Sepi. Sunyi. Sejuk. Nyaman. Tenang.
Cocok sekali suasananya untuk …
BRAAAKKKK
“WOOOIIII!!!” Hartigon menggebrak meja tempat kepala Abdi tertidur nyenyak.
“A*U,” satu kata. Padat, Mengejutkan.
“Hehehe… Sepurane, Di,” ucap Hartigon sambil mengangkat kedua tangannya. Abdi malas menanggapi. Ia kembali tidur lagi.
"Huuffffttt,” ia menghembuskan nafas kesal.
Sumpah! Lelah sekali ternyata satu malam tidak tidur. Hanya setengah jam mungkin. Tidak. Bahkan sepuluh menit pun sepertinya tidak ada.. Abdi sama sekali tidak bisa tidur semalam. Walau dia sudah sholat tahajjud, kemudian berdoa dan kembali tidur. Mimpi Sekar kembali datang. Hanya dalam waktu tidur lima menit kurang. Abdi memutuskan pindah tempat. Tidak ada bedanya. Malah kali itu dalam dua menit, Abdi sudah kembali terjaga. Akhirnya ia kembali mengambil air wudhu, memutuskan untuk mengakhiri malam itu dengan ibadah tanpa tidur, dengan seluruh badan yang terasa sangat pegal.
“Kau ngapain dia sampai misuh begitu?” tanya Rijal tiba-tiba sudah di samping Hartigon.
Hartigon mengangkat bahu. Berlagak tidak tahu. Padahal jelas-jelas dia mengganggu orang yang tidur. Kucing saja tidak boleh diganggu waktu tidur, apalagi manusia. Dasar! Abdi mendecak kesal. Ia segera membuang kekesalannya, berusaha kembali tidur, melunasi semua rasa kantuknya yang tiba-tiba menumpuk pagi tadi.
Namun sayang, teman-teman lain perlahan datang satu per satu. Kelas semakin ramai. Abdi semakin kesulitan untuk tidur. Beberapa ada yang nyeletuk, mengejek dirinya, menyindirnya. Abdi menghela nafas kesal. Kesal rasanya, namun berusaha tidak mempedulikannya.
“Oh, Abdi. Kamu nggak siap-siap?” tanya seorang perempuan mendekat.
Abdi mengangkat wajah dari lipatan tangan, memutar pandangan demi melihat wanita menyebalkan yang berdiri di hadapannya. Alea.
“Oh, Alea. Assallamualaikum. Hoooaaaahhh …” Abdi menguap lebar.
“Siap-siap apa, Lea?”
“UAS, Abdi. Matkul ini kan dijadwalkan UASnya itu hari ini,” ucap Alea sambil menghela nafas.
“Oohh,” reaksi biasa saja dari Abdi. Ia kemudian kembali meletakkan kepalanya di lipatan tangan. Alea mendecak kesal. Padahal seluruh teman-teman lainnya menyiapkan dengan betul. Bahkan masih menyempatkan membaca materi sebelum dosen pengampu datang, sedangkan saudara seperguruannya ini malah santai-santai. Tidur setelah menonton bola semalaman. Alea tahu. Itu pasti. Sudah jadi rahasia umum.
Alea melangkah kembali ke bangkunya. Ia membuka buku catatan. Mata kuliah yang akan diujiankan hari ini adalah salah satu mata kuliah paling sulit di semester satu. Para kakak tingkat mengakuinya. Bahkan tidak sedikit yang mengulang. Dosennya pun killer. Dengan semua keadaan itu, Alea tentu tidak ingin saudara seperguruannya itu nilainya jeblok.
Tak lama kemudian, baru Alea membaca beberapa baris, tidak sampai satu halaman, Pak Dosen datang. Atmosfer kelas langsung berubah. Suasana terasa mencekam. Tatapan Pak Dosen tajam. Langkahnya yang menggema di kelas membuat suasana ketakutan para mahasiswa semakin memburuk. Hanya Abdi yang tidak. Ia terbangun, menengok ke depan. Pak Dosen telah duduk di bangkunya. Abdi juga segera merapikan posisi duduknya.
“Ayo anak-anak! Belajarnya sudah selesai. Sekarang waktunya ujian,” Pak Dosen bertepuk tangan berseru di kelas. Para mahasiswa mengaduh.
“Semuanya dimasukkan ke tas, hanya boleh ada bolpoin di atas meja. Terus, tasnya ditaruh di depan. Ayo anak-anak!” Pak Dosen kembali bertepuk tangan. Para mahasiswa kembali mengaduh. Beberapa mengemis meminta waktu tambahan.
Tapi, Abdi bangkit. Ia meletakkan tasnya di depan. Di belakangnya, Hartigon dan Rijal juga melakukan hal yang sama. Hartigon dan Rijal memang sebelumnya bermain tanya jawab perihal materi ujian. Tapi Abdi, bukankah dia tidur sejak pagi, menghabiskan malam dengan menonton bola. Bagaimana bisa dia begitu percaya diri? Pertanyaan itu benar-benar menggema di kepala Alea.
“Sini, Pak. Dibantuin membagi kertas soalnya,” Hartigon mendekat ke Pak Dosen. Abdi yang kebetulan di depan juga menunggu di samping Rijal.
“Ini!” Pak Dosen memberikannya pada Hartigon.
“Kalau kalian berdua ambil semua tas teman-temannya. Sekalian kalin bantu saya cek apakah mereka membawa contekan,” imbuh Pak Dosen.
Abdi dan Rijal mengangguk.
“Kau saja yang ke bangku cewek, Di,” Rijal mendorong Abdi.
“Nggak. Moh aku. Dirimu saja, Jal,” Abdi juga mendorong Rijal. Ia takut, lah. Apalagi memeriksa setiap bangku mereka. Tidak. Abdi tidak akan melakukannya.
“Aku malu, Di.”
“Emang dirimu, doang? Aku juga malu, lah, Jal.”
“Ya sudah, suit saja, yuk!” tantang Rijal.
Abdi mengangguk. Ia seketika komat kamit, merapal doa apa saja supaya keberuntungan datang padanya, membuatnya selamat dari suasana menakutkan.
“Ya sudah aku saja,” Rijal tidak jadi. Ia menarik tangannya, lantas langsung berjalan ke deretan bangku para mahasiswi.
Abdi kebingungan. Namun langsung mengangkat bahu. Segera memeriksa bangku-bangku kawan-kawan cowok, mengecek supaya tidak ada yang mencontek. Abdi jujur. Ketika Tio menyembunyikan ponselnya di laci, Abdi memintanya. Keduanya cekcok. Tio menuduhnya sebagai mahasiswa sombong, tidak belajar. Teman yang tidak solid, tidak menyelamatkan temannya yang kesusahan mengerjakan UAS.
“Lah, masak pacarnya Aiza berbuat curang?” ucap Abdi mengetuk hati Tio. Mahasiswa bucin itu seketika langsung menyerahkan ponselnya.
“Baik, semua sudah siap?”
Mahasiswa dan mahasiswi diam.
“Oh bagus, kalian fokus,” Pak Dosen kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi dosen yang empuk. Matanya masih tajam, memantau satu kelas, membuat suasana ujian semakin tegang. Salah satu teman perempuan ada yang meminjam tip-x kawannya, seketika langsung ditegur. Dia membela diri bahwa hanya meminjam tip-x. Langsung dibalas bahwa dia hanya beralasan. Jawaban salah bisa dicoret, diganti yang baru.
Mahasiswi itu mengangguk. Takut.