Untuk Siapa Cinta Abdi?

Muhammad Hasan
Chapter #28

Bab 28

Lima tahun yang lalu.

“Mas Ali, Mas Ali,” Abdi dengan gerakan cepat penuh semangat mengambil posisi duduk di hadapan Mas Ali, seorang senior sepuh di Pondok yang ilmunya diakui oleh Pak Kyai. 

“Weh, Abdi. Liburan di mana kemarin?” tanya Mas Ali menyambut Abdi. Adik kelas yang paling setia duduk paling depan dalam halaqoh belajarnya.

“Di rumah aja, Mas. Bulanan, kok, cuma sehari.” 

“Lho, Abid saja muncak di .. di mana, Diq?” Mas Ali menoleh ke pojok kamar, di mana Mas Shodiq sedang mengajari adik kelasnya tashrifan.

“Ya kan ada temannya, Mas.” 

“Lho, terus kenapa nggak ikut saja? Hmm …”

“Nggak kenal teman-temannya, Mas.” 

“Alasan itu, Di. Kalau memang beneran mau muncak, pasti dirimu benar-benar menyiapkan untuk ikut. Entah membeli perlengkapan, menanyakan kepastian, atau yang lainnya. Emang dari dirimunya malas ikut, kok.” 

“Nggih, Mas,” Abdi mengangguk dengan enggan.

“Sudah pernah tak ajarin, tho, tentang kemauan yang kuat itu?”

“Sampun, Mas. Kulo oanci mboten pengin muncak.”

“Oalah,” Mas Ali mengangguk-angguk.

“Oh iya, Di,” Mas Ali mengangkat tangan kanan beserta telunjuknya. Abdi mengangkat muka, sumringah. Mas Ali biasanya akan bercerita sesuatu yang menarik apabila telah berpose demikian.

“Kamu pacaran nggak?” 

Abdi menggeleng.

“Bener?”

Abdi mengangguk.

“Soalnya gini, Abdi, perempuan itu berbahaya, menakutkan. Dirimu pasti penasaran, kan? Apalagi di umur segini, teman-temanmu itu pada pacaran, kan?” 

Abdi mengangguk lagi. Pikirannya langsung tergambarkan Abid yang pernah memamerkan sudah punya lima mantan pada lima bulan awal dua kawan seangkatan itu mondok.

“Ya pokoknya begitu lah, Abdi. Kalau dirimu nggak ada kepentingan yang sangat krusial dengan perempuan, maka jangan dekat-dekat. Kalau masih bisa melakukannya dengan teman laki-laki, maka sama laki-laki saja. Pokoknya jauh-jauh dari perempuan kalau tidak ada kepentingan,” tutur Mas Ali serius. Berbeda dengan quotes ataupun pengajiannya yang sering kali diselingi humor.

Abid mengangguk mendengarkan kisah lima tahun lalu Abdi dengan ustadz favoritnya di Pondok Kudus dulu.

Abdi kali ini menunduk dan pipinya memerah. Pikirannya kembali terbang, sedikit maju ke tiga tahun yang lalu. Dua tahun setelah ia mendapat pesan serius dari Mas Ali. Walaupun sosok ustadz favoritnya itu telah boyong, namun pesan serius Mas Ali itu masih ia ingat betul, ia letakkan di tempat spesial di dalam pikirannya.

Malam itu, karena akhir pekan, Abdi memutuskan untuk ke pasar malam yang ada di alun-alun kota. Mengenakan sarung kotak-kotak khas bapak-bapak, jersey club Barcelona tahun 2011, dengan rambut berantakan, dan tanpa sepeserpun uang. Ia memang sengaja, hanya ingin menikmati suasana tengah kota sebelum besok sore kembali ke pondok menimba ilmu. 

Hingga tiba-tiba,

“Halo, Abdi kah?” seorang perempuan muncul dari samping, menepuk pundak Abdi.

Abdi menelengkan kepala. Dengan sedikit ragu-ragu, ia bertanya,

“Lho, Nimas?” 

Perempuan itu mengangguk banyak sekali. Ia adalah Nimas, teman perempuan Abdi dari Madrasah Ibtidaiyah yang pernah sebangku ketika kelas enam, sekaligus satu-satunya teman perempuan yang selama ini pernah ia taksir. Masih tidak ada yang lain. Tentu tidak ada yang lain. Abdi saja sudah tidak bertemu perempuan selain dengan keluarga dan saudaranya selama hampir lima tahun.

“Kamu sendirian, Abdi?” tanya Nimas. Suaranya masih lembut seperti enam tahun yang lalu. Dan benar sekali, hati Abdi masih dimilikinya selama enam tahun terakhir ini. Enam tahun ia menjadi santri, tidak ada lagi wanita yang ia kenal. Remaja berkaos Barcelona dengan sarung kotak-kotak itu fokus mengabdikan dirinya untuk ilmu, Ulama’, Agama, Baginda Nabi Muhammad, dan yang paling utama tentu saja, Allah yang maha esa.

Abdi mengangguki pertanyaan Nimas.

“Wah, kebetulan. Mau jalan bareng?” tawar Nimas. 

Abdi sekali lagi mengangguk. Sungguh, lucu sekali murid terpintar di angkatan itu. Ia terdiam, membeku. Entahlah, apakah cintanya sebegitu hebat hingga membuat sosok cerdas sepertinya tak bisa berkata-kata.

Akhirnya, keduanya berjalan beriringan. Sesekali Nimas menunjuk jajanan kekinian macam corndog, hotdog, burger, atau beberapa jajanan lama semasa sekolah seperti cilok, batagor, siomay. Ia menceritakan bagaimana mahalnya jajanan sekarang, tidak seperti ketika kelas enam mereka dulu. Dulu, jajan dengan tiga ribu sudah bisa kenyang. Sekarang, jajanan tiga ribuan sudah hampir punah. Minimal lima ribu, apalagi di pusat kota macam alun-alun. Ia juga bercerita bagaimana kualitas rasanya pun tidak sedap selayaknya saat mereka beli dengan seragam merah putih. 

“Oh iya, aku juga mencoba bikin makanan-makanan itu juga,” cerita Nimas dengan senyumnya yang mempesona. Abdi mengangguk pelan. 

“Hei, menurutmu enak buatanku atau buatan jajanan di sini?” tanyanya dengan wajah sumringah.

“Ehh… buatanmu,” jawab Abdi ragu-ragu dengan mulutnya yang kelu. Ia kebingungan dengan dirinya sendiri. Tak terpikirkan apapun di dalam kepalanya. Hanya ada rasa bahagia. Sekedar menjawab pertanyaan tadi pun, Abdi kebingungan.

Lihat selengkapnya