“Huufffttt,” Abdi menghembuskan nafas kesal panjang. Kepalanya berputar, kemudian menatap langit-langit swalayan yang tinggi dengan warna putih bersih dan lampu-lampu yang terang benderang.
“Ada apa, Abdi?” tanya Sekar.
“Nggak, kok. Tidak ada apa-apa,” ucap Abdi tersenyum simpel. Ia sebenarnya sedikit terkejut. Sepertinya, sejauh ini, setelah ia keluar dari pondok pesantren, Sekar adalah orang pertama yang menanyakan kabarnya apabila mendapati dirinya menghela nafas kesal. Mengingatkannya akan kawan-kawan dan ustadz-ustadz di Pondok Kudus dulu, di mana hampir setiap orang yang melihatnya seperti itu, akan bertanya perihal kabarnya.
Mereka berdua saat ini sedang menunggu Aiza dan Tio yang sedang berbelanja. Awalnya, setelah perkuliahan, Abdi hendak pergi ke perpustakaan. Namun, di parkiran, di atas jok motornya, Aiza duduk di sana. Di sampingya ada Sekar yang berdiri. Berjarak satu meter, pacar Aiza, Tio telah siap dengan menggunakan helm.
“Heh, ada apa ini?” tanya Abdi malas-malasan. Ia menghembuskan nafas kesal sebelum menghampiri dua wanita yang sebentar lagi akan membuat jantungnya senam, menggedor-gedor tulang rusuknya.
“Halo, Abdi,” sapa Aiza dengan penuh semangat. Sementara di sampingnya, Sekar hanya tersenyum simpul sambil melambaikan tangan. Abdi membalasnya, dengan sedikit tersipu.
“Bisa bantuin kami?” tanya Aiza.
“Huufffttt ...” ia menghela nafas.
“Bantuin apa?” tanyanya.
“Kami mau shopping. Bisa antarkan kami?”
“Huufffttt,” ia menghela nafas lagi. Baiklah.
“Seperti formasi kemarin, kan?” tanya Abdi memastikan.
“Heh, formasi? Maksudmu?” tanya Aiza tidak paham. Sekar mendekat pada perempuan satu kamarnya itu. Sedikit berjinjit, kemudian membisikkan sesuatu. Mungkin maksud dari perkataan Abdi.
“Oohh …” yap, seperti dugaan.
“Kalian kok saling memahami, sih,” ucap Aiza enteng sekali, walaupun dia memang niat menyaksikan muka tersipu dari salah satu laki-laki yang dihormati Nadhira, sekaligus teman baiknya. Ia tersenyum puas. Tapi yang dia tidak sadar, Aiza juga menyirami perasaan lain dibalik ketakutan Abdi yang semakin memudar, kalah dengan perasaan baru itu.
“Ya, ya, Di. Formasi lama,” ucap Aiza masih energik.
“Hahaha, formasi. Emang anak bola beneran. Hahaha …” Aiza tertawa sambil menyalakan motornya. Kali ini dia yang memegang kemudi. Sementara formasi Abdi tetap sama, Tio lah yang memegang kemudi motornya sendiri. Abdi menoleh ke belakang, hanya iseng saja. Dan Sekar juga menoleh ke depan saat naik ke boncengan. Tatapan keduanya bertemu. Di waktu yang sama. Dengan ritme yang sama. Seketika langsung mengalihkan wajah.
Kembali ke masa sekarang,
“Sekar beli apa?” tanya Abdi basa-basi.
Sekar sudah selesai berbelanja. Cepat sekali. Tidak ada lima menit, perempuan yang katanya Ning itu sudah kembali. Abdi yang sejak awal memang tidak berniat beli apa-apa duduk di kursi besi panjang. Tidak menemani perempuan itu berbelanja seperti yang dilakukan oleh Tio. Ia kaget ketika masih pertengahan bermain catur. Mahasiswi yang mengusik hatinya itu tiba-tiba memanggil, sudah kembali dari berbelanja sambil membawa satu tas belanjaan. Abdi menoleh sebentar ke jam catur, masih ada enam menit.
“Sekar kok cepat?”
“Hehehe, iya. Tadi langsung milih. Lagian, nggak ada yang nilai bajunya,” ujarnya.
Abdi hanya mengangguk, walaupun sebenarnya dia tidak paham. Ia benar-benar fokus nge-push nilai caturnya.
“Eh, Abdi caturan?” tanya Sekar yang mendekat dan melirik layar HP Abdi, masih berusaha menjalin komunikasi dengan laki-laki yang sungguh sulit ditebak itu. Sekar bergerak hati-hati. Namun nampaknya, Abdi terlalu fokus sehingga tidak menyadarinya. Sekar tersenyum melihatnya. Ikut bahagia melihat kawannya tidak lagi gemetaran. Walaupun ketika sadar, tetap akan kembali ke sedia kala. Tapi sebenarnya, Sekar saja yang tidak tahu. Abdi menyadarinya. Dan tubuhnya tetap gemetar, namun hanya bagian mulutnya. Ia tetap berusaha mati-matian untuk tenang.
Abdi tetap melanjutkan bermain catur. Namun, dengan ketakutan yang menggelayuti seluruh raga, pikiran, dan jiwanya, Abdi akhirya tidak benar-benar fokus ke papan catur. Ia tidak melihat secara keseluruhan, salah analisa, dan melakukan blunder fatal. SKAK. SKAK lagi. dan SKAK MAT.
“Ckk…” Abdi mendecak kesal.
Sekar segera bergerak menjauh.
Beberapa detik, Abdi akhirnya menghela nafas kesal.
“Ada apa, Abdi?” tanya Sekar.
“Nggak, kok. Tidak ada apa-apa,” jawab Abdi sambil tersenyum simpel.
“Abdi kesal karena kalah caturan?” tanya Sekar.
Abdi mengangguk pelan. Ragu dan malu.
“Abdi emang suka caturan?” tanya Sekar.
“I ... Iya,” jawab Abdi sambil mengangguk pelan.
“Haha… kuno banget, ya?” imbuhnya tersenyum kikuk sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Eh, enggak, kok. Enggak,” Sekar mengibaskan tangan kanan dan kirinya, yang satunya membawa tas belanjaan. Ia tersenyum kecut, seraya menambahi,