” Abdi dengan nafas kesal akhirnya menjelaskan. Sayang, Tio juga tidak kunjung paham. Malahan, ia sewot. Ngegas.
“Bolpoin yang mana? Lha wong aku bawa punyanya Aiza. Jangan ngaku-ngaku, ya.”
“Huuffttt …” terserahlah. Abdi balik badan. Malas mendengar sewotan. Namun, ia balik badan pun, sewotan itu kembali terdengar,
“Heh heh, Udah punya kesayangan kok mau merebut kesayangan punya orang lain.”
“Huufftt …” Abdi kembali menghembuskan nafas keasl. Sabar, sambil mengelus-ngelus dada. Ia sebenarnya masih ingin membantah. Sekar bukan kesayangannya. Semua skenario yang terjadi juga karena kebetulan belaka. Namun, ia membantahnya juga percuma. Tio malah akan koar-koar apa saja yang terjadi selama akhir pekan kemarin.
Abdi kembali ke lemarinya, merogoh ke dalam, sedikit mengobrak-abrik susunan baju-baju, buku-buku, namun tetap tidak ketemu.
“Ckk …” decaknya kesal.
Ia gantian merogoh tasnya. Tidak ada. Ia mengeluarkan buku-buku catatan. Kembali merogohnya. Tetap tidak ada.
“Ckk …” ia kembali mendecak.
"Piemen? Ketemu gak bolpen’ne,” tanya Abdul yang telah berposisi terlebih dulu. Mereka berdua sebenarnya hendak mengerjakan tugas UAS. Hari itu, Pak Dosen memberikan tugas mengerikan untuk UAS. Menulis di portofolio. Meringkas satu buku dari karyanya. Seminggu pelaksanaan tugas.
“Akeh tenan yo?” ucap Abdul basa-basi. Abdi tidak menjawab. Abdul akhirnya mendongak, melihat Abdi yang telah memakai jaket dan di ambang pintu kamar.
“Di, ning ndi kon?” seru Abdul setengah berteriak.
“Tumbas alat-alat buat tugas,” jawabnya juga setengah berteriak.
“Heh, Di. Tungguin!” Tio tiba-tiba berseru. Ia meloncat dari atas kasurnya, meletakkan ponsel, dan mengejar Abdi.
“Titip, Di,” serunya kembali.
“TAEK,” jawab Abdi kesal. Ia masih berjalan.
“Heh, Di. Nggak boleh begitu. Dendam itu tidak baik.”
Heh? Emang, yang membuat masalah siapa? Dirinya yang meminjam bolpoin waktu perkuliahan, dirinya sendiri yang tidak mengembalikan. Tidak ingat. Malah ngegas. Apakah Tio memang belum menemukan tata krama? Tidak punya sopan santun sama sekali.
“Huuffftt …” Abdi menghembuskan nafas kesal.
Tapi yang dikatakan Tio benar. Dendam tidak baik. Siapapun yang salah, tidak ada hubungannya dengan memaafkan dan tidak dendam. Kalau kata Tere Liye dalam salah satu bukunya,
“Seseorang memaafkan bukan karena dia salah, tapi karena dia berhak atas ketentraman di dalam hatinya.”
“Huuffftt …” Abdi menghembuskan nafas kesal sekali lagi.
“Yawes, titip apa?”
***
Malam hari yang terang benderang. Sepanjang jalan, setiap satu meter, lampu jalanan menjulang di tengah-tengah jalan, pembatas antara dua arah jalan Dihiasi dengan taman-taman berbunga, yang sebagian sudah tidak terawat. Karena panasnya ibu kota yang mengerikan. Tidak bersahabat untuk makhluk hidup, juga karena orang-orang yang dipercaya menjaga dan merawatnya tidak melaksanakan tugasnya dengan benar.
Abdi membelokkan motornya memasuki sebuah gang dengan gapura garuda. Rumah-rumah berjejer dengan beberapa ruko dan gerobak jajanan. Es teh, angkringan, bakar-bakar gorengan, tahu crispy, dan beberapa jajanan lainnya.
“Di ..."
“Woii, Di ..."
Seruan kencang beberapa orang mengagetkan Abdi. Ia seketika menekan rem kanan dan kiri. Tubuhnya terhuyung ke depan. Setelah kembali menyeimbangkan motor, ia menoleh ke belakang. Di salah satu gerobak jajanan, menjual tahu crispy. Ada Hartigon dan Rijal. Ada juga saudari seperguruannya, yang sekarang sepertinya menjadi pacar dari Rijal. Alea.
“Sini, Di!” malah Alea yang berseru.