Siang itu, mendengar kalimat persuasif terakhir Abid, Abdi akhirnya memutuskan untuk berangkat. Fiks!
Namun, Abdi meminta Abid untuk menunggu sampai besok. Ada salah satu mata kuliah favoritnya. Sayang sekali rasanya kalau ditinggal. Abid dengan mudah menyetujuinya. Lagipula, dia juga ingin mencoba melihat-lihat daerah sana, wilayah tempat tinggal baru sahabatnya.
“Lha, nanti malam aku mbok suruh tidur di mana?”
“Lah, masak yang begitu saja khawatir, Bid. Dirimu itu laki-laki. Tidur di mana saja kan bisa. Nggak ada yang bakal memperkosa.”
“Anying! Nggak gitu, lah, Di. Dirimu sama kawanmu masak begitu,” ucap Abid kesal.
“Hahaha … Tidak, lah. Guyon itu tadi. Gampang, Di. Tidur saja di pondokkku.”
“Lah, terus? Waktu besok dirimu kuliah?” Abid mengkhawatirkan hal lainnya.
“Akh, itu mah gampang. Dirimu ikut saja aku masuk kuliah.” Abdi mengibaskan tangan. Ia kembali menyeruput kuah soto yang sedap bukan main.
“Heh? Maksudnya?”
Abdi tidak menghiraukan. Karibnya ini pintar, pasti paham. Ia masih menyeruput kuah soto yang sedap. Sampai habis. Ekspresi mukanya begitu bahagia. Menganga dengan senyuman penuh makna.
“Eh, aku nambah ya?”
“Matamu!”
***
Akhirnya, setelah berjalan-jalan memutari kota dengan berboncengan motor Abdi. Pergi ke mall besar, menonton banyak barang-barang mahal. Yap, hanya menonton. Mungkin bertanya-tanya. Tapi tidak beli. Kebiasaan mereka sejak di Kudus dahulu. Malunya apabila masuk salah satu toko, kemudian penjaga toko mengikuti mereka berdua, siap siaga apabila ada yang diperlukan. Dibuntuti, dari pojok ke pojok, hingga kembali ke pintu keluar.
Pada sore harinya, mereka kembali ke pondok. Abdi menyuruh Abid untuk berdiam dulu di parkiran, duduk tenang di atas jok motor. Sementara Abdi berkunjung ke kantor pengurus yang kebetulan dekat dengan parkiran. Ia mengetuk pelan. Di dalam sana, ada tiga pengurus santri putra dan dua santri putri. Lima-limanya menoleh, kemudian dengan tersenyum menyambut Abdi. Tentu saja. Abdi adalah santri baik. Apabila santri mitra lain yang berkunjung, mungkin cemooh dan raut muka tidak sedap yang menyambutnya.
“Ngapunten Mas, itu ada teman saya, mau menginap satu malam nanti. Terus besok saya mau izin pulang sampai tanggal 12 Rabiul Awwal.” ucap Abdi. Seperti kebiasaannya, tanpa berbasa-basi. Namun, memang itulah adabnya. Kakak-kakak santri terlihat sibuk, jadi dirinya tidak boleh memboroskan waktu mereka untuk sekedar berbasa-basi hal yang tidak penting. Hal ini pula yang seharusnya dilakukan seseorang ketika berkunjung ke kediaman orang besar, kecuali apabila memang orang besar tersebut yang mengajak berbasa-basi sebelum membahas masalah utama.
Mas-mas dan mbak-mbak itu saling pandang, beberapa dari mereka mengangguk, hingga akhirnya angkat suara.
“Kalau temanmu yang mau nginap di sini emang izinnya sama pengurus. Tapi kalau pulang, apalagi sampai berapa lama itu? Dua belas hari, Abdi harus izin sama Pak Kyai," ucap Mas Pondok lembut.
Abdi mengangguk.
“Tapi, karena ini sudah sore. Sowannya besok saja, Di. Temannya itu sekalian diajak.”
Abdi mengangguk. Ia menurut. Walaupun memang banyak santri mitra, yang kebetulan beberapa alumni pondokan, ternyata tidak suka dengan Pak Kyai. Alasannya simpel. Karena beliau tidak sama dengan Pak Kyai mereka dulu di pondok. Abdi pun juga sama. Tapi, yang namanya orang alim, tetap harus dihormati. Setidaknya, walaupun menyebalkan, tetap harus menghormati ilmu yang ada pada orang tersebut.
Abdi keluar dari kantor. Mas-mas pondok dan mbak-mbak kemudian melanjutkan perbincangan. Perkara penting sepertinya. Mas yang lainnya melakukan pendataan. Sementara Abdi kembali ke motornya, menghampiri Abid yang sedang bercengkrama dengan santri lainnya.
“Bid, ayo!” seru Abdi.
“Oh, oke. Duluan ya, Mas.” Abid bersalaman dengan kang santri tersebut.
Mereka berdua kemudian berjalan bersama ke kamar.
“Nanti kalau pondok kegiatan, aku ikut, Di?” tanya Abid.
“Nggak juga nggak papa. Aku juga biasanya nggak ngaji, Bid," ucap Abdi santai. Ia meletakkan sepatunya di rak. Abid mengikutinya. Mereka berdua kemudian menaiki tangga, berpapasan dengan teman-teman pondok, beberapa bertanya siapa yang bersama Abdi. Mahasiswa itu memperkenalkan kawan karibnya.
“Weh, Di. Kon kadi ngendi wae nembe katon?” tanya Abdul, kawan karib Abdi di perkuliahan.
“Heh, sopo iku?”
“Sabar, cuk. Ini mau kukenalkan,” seru Abdi kesal.
Abdi kemudian memperkenalkannya.
Abid dan Abdul kemudian saling bercakap-cakap. Dengan mudah akrab, membahas tim favorit keduanya, tim paling dibenci Abdi. Abdi mengangkat bahu. Meninggalkan mereka berbincang-bincang. Ia berjalan ke arah lemarinya.
“Bid, sini dulu!”
“Oh, iya,” Abid mendekat, memberikan tasnya.
“Lho, Di. Kon sesok arep bali?” tanya Abdul. Tio yang ada di sana menoleh.
“Iya, Dul.”
“Lho, Di. Kau mau pulang?” Tio mengulang pertanyaan. Abdi menjawabnya dengan kesal.
“Besok?”
“Iya, Tio. Kayak dirimu kangen saja, sih,” ucap Abdi benar-benar kesal.
“Lah terus pulangmu?”
“Setelah tanggal dua belas Rabiul Awwal. Mungkin tak tambahi. Jadi dua mingguan.”
“Lah, terus? Sekar mbok tinggal?”
“Sekar?” Abid kebingungan.
“Sekar pacarnya, Mas,” ucap Tio menjelaskan. Abid seketika tertarik. Abdi mendecak kesal. Ia sekarang kalang kabut. Abid adalah orang yang akan membombardir dirinya dengan ejekan, menganggap bahwa apa yang dikatakan Tio adalah fiks. Dan lebih parahnya, ia sama sekali tidak akan memberikan waktu baginya untuk memverifikasi.
“Anjay, sudah punya pacar. Tadi katanya …” Abid menggoda. Ia merangkul Abdi.
“Tidak begitu, Bid. Tapi …”
“Eh, atau pacarmu ternyata jelek? Jadi, dirimu malu-malu mengakuinya.”
“Mboten, Mas. Pacare Ning gedhe. Ayu, manis. Abdi sanjange malah imut menggemaskan kok, Mas,” Abdul menjelaskannya. Membuat keadaan semakin parah. Abdi segera sengit menatap kawan PS-nya.
“Oh iya? Wuih, mantap,” tangannya yang merangkul Abdi ditarik sedikit, menepuk-nepuk punggung mahasiswa yang saat ini paling kesal di kamar itu. Abid tertawa seolah-olah bangga.
“Cocok sekali lah dengan dirimu, Di. Nanti digabung pondoknya dengan pondokmu.” Abid enteng sekali mengatakannya. Seluruh kawan-kawan Abdi seketika kaget.
“Lho, Abdi punya pondok?” tanya Tio penasaran.
“Lho, Di. Dirimu nggak cerita, tho? Hahaha … sama saja kayak di pondok. Aku dulu di pondok kan, baru tahu kalau dia punya pondok besar itu waktu kelas enam, satu tahun sebelum kelulusan. Padahal sudah temenan lima tahun. Kemana-mana barengan. Naik gunung, naik genteng karena dihukum. Membersihkan setiap sisi pondok. Dan banyak hal lainnya. Bisa-bisanya dia menyembunyikan hal besar seperti itu,” ujar Abid panjang lebar. Abdi sama sekali tidak bisa membantah. Suara Abid kencang sekali, bersemangat.
“Weh, Di. Dirimu kok diam saja? Ngomong dong!” Abid menggoyang-goyang tubuh Abdi.
“Lha gimana mau ngo …”
“Eh, Abdi di kelas ngapain?” Abid kembali memotong ucapan kawannya itu seenaknya. Tio dan Abdul yang menyaksikannya tersenyum kecut. Namun kemudian segera menjelaskan.
“Oh ya, tadi siapa nama ceweknya?” semangatnya masih belum hilang. Abdi hanya diam.
“Sekar, Mas.”
“Itu tidak pa …”
“Weh, yang mana orangnya? Ada fotonya nggak? Kayaknya cantik itu? Namanya tradisional, nama-nama lama. Biasanya cewek kayak gitu cantiknya natural. Abdi emang suka yang seperti itu,” Luar biasa! Abdi padahal tidak pernah mengucapkan pada kawannya itu bagaimana tipe perempuan yang ia suka. Namun karibnya itu mengetahuinya. Dan dia, bisa tahu jenis Sekar hanya dari namanya. Sungguh! Kemampuannya sebagai mantan buaya memang tidak bisa diremehkan.
Sementara itu, Tio membuka galeri HPnya. Dia memang menjadi salah satu saksi banyak kebersamaan Abdi dengan Sekar. Kebanyakan saat dirinya bersama dengan Aiza. Pada momen-momen itu, Aiza yang menganggap salah tingkah Abdi dan Sekar lucu gemas hendak merekamnya. Maka, ponsel Tio yang kameranya bagus untuk merekan menjadi korbannya. Galerinya penuh oleh foto-foto dan video-video Abdi dan Sekar. Belum lagi dengan editannya.